Lima
hari berturut-turut, 16-20 Mei 2016, Kompas menurunkan laporan tentang fenomena
relawan dan kerelawanan dari berbagai aspek. Mulai dari relawan kemanusiaan,
relawan perjuangan sebagaimana terjadi pada masa kemerdekaan, relawan
pemberdayaan masyarakat, hingga relawan politik.
Bangkitnya
kerelawanan dalam banyak aspek itu kini dianggap sebagai harapan bagi
kebangkitan dan tingginya partisipasi bangsa Indonesia untuk menyongsong masa
depan yang lebih baik. Namun, tulisan ini hanya akan fokus pada relawan politik
atau gerakan sosial partisan (GSP).
Relawan
politik tampaknya memiliki sejarah sendiri. Pada masa kemerdekaan, relawan
politik adalah ketika seseorang ikut dalam suatu perjuangan kemerdekaan.
Sementara pada perubahan-perubahan berikutnya, relawan politik lebih diartikan
sebagai mereka yang ikut secara sukarela dalam suatu perubahan drastis politik
dan penggulingan rezim otoriter seperti 1966 dan 1998. Pengertian itu
disebabkan konteks ketika peristiwa itu terjadi, yaitu pemerintahan yang
otoritarian. Tanpa ada penggulingan atau penggantian rezim secara total,
perubahan akan sulit dilakukan.
Di era
demokrasi sekarang ini, relawan politik memiliki arti berbeda. Bukan pergantian
rezim dalam arti sistem, melainkan lebih pada agenda perubahan dan aktor yang
diharapkan mampu membawa perubahan tersebut melalui proses normal demokrasi.
Pengertian ini setidaknya diambil dari bangkitnya gerakan relawan politik pada
relawan Jokowi-Ahok pada Pilkada Jakarta 2012 dan relawan Jokowi-JK pada
Pilpres 2014. Penulis sendiri melakukan riset pada dua event itu dan
menyebutnya sebagai gerakan sosial partisan (Kompas, 25/5/2016). Setelah
dua momen itu, sejauh ini hanya relawan Teman Ahok yang muncul menjelang
Pilkada Jakarta 2017.
Dalam
riset penulis, fenomena GSP di dua peristiwa, Pilkada Jakarta 2012 dan Pilpres
2014, adalah relawan yang membawa agenda atau aspirasi publik untuk perbaikan
kualitas demokrasi dan pelayanan publik dengan segala dimensinya: lebih
transparan, akuntabel, anti korupsi, dan perbaikan pelayanan publik. Dengan
mengacu pada agenda itulah, kemudian relawan mencari atau menemukan calon
pemimpin yang memiliki rekam jejak sesuai agenda tersebut dan tentu saja
memiliki potensi elektoral yang baik dan mumpuni secara politik. Pemimpin
tersebut tidak selalu memiliki hubungan langsung kepemimpinan dengan kelompok
relawan itu sendiri.
Tidak
berhenti di situ, langkah berikutnya, relawan kemudian "memaksa"
partai yang paling dekat dengan kecenderungan calon tersebut untuk mengusungnya
sesuai persyaratan UU Pemilu dan UU Pilkada. Relawan Teman Ahok tampaknya
berjalan lebih jauh dengan meninggalkan negosiasi dengan partai politik secara
cukup untuk bertindak memenuhi persyaratan calon independen sehingga
ditafsirkan oleh sejumlah kalangan sebagai anti partai politik dan merusak
tatanan demokrasi multipartai. Lebih dari itu, kini relawan Teman Ahok juga
dipersoalkan eksistensinya, apakah ia kelanjutan fenomena kerelawanan di atas
yang membawa misi agenda perubahan atau hanya duplikasi dari kehidupan politik
pada umumnya yang dinastik dan oligarkis.
Relawan
politik atau GSP jelas berbeda dengan tim sukses dalam berbagai pemilu atau
pilkada, baik untuk seorang calon maupun parpol. Tim sukses biasanya dibiayai
oleh calon atau partai atau donor tertentu untuk meraih jabatan tertentu dan
membawa misi dari calon atau parpol tersebut, tidak peduli sesuai atau tidak
dengan aspirasi publik.
Adapun
GSP lebih mengedepankan agenda perubahan dan perbaikan, khususnya pelayanan
publik, anti korupsi, serta proses politik yang murah dengan menghindari
"dagang sapi" karena bertumpu pada kerelawanan. Dalam hal ini,
tampakya, relawan Teman Ahok kehilangan argumentasi tentang mengapa memilih
Ahok sebagai calon, sebaliknya lebih terfokus pada ketokohan Ahok itu sendiri
dengan melupakan agenda apa saja yang dicanangkannya.
Populisme?
Penulis
berbeda pendapat dengan sejumlah peneliti yang menyebut fenomena GSP sebagai
populisme. Sebaliknya, justru fenomena tersebut sebagai pertanda pemilih makin
rasional karena mereka tidak lagi bergantung pada latar belakang primordial,
agama, etnis, kelompok, dan bahkan sejarah keterlibatannya di dalam parpol.
Proses ini memberikan pendidikan politik kepada para pemilih dan juga parpol
untuk lebih berorientasi pada program atau harapan perubahan dari agenda yang
ditawarkan untuk keuntungan mereka sendiri.
Kunci
dari rasionalitas pemilih tersebut adalah kepercayaan, aspek penting yang
sedang hilang dari rakyat/pemilih terhadap para politisi ataupun partai
politik. Disebabkan adanya ketakpercayaan rakyat terhadap para politisi dan
parpol, mereka akhirnya lebih menghargai inisiatif para relawan politik atau
GSP ketimbang parpol. Namun, reaksi parpol tertentu terhadap munculnya relawan
Teman Ahok justru memperkuat ketakpercayaan itu sendiri. Hal itu disebabkan
parpol bukan mempersoalkan kelemahan Ahok dalam pelayanan publik dan anti
korupsi sebagai gubernur, melainkan lebih menonjolkan hal-hal yang
kontroversial yang menampakkan kepentingan elite ketimbang pelayanan publik
kepada rakyat banyak.
Pernyataan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa tak ada korupsi pada kasus Sumber
Waras merupakan pukulan telak bagi tuduhan-tuduhan kontroversial itu.
Persaingan dan perebutan, dan sebaliknya negosiasi dan kompromi, sebenarnya
sesuatu yang biasa dalam politik. Pengalaman dua peristiwa keterlibatan relawan
politik di atas memang memberi pengalaman pahit kepada parpol tertentu, yang
memiliki calon yang diusung bersama-sama dengan relawan, karena harus berbagi
kekuasaan dengan mereka di dalam kekuasaan dan birokrasi setelah kemenangan.
Ini belum termasuk independensi sang calon dari kepentingan-kepentingan, khusus
dari parpol pengusung.
GSP
sendiri secara ideal, juga dalam praktiknya, tidak hanya berhenti mengantarkan
kandidatnya untuk menduduki jabatan, melainkan ikut mengawal tercapainya agenda
yang telah dicanangkan. Fase berikutnya, setelah menang, adalah bertarung
memberi arah bagi perubahan di setiap bagian di dalam kekuasaan, birokrasi, dan
kebijakan politik. Termasuk di dalamnya pengisian posisi-posisi jabatan
tertentu yang menentukan arah kebijakan itu sendiri.
Masuknya
para relawan ke dalam berbagai jabatan pemerintahan dan politik sebagaimana
terjadi pasca Pilkada Jakarta 2012 ataupun Pilpres 2014 tidak selalu negatif
sebagai semata bagi-bagi jabatan, melainkan bagian dari misi agenda tersebut,
sejauh mereka menaati cara-cara dan prosedur yang berlaku secara sah dan sesuai
kompetensi. Bahkan, hal itu bisa menunjukkan adanya perbaikan rekrutmen politik
dalam jabatan-jabatan strategis tertentu dengan standar kompetensi dan rekam
jejaknya.
Oposisi
Namun,
secara kebetulan kedua pengalaman GSP itu berhasil memenangkan sang kandidat.
Pertanyaannya, bagaimana jika kalah? Dalam tradisi kepemimpinan populis,
kekalahan dalam pemilu tidak akan menyurutkan mereka untuk terus memobilisasi
massa pendukungnya guna merebut kekuasaan. Mereka juga akan terus mengganggu
kekuasaan yang sah dan mapan.
Karena
belum pernah terjadi, belum bisa diprediksi bagaimana jika calon yang diusung
GSP itu kalah. Namun, hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu karakter
kepemimpinan calon dan hubungan antara calon dan anggota GSP. Jokowi, misalnya,
ketika jadi calon gubernur Jakarta 2012 adalah wali kota Surakarta dan tidak
memiliki keterkaitan yang mendalam dan psikologis dengan rakyat Jakarta. Karena
itu, sangat mustahil jika Jokowi, juga Ahok, akan menjadi pemimpin yang
terus-menerus memobilisasi massa pendukungnya untuk mengganggu lawan
yang-seandainya-menang.
Hal
yang sama bisa dilihat pada Pilpres 2014. Seandainya pasangan Jokowi-JK kalah,
hampir mustahil menjadikan Jokowi akan terus-menerus memobilisasi pendukung dan
memainkan psikologi massa untuk merawat kesetiaan dan mengganggu penguasa yang
menang karena sejak awal memang tidak memiliki preferensi hal terebut. Dengan
kata lain, jika pun ada peluang oposisi dari fenomena GSP ini bukanlah
kepemimpinan oposisi populis, tetapi oposisi rasional.
Ada
baiknya, GSP, jika ada, termasuk relawan Teman Ahok-lepas dari harus tetap pada
optimisme-harus menyiapkan diri dengan skenario kedua jika kalah. Oposisi yang
kuat, rasional, serta berkesinambungan kini sama dibutuhkan dengan kekuasaan
yang transparan, akuntabel, dan anti korupsi.
Dalam
tradisi demokrasi yang mapan, di samping merupakan kontrol terhadap kekuasaan
yang sedang berjalan, sesungguhnya oposisi juga menyiapkan diri untuk berkuasa
sewaktu-waktu dapat memenangi pemilu, dengan struktur dan kompetensi personel
yang memadai. Dengan demikian, relawan politik atau GSP seyogianya tidak hanya
menyiapkan perubahan ketika menang, juga menyiapkan diri sebagai oposisi yang
berkelanjutan dan kompeten ketika kalah.
oleh
Ahmad Suaedy
disadur
dari Kompas, Senin, 4 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar