KAMIS
(23/6) lalu, rakyat Inggris melalui referendum telah memutuskan untuk
mengakhiri keanggotaan mereka di Uni Eropa. Mengikuti secara langsung kampanye
kubu Leave, hampir semua argumen yang dikampanyekan cenderung inward
looking (setidaknya bagi orang luar) karena memang ditujukan untuk menarik
suara rakyat Inggris. Tulisan coba mengulas peristiwa Brexit dari perspektif yang berbeda. Secara spesifik tulisan ini
mendudukkan peristiwa tersebut dalam isu tata kelola global yang lebih luas,
yaitu perdebatan antara regionalisme vs globalisme. Sederhananya, apakah
regionalisme melemahkan globalisme?
Maraknya
kesepakatan perdagangan regional seperti Uni Eropa (UE) dan ASEAN (selanjutnya
disebut regionalisme) telah memicu debat mengenai dampaknya terhadap tata
kelola global, khususnya terhadap institusi perdagangan multilateral WTO. Dari
perspektif ekonomi, multilateralisme (atau disebut juga globalisme di sini)
akan selalu lebih superior jika dibandingkan dengan regionalisme dalam
meningkatkan kesejahteraan dunia secara keseluruhan.
Hal itu
disebabkan, dalam sistem multilateralisme, tidak akan terjadi pembatasan perdagangan
yang secara kalkulasi ekonomi mengurangi kesejahteraan. Regionalisme, di sisi
lain, akan selalu mengandung apa yang disebut 'trade diversion effects', yaitu efek tidak optimalnya dampak
kesejahteraan dari perdagangan. Jika negara bertindak rasional, semua negara
seharusnya promultilateralisme ketimbang regionalisme. Kenyataannya tidak
seperti itu. Negara punya kepentingan dalam hal distribusi kesejahteraan baik
antarnegara maupun antarwarganya.
Karakteristik
regionalism
Berbeda
dengan multilateralisme yang didasarkan pada prinsip perlakuan yang sama
terhadap negara lainnya, regionalisme dibentuk atas dasar preferensi
anggotanya. Negara anggota sepakat merendahkan bahkan membebaskan tarif
antaranggota, yang tidak berlaku bagi negara yang nonanggota. Kesepakatan bisa
bilateral di antara dua negara, tetapi bisa juga antar beberapa negara yang
biasanya berbentuk free trade agreement (FTA) seperti ASEAN atau custom
union (CU) seperti UE.
Perbedaan
mendasar antara FTA dan CU terletak pada mekanisme penetapan tarif eksternal.
FTA dilakukan setiap individu negara, sedangkan CU dilakukan secara kolektif.
Konsekuensinya, tarif FTA secara politik relatif mudah disepakati, tetapi sulit
diadministrasikan karena harus mendeteksi asal barang yang layak mendapat
perlakuan khusus (the rules of origin). Sebaliknya, CU sulit untuk
mencapai kesepakatan bersama mengenai tarif, tetapi relatif mudah untuk
diadministrasikan. Kemudahan untuk disepakati di awal menjelaskan kenapa FTA
lebih gampang dibentuk ketimbang CU.
Apakah
regionalisme melemahkan globalisme? Dalam kepustakaan setidaknya ada empat
argumen yang menyatakan regionalisme dapat melemahkan globalisme (Frankle,
1997). Pertama, kekuatan dari blok pasar yang terbentuk dari regionalisme akan
menjadi insentif untuk proteksi. Semakin besar blok pasar, misalnya UE,
cenderung mempunyai kekuatan kolektif monopoli pasar yang semakin besar.
Akibatnya, akan muncul semacam insentif bagi UE untuk melakukan proteksi blok
pasar dari pihak luar.
Kedua,
kelompok-kelompok kepentingan tertentu akan ‘membajak’ kebijakan perdagangan
negara-negara yang terlibat regionalisme. Kelompok ini menyadari akan kalah
jika terlibat dalam persaingan pasar bebas dan berusaha sekuat tenaga mencari
perlindungan dari pemerintah. Sampai di sini, argumen terpecah dua. Pandangan
pertama melihat regionalisme akan melemahkan kelompok kepentingan tersebut dan
liberalisasi akan terus berlanjut. Sebaliknya, pandangan kedua justru melihat
kekuatan kelompok ini akan menguat karena alasan sebagaimana argumen pertama:
monopoli pasar regional.
Ketiga,
sumber daya negosiator yang langka akan teralihkan dari negosiasi multilateral
ke negosiasi regional. Keempat, dan mungkin yang terpenting, secara inheren
regionalisme itu melemahkan globalisme karena alasan yang sangat sederhana:
suksesnya globalisme itu akan secara otomatis menihilkan semua benefit
dari regionalisme. Argumen di atas mengarah ke satu kesimpulan: dunia akan
terperangkap dalam regionalisme.
Bagaimana
politik-ekonomi domestik menghambat negosiasi perdagangan multilateral? Dalam
dunia nyata, proses penyusunan kebijakan perdagangan di sebuah negara sering
kali ‘diwarnai’ kepentingan tertentu (Olson, 1965). Kelompok ini, walaupun
kecil dalam hal jumlah, sangat terorganisasi, mempunyai kapasitas lobi yang
besar, serta berpengaruh secara politik. Selama ini kelompok inilah yang
menikmati proteksi pemerintah dan merasa terancam dengan liberalisasi lebih
jauh. Untuk membatasi liberalisasi secara global, kelompok ini berusaha
‘mengarahkan’ kebijakan perdagangan pemerintah ke arah regionalisme.
Harapannya, mereka akan mendapat proteksi dari impor negara pesaing yang bukan
anggota sekaligus memperluas pasar ke negara anggota lainnya.
Ada dua
cara yang biasanya mereka tempuh untuk menjaga kepentingan mereka melalui
regionalisme. Cara pertama ialah dengan memanfaatkan instrumen ketentuan asal
barang. Cara kedua ialah melalui manipulasi ketentuan-ketentuan dalam
kesepakatan agar sektor-sektor yang sensitif dikecualikan dari kesepakatan.
Singkatnya, kelompok ini tidak menginginkan terjadinya liberalisasi lebih jauh
karena akan mengancam kekuatan monopoli dan keuntungan mereka. Liberalisasi
terjauh yang bisa ditoleransi mereka ialah regionalisme.
Bagaimana
politik-ekonomi internasional menghambat negosiasi perdagangan multilateral?
Dalam konteks politik-ekonomi internasional, argumen kenapa integrasi regional justru
menghambat globalisasi sering kali dikaitkan dengan peran kekuatan hegemoni
dunia. Dengan menggunakan kekuatan pasarnya, mereka sering kali memaksakan
agenda non perdagangan dalam regionalisme. Agenda tambahan seperti ini tidak
mungkin diterapkan dalam konteks multilateral karena preferensi tidak dapat
diberlakukan. Coba bayangkan sebuah dunia tanpa hambatan perdagangan, maka
tidak akan ada yang namanya kekuatan pasar. Sudah tentu kekuatan hegemoni ini
enggan melepaskan kekuatannya begitu demi globalisme. Justru dengan
regionalisme, mereka dapat menggunakannya untuk mewujudkan agenda-agenda global
mereka dalam rangka mengelola globalisasi versi mereka.
Situasi
ini dimulai dengan berbaliknya posisi AS dari yang semula mendukung
multilateralisme menjadi regionalisme (Frankel, 1997). Perubahan sikap
merupakan respons atas resistansi Eropa terhadap multilateralisme di konferensi
tingkat menteri GATT pada 1982 terkait dengan negosiasi multilateral. Begitu AS
mulai membentuk banyak regionalisme yang menguntungkan perusahaan AS, UE
merespons balik dengan melakukan hal yang sama. Kompetisi dua kekuatan hegemoni
itu berlanjut menjadi perlombaan ke arah regionalisme.
Belakangan
ini, muncul kembali ‘kompetisi’ serupa di antara dua blok regional: Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang mengikutsertakan Tiongkok
dan Trans Pacific Partnership (TPP) yang difasilitasi AS, tetapi tidak
mengikutsertakan Tiongkok. Banyak yang melihat kedua blok perdagangan regional
tersebut merupakan kompetisi antara AS dan Tiongkok dalam rangka memenangi
dominasi global, sebagaimana halnya yang terjadi sebelumnya antara AS dan UE.
oleh
Khairul Rizal
disadur
dari Media Indonesia, Rabu, 29 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar