Tentu
saja bagi seorang muslim, hari Lebaran merupakan momen-momen menggetarkan, hari
raya yang kedatangannya sangat ditunggu.
Tak
ubahnya Natal bagi umat kristiani atau Nyepi bagi kalangan Hindu di Bali.
Setelah satu bulan penuh berpuasa, kedatangan Idul Fitri seperti ulat yang
keluar dari kepompong untuk menemukan suasana baru. Sang Nabi menyebut selepas
puasa Ramadhan itu seseorang menjadi suci.
Idul
Fitri artinya kembali ke kesucian. Suci karena Ramadhan telah membakar dosa dan
kekhilafan. Lewat kuali Ramadhan, kesalahan itu dihanguskan dan manusia
dikembalikan ke titik nol, titik awal keberangkatan. Menginjak satu Syawal
dengan keinsafan dan semangat baru yang kebaruan itu sepenuhnya diacukan pada
jangkar kekuatan spiritual.
'Kebaruan'
itu penting sebab suasana seperti ini biasanya yang dapat menyuntikkan harapan
gemilang dalam meretas sejarah masa depan.
Kebaruan
sebagai pandu untuk memutus sejarah kelam masa silam. Dalam konteks sosial
kebangsaan, pemerintahan dan pejabat yang menawarkan sistem baru yang biasanya
mendapatkan respons positif dari masyarakat. Sistem dan mentalitas lama biasanya
diidentikkan dengan segala bentuk cela, cacat, dan kecurangan.
Maka
kewajiban kita itu adalah merawat kesucian. Bagaimana spirit Ramadhan
terus-menerus mengawal kita agar tidak jatuh dan tersekap dalam tindakan yang
dapat mengotori makna kesucian. Kesucian yang dapat menyelamatkan seseorang
ketika kembali ke pangkuan Zat Yang Mahasuci, kepada Yang Kudus. Itu
mengingatkan saya pada puisi Ajip Rosidi yang berjudul Hari Lebaran.
'Hari
ini hari hati percaya/akan arti hidup dan mati yang cuma sempat/ Direnungkan
setahun sekali. Sungguh besar maknanya/Jalan panjang menuju liang-lahat/Hari
ini hari kesadaran akan tradisi/ Menyempatkan umat sejenak
bersama-sama/Menghirup udara lega dalam kepungan derita/Sehari-hari yang bikin
orang jauh-menjauhi/Hari ini hariku pertama 'kan menjalani/Hidup antara
manusia, sedangkan diriku sendiri/ Makin sepi terasing, lantaran
mengerti/Kelengangan elang di langit tinggi'.
Menebarkan
maaf
Di hari
raya ini dengan lapang kita tebarkan maaf kepada sanak saudara dan handai
tolan. Maka Idul Fitri sering juga disebut Lebaran, saling melubarakan, saling
memaafkan. Sebab secara ontologis manusia ialah makhluk yang tidak lepas dari
kesalahan, permaafan menjadi pintu masuk mengurai kesalahan itu. Manusia bukan
malaikat yang tidak pernah keliru, juga bukan setan yang selamanya tersesat.
Manusia berada dalam dua pendulum, antara tarikan kebenaran dan godaan
kesalahan. Antara mendekat ke malaikat atau jatuh dalam pelukan
setan-kebinatangan. Antara dunia terang dan terseret gelombang arus kegelapan.
Faalhamaha
fujuraha wa taqwaha.
Dalam diri manusia mengalir potensi fujur
(negatif) dan potensi takwa
(positif). Mana di antara keduanya yang lebih dominan? Di titik ini
sesungguhnya hakikat 'jihad' itu harus diletakkan.
Jihad
yang paling besar kata Sang Nabi bukan militansi mengacungkan pentungan dengan
pekik Allahu Akbar sambil menganggap
kafir mereka yang tak sama haluan pemahaman dan kepercayaannya, melainkan
pertempuran dalam jiwa di antara kedua potensi itu. Ketika fujur yang menjadi
kiblat, manusia bisa lebih setan ketimbang setan, bisa lebih nestapa daripada
satwa. Sebaliknya, saat takwa yang menjadi landasan, manusia harkatnya dapat
melampaui malaikat, naik ke takhta spiritual yang paling puncak.
Dengan
air muka cerah penuh bahagia kita ulurkan tangan untuk bersalaman sambil
mengucapkan permaafan lewat ungkapan minal aidin wal faizin taqabbalallahu
minna waminkum. Tidak saja keluarga yang masih hidup yang dikunjungi untuk
bersilaturahim, malah leluhur yang telah lama meninggal pun kita ziarahi dan
doakan untuk keselamatannya di alam baka.
Dalam
konteks budaya keindonesiaan, kunjungan demi silaturahim itu bisa jadi harus
menempuh jarah ratusan kilometer dengan kemacetan yang sudah rutin, atau apa
yang kita sebut dengan tradisi mudik itu. Ribuan pemudik bahkan lebih pada saat
bersamaan rela berjejalan dan terpanggang di jalanan demi menuntaskan kerinduan
purba ke kampung halaman, menyelesaikan kerinduan terhadap asal usul
kulturalnya. 'Kampung halaman' sebagai tempat yang dituju interaksi simbolisnya
tidak saja merujuk kepada makna geografis, tapi juga spiritual.
Di
tangan kaum pemudik, seolah jarak itu dilipat. Bagi mereka tidak ada yang abadi
kecuali kenangan terhadap 'kampung halaman'. Kenangan yang dalam fakta
mentalnya tidak bisa dikuburkan walaupun telah lama mengembara menjadi bagian
dari masyarakat urban. Sejauh apa pun mengembara, ujungnya tak lebih hanya
proses kultural-psikologis menanam kenangan itu untuk minimal satu tahun sekali
diekspresikan dalam katup wujud mudik yang heroik itu.
Mungkin
secara sosiologis hanya di kepulauan Nusantara orang pulang kampung secara
serentak bahkan negara harus ikut terlibat, ambil bagian menertibkan dengan
sandi yang bertemali dengan makanan khas Lebaran; Operasi Ketupat! Mengapa
ketupat? Bisa jadi ada benarnya apa yang dibilang Claude Levi Strauss, seorang
antropolog berkebangsaan Prancis, bahwa 'makanan' itu tidak hanya berurusan
dengan perut tapi dapat menjadi indeks kebudayaan yang lebih luas. Saya tidak
tahu apakah atas kesadaran ini jajaran kepolisian mengambil ketupat sebagai
simbol dalam mengelola lalu lintas di hari raya.
Dalam
praktiknya, ternyata bukan sekadar pulang kampung, melainkan juga narasi yang
diriwayatkannya kepada kaum kerabat dan para tetangga tentang kota yang
ditumpanginya, sering kali menebarkan daya pikat kepada masyarakat yang masih
berada di desa itu untuk ikut merantau mempertaruhkan nasibnya ke kota.
Akhirnya lewat Lebaran kota mengepung desa dan selepas Lebaran desa mengepung
kota.
Atmosfer
religiositas
Harus
diakui bahwa selama Ramadhan biasanya indeks kesalehan seseorang meningkat.
Tidak saja puasa yang dilakukan, tetapi juga segenap kebaikan ditunaikan dengan
penuh keikhlasan. Zakat, sedekah, bangun malam, dan tadarusan menjadi bagian
tidak terpisahkan dari hari-hari di Ramadhan.
Bahkan
selama bulan puasa, semua stasiun televisi pun menu acaranya menyesuaikan
dengan spirit Ramadhan. Bukan saja kita 'dikepung' ceramah sebelum buka dan
saat sahur, malah pembawa acara dan segenap artis pun yang biasanaya mengumbar
aurat dan memanggungkan gaya hidup hedonistis, selama Ramadhan mendadak
menampilkan dirinya tak ubahnya 'santri' dan bahkan 'ustadz'. Lomba dai dan
tahfidz Al-Qur’an dalam sepuluh tahun terakhir seolah menjadi menu wajib selama
Ramadhan.
Di
beberapa tempat saking semangatnya berpuasa, Satpol PP pun merasa perlu
menyisir warung-warung yang dipandang dapat mengganggu orang-orang yang
berpuasa dengan berlindung di balik perda syariah. Negara tiba-tiba merasa
memiliki kewajiban untuk mengurus ibadah seseorang yang sesungguhnya bersifat
personal.
Namun,
harus juga lekas dicatat, ritual yang dilakukan sering kali berhenti sebatas
upacara. Selesai ritual ditunaikan, selesai pula urusannya. Di persimpangan
inilah fenomena paradoksal itu mencuat. Satu Syawal seolah menjadi katup orang
kembali ke habitat aslinya yang negatif. Nyaris Ramadhan itu tak berdampak baik
secara personal, kultural, terlebih sosial. Akhirnya, selamat berlebaran.
oleh
Asep Salahudin
disadur
dari Media Indonesia, Selasa, 5 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar