Pemerintahan
yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam jangka
menengah menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa menyentuh angka 7%. Tentu bukan
harapan yang terlalu muluk walaupun tak sedikit hambatan yang harus dilalui
seperti ruang fiskal yang begitu sempit sehingga menekan kemampuan belanja
pemerintah. Semuanya sangat bergantung pada strategi yang diterapkan. Dus,
disertai dengan fokus dan komitmen yang diarahkan pada target tersebut,
mengingat tantangan yang dihadapi juga tidak mudah.
Hingga
menjelang tengah semester tahun ini misalnya penerimaan pajak baru sekitar
Rp364,1 triliun atau 26,8% dari target sepanjang tahun ini. Tentu pemerintah
harap-harap cemas dalam memburu pencapaian hingga akhir tahun, mengingat
penerimaan pajak merupakan modal penting untuk merealisasikan rencana
pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah.
Namun,
melihat gejala penerimaan pajak tersebut, tentu sulit berharap pemerintah
memiliki anggaran yang memadai untuk membangun infrastruktur demi mendorong
pertumbuhan. Apalagi, pemerintah telah terikat dengan ketentuan bahwa maksimum
defisit anggaran sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB) sehingga sangat
sulit untuk bergantung pada pinjaman.
Jika
terasa pahit untuk berharap belanja pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi
secara langsung, bukan berarti tidak ada harapan. Masih ada investasi yang
trennya cenderung meningkat. Jika pada kuartal 1-2015 kontribusinya sebesar
32,85%, kuartal pertama tahun ini sudah menjadi 33,16%.
Dalam
konteks pembangunan oleh pemerintah dan sebaran penanaman modal, sejatinya
pemerintah memberikan pertimbangan serius terhadap sebaran wilayah. Pasalnya,
dalam empat dekade terakhir, konsentrasi pembangunan relatif tidak mengalami
perubahan. Sejak 1970-an hingga saat ini distribusi PDRB masih didominasi Pulau
Jawa. Kontribusinya terhadap struktur ekonomi nasional bahkan cenderung terus
meningkat, yaitu sudah di atas 58%.
Sementara
selama lima tahun terakhir, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi di masing-masing pulau sangat beragam dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi kisaran 4-8%.
Rata-rata pertumbuhan paling besar terjadi di Pulau Sulawesi mencapai 8,07% dan
daerah yang memiliki pertumbuhan paling rendah adalah Kalimantan yaitu sebesar
4,14%.
Adapun
di Jawa dan Sumatera bersifat moderat yaitu sekitar 6 dan 5%. Berkaca dari
pengalaman dan tren pertumbuhan yang terjadi, kita dapat melihat bahwa daerah
yang memiliki sumber daya alam melimpah, pertumbuhan ekonominya masih sangat
rendah. Karena itulah, dengan perencanaan dan penargetan pertumbuhan ekonomi
yang matang, pertumbuhan 7% bukan hal yang mustahil.
Komite
Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) pernah melakukan simulasi sederhana
tentang mendorong pertumbuhan ekonomi berdasarkan sebaran wilayah dengan
kontributor utama datang dari investasi, ekspor, dan pengendalian impor. Dengan
asumsi bahwa pemerintah mampu menjaga supaya perekonomian di Jawa berjalan
seperti biasa dengan pertumbuhan seperti sekarang, pertumbuhan ekonomi di luar
Jawa masing-masing harus didorong menjadi: Sumatera 6,97%, Bali dan Nusa
Tenggara 9,99%, Kalimantan 6,91%, Sulawesi 9,20%, serta Maluku dan Papua 6,46%.
Tentu
angka-angka pertumbuhan yang ditargetkan pada simulasi tersebut bukanlah hal
yang mengada-ada. Secara empiris, masing-masing pulau pernah mencapai angka
pertumbuhan tersebut. Karena itulah, dengan skenario tersebut, pertumbuhan 7%
bukanlah suatu keniscayaan. Dengan fokus dan komitmen pada pertumbuhan di luar
Jawa, berarti pemerintah harus berani mencurahkan kemampuan untuk meningkatkan
pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah tersebut.
Pembangunan
infrastruktur ini menciptakan konektivitas antarwilayah sehingga sangat
mendukung kegiatan perekonomian yang mampu merangsang pertumbuhan. Pola
pembangunan seperti ini juga telah dilakukan Filipina.
Negara
tersebut telah berhasil menikmati pertumbuhan ekonomi 7%, setelah memfokuskan
belanja anggarannya untuk membangun infrastruktur demi membuka konektivitas
antarwilayah demi menggerakkan perekonomian. Pemerintah Indonesia sebenarnya
sudah berada di jalur yang sama dengan gencarnya pemerintah membangun
infrastruktur jalan.
Secara
teoritis, melalui kebijakan pembangunan yang fokus di luar Jawa, akan terjadi
konvergensi (catch-up effect) dalam ekonomi. Wilayah yang selama ini
memiliki pertumbuhan ekonomi lebih rendah akan tumbuh lebih cepat sehingga akan
memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Melalui
kebijakan pembangunan yang fokus pada sebaran wilayah tersebut, akan sangat
membantu pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang berkualitas. Yakni,
pertumbuhan ekonomi tinggi yang mampu menurunkan tingkat kemiskinan serta
mempersempit jarak ketimpangan, baik antarwilayah maupun antarpenduduk.
Karena
itulah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas bukanlah harapan yang
terlalu muluk. Namun, menjadi sia-sia sekiranya tidak direncanakan dengan baik,
tanpa fokus, serta tidak ada komitmen tinggi.
Oleh
Arif Budimanta
Disadur dari Koran Sindo, Senin, 13 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar