Gejolak
harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini menjadi perhatian semua kalangan. Upaya
meredam gejolak harga menjadi fokus kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia
(BI) agar inflasi tetap terkendali.
Market-signaling yang telah
dikeluarkan pemerintah, bahkan sebelum masuknya bulan suci Ramadhan, belum
mampu membendung lonjakan harga kebutuhan pokok, terutama daging dan gula.
Akhir-akhir ini harga kelompok sayur-mayur juga naik signifikan di sejumlah
daerah.
Perintah
Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebagai bentuk market-signaling, yang memerintahkan agar harga daging di bawah
Rp80.000/kg masih belum mampu menurunkan harga daging di pasaran. Sampai saat
ini harga daging berada di kisaran Rp120.000-150.000/kg. Di sejumlah daerah
harga daging di atas kisaran tersebut. Tingginya harga daging membuat
pemerintah, melalui menteri Perdagangan dan menteri pertanian, menerbitkan izin
impor daging yang dilakukan BUMN dan swasta.
Pemerintah
memberikan sinyal untuk menambah pasokan yang diharapkan mampu mengendalikan
harga sesuai perintah Presiden. Izin impor daging sebanyak 10.000 ton diberikan
ke Bulog. PT Berdikari 5.000 ton. Kemudian izin impor daging oleh swasta
sebanyak 23.200 ton.
Selain
memberikan izin impor, pemerintah juga telah melakukan market-signaling lain
seperti kunjungan menteri di beberapa pasar tradisional dan rencana operasi
pasar untuk meredam gejolak harga dan membawa harga daging di bawah
Rp80.000/kg. Pertanyaan mendasar dalam hal ini, seberapa besar efektivitas market-signaling yang dilakukan
pemerintah untuk meredam lonjakan harga di pasar? Apakah market-signaling yang dikeluarkan pemerintah mampu mengatasi
ketimpangan supply-demand domestik?
Secara
teoritis, arah dan kebijakan yang akan ditempuh pemerintah merupakan sinyal
bagi pasar. Kebijakan yang sesuai dengan tren pasar sering kali kita sebut
sebagai kebijakan pro-cyclical dan yang melawan tren pasar, counter-cyclical.
Dalam konteks membalikkan tren kenaikan harga komoditas saat Ramadhan dan Idul
Fitri, kebijakan market-signaling
kita kategorikan sebagai counter-cyclical. Upaya membuat harga komoditas
rendah saat permintaan sangat tinggi.
Tentunya
ini bukan pekerjaan mudah lantaran tingginya permintaan tanpa diimbangi dengan
penambahan pasokan yang cukup besar akan membuat harga di pasar melambung. Market-signaling yang dikeluarkan oleh
pemerintah akan dikontraskan dengan kondisi riil di sistem rantai nilai
produksi. Antara lain dari mulai jumlah dan kecukupan ketersediaan sapi, sistem
logistik, kondisi rumah potong hewan, distribusi daging, sampai struktur
industri daging nasional.
Sementara
itu, tekanan dari sisi permintaan memang cukup tinggi karena likuiditas
bertambah di bulan Ramadhan dan jelang Idul Fitri. Salah satu faktor yang membuat
likuiditas bertambah adalah kebijakan pemerintah yang akan memberikan gaji ke-13 dan ke-14 bagi PNS/TNI/ Polri di
bulan Ramadhan. Ditambah dengan ada Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawan
swasta, likuiditas yang dipegang masyarakat bertambah besar.
Bank
Indonesia memperkirakan kebutuhan uang tunai masyarakat saat Ramadhan dan Idul
Fitri akan meningkat 14,5%. Secara psikologis, meski masyarakat baru akan
mendapatkan tambahan gaji menjelang Idul Fitri, hal tersebut cukup untuk
mendorong pembelian di awal Ramadhan. Kepastian prospek tambahan pendapatan
mendorong perilaku konsumen belanja lebih awal dan lebih tinggi dari bulan-bulan
sebelumnya.
Bagi
saya, peningkatan konsumsi masyarakat bukanlah hal yang selalu harus
dikonotasikan negatif. Bahkan justru pada saat perlambatan ekonomi global dan
penghematan anggaran negara, konsumsi masyarakat bisa menarik sektor usaha
domestik menjadi lebih bergairah. Konsumsi domestik selama ini berkontribusi
secara rata-rata 54- 56% terhadap
pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional.
Jadi,
kita tidak dapat menyalahkan tingginya konsumsi yang membuat harga kebutuhan
pokok melonjak. Justru kita perlu bersyukur bahwa masyarakat masih mau
mengonsumsi. Negara seperti China saat ini bahkan mendorong kenaikan konsumsi
domestik untuk mengkompensasi penurunan tajam ekspor mereka.
Secara
domestik, banyak perusahaan baik di bidang ritel, tekstil dan produk
turunannya, makanan dan minuman, transportasi, telekomunikasi, perhotelan, dan
bahkan jasa-jasa lainnya mendapatkan limpahan order yang sangat tinggi akibat
tingginya konsumsi masyarakat. Hal ini yang membuat margin industri terjaga dan
ekspansi bisnis terjadi.
Bayangkan
kalau permintaan dan konsumsi sangat rendah di bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Risiko buruk bagi perekonomian nasional mungkin bisa terjadi sebagai akibat
ketidakmampuan sektor industri nasional menjaga margin keuntungan. Pengurangan
jam kerja, menahan tidak ekspansi, dan bahkan pemutusan hubungan kerja bisa
saja dilakukan pengusaha untuk mengkompensasi kerugian akibat rendahnya
permintaan di pasar domestik.
Kondisi
inilah yang sebenarnya terjadi dalam sistem perekonomian nasional saat Ramadhan
dan menjelang Idul Fitri. Dengan demikian, efektivitas market-signaling berupa arahan, kebijakan counter-cyclical, dan gesture
para menteri harus mampu memahami kondisi riil persoalan supply-demand nasional. Tanpa pemahaman yang memadai apalagi belum
sinkronnya data yang dimiliki antar kementerian/ lembaga, membuat market-signaling tidak koheren satu
dengan yang lain.
Hal ini
akan semakin membuat pelaku pasar kebingungan market-signaling yang mana yang harus diikuti. Ketidaksinkronan
pernyataan para pengambil kebijakan terlihat pada klaim keamanan stok kebutuhan
pokok jelang Ramadhan dan Idul Fitri yang tidak jarang berbeda satu dengan yang
lain. Para pelaku pasar akan semakin kebingungan ketika pernyataan pengambil
kebijakan berbeda satu dengan yang lain.
Sementara
produsen dan pedagang berlomba dengan waktu untuk memenuhi tingginya permintaan
dari masyarakat. Koherensi pernyataan dan sikap untuk kebijakan counter-cyclical sangat diperlukan untuk
memperkuat kredibilitas market-signaling
di mata pelaku pasar. Tentunya kita semua berharap market-signaling berupa kebijakan counter-cyclical dapat benar-benar terwujud.
Dengan
kata lain, harga kebutuhan pokok dapat terkendali di saat Ramadhan dan
menjelang Idul Fitri. Tidak hanya tahun ini, tetapi juga di tahun-tahun depan.
Namun, untuk mewujudkan hal ini, pekerjaan besar perlu dilakukan dari sisi
pasokan (supply side). Kurva permintaan cenderung shifting ke atas dan menekan harga naik akibat bertambahnya
likuiditas (uang tunai) yang dipegang masyarakat dan aspek lainnya seperti
aspek kultural-sosiologis (misalnya fenomena mudik, libur panjang, dan transfer
dana ke kampung halaman).
Agar
harga tetap dalam keseimbangan awal, kurva pasokan tidak hanya bergerak
sepanjang kurva (moving along the curve), tetapi harus shifting.
Sehingga, market-signaling yang dibutuhkan harus lebih kuat dan mampu
meyakinkan pelaku pasar bahwa pasokan tercukupi di pasar domestik untuk
mengimbangi tekanan pembelian yang sangat tinggi di bulan suci Ramadhan dan
menjelang Idul Fitri.
Apabila
hal ini terjadi, kita akan semakin optimistis bahwa cita-cita dan tujuan untuk counter-cyclical dalam meredam gejolak
harga dapat diwujudkan.
oleh
Firmanzah
disadur dari Koran Sindo, Senin, 13 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar