Memasuki
minggu kedua Ramadhan, target pemerintah untuk memperpendek rantai nilai produk
pangan strategis masih belum terlihat mencapai kemajuan yang berarti. Langkah
operasi pasar di yang dilakukan Bulog, PD Pasar Jaya dan beberapa pemerintah
daerah (Pemda) di seluruh Indonesia tidak serta-merta menurunkan harga
keseimbangan produk pangan di pasar. Rencana pemerintah untuk menurunkan harga
eceran daging sapi segar sampai Rp80.000 per kilogram belum tercapai secara
mulus.
Harga
eceran rata-rata daging sapi di pasar-pasar tradisional di seluruh Indonesia
sampai dengan Sabtu 10 Juni 2016 masih Rp115.000 atau belum turun secara
signifikan. Harga daging ayam masih Rp32.500, harga gula pasir bahkan merangkak
naik menjadi Rp15.720, harga cabe merah Rp33.600 dan harga bawang merah hanya
turun sedikit menjadi Rp38.160 per kilogram.
Operasi
pasar yang dilakukan pemerintah, Pemda, badan usaha milik negara (BUMN), dan
badan usaha milik daerah (BUMD) baru mencapai segmentasi pasar saja. Harga
eceran produk pangan strategis pada tenda-tenda operasi pasar terlihat jauh
lebih rendah dari harga pasar. Misalnya harga daging sapi dijual pada rentang
Rp85.000-Rp90.000 tergantung jenisnya, harga gula pasir dijual Rp14.000.
Harga
cabai merah Rp20.000 dan harga bawang merah Rp25.000 per kilogram. Para pembeli
dengan enteng berbelanja pada tenda-tenda operasi pasar, walau harus mengantre.
Sementara sebagian lain tetap berbelanja di kios-kios di dalam los pasar
tradisional dan pasar modern, walaupun dengan harga pasar yang masih mahal.
Segmentasi pasar produk pangan yang tercipta karena operasi pasar tersebut
tidak banyak mengganggu psikologi penjual dan pembeli. Transaksi jual-beli di
pasar masih berlangsung lancar, tidak terdapat gangguan yang berarti.
Sistem Perdagangan
produk pangan pokok dan strategis serta segenap sistem rantai nilai atau rantai
pasok yang terbangun bertahun-tahun tampak tidak akan mampu diubah begitu saja
dengan langkah jangka pendek atau terobosan sekalipun. Memperpendek rantai
hanya dengan melakukan operasi pasar atau menugaskan BUMN dan BUMD dalam sistem
rantai nilai produk pangan belum tentu akan memperbaiki stabilisasi harga
pangan dalam waktu singkat.
Pemerintah
dan segenap pengampu kepentingan masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak
ringan, yaitu membenahi governansi ekonomi (economic governace) dari
rantai nilai tersebut, sebagaimana yang akan diuraikan pada artikel ini.
Pembenahan di sektor hulu usaha tani melalui perbaikan sistem produksi dan
peningkatan produktivitas masih amat dibutuhkan.
Apabila
sistem produksi di hulu masih menderita efisiensi yang akut, penggunaan
teknologi produksi yang ketinggalan zaman, serta sistem usaha tani tradisional
yang terlalu banyak menggunakan input yang tidak efisien, maka suatu sistem
rantai nilai produk pangan dipastikan juga tidak akan efisien.
Demikian
pula sistem Perdagangan yang terlalu tertutup dan dikuasai para pelaku ekonomi
beberapa gelintir saja, tapi dengan posisi yang amat dominan, tentu amat sulit
untuk membangun suatu rantai nilai efisien, yang memberikan kenyamanan atau
balas jasa yang fair bagi petani
produsen dan konsumen.
Apabila
pelaku Perdagangan produk pangan terkesan menghalang- halangi pelaku ekonomi baru yang akan masuk ke dalam sistem
rantai nilai, entry barriers seperti
itu pasti akan memperlambat upaya-upaya stabilisasi harga pangan, seperti yang
menjadi tugas pemerintah.
Governansi
ekonomi yang dimaksudkan di sini adalah suatu sistem nilai atau tata kelola
yang menjunjung tinggi keterbukaan dan keadilan. Governansi ekonomi dapat
tercipta melalui pelayanan sistem informasi yang terbuka dan kredibel, data
volume produksi, penjualan, dan konsumsi yang dapat dipercaya para pelaku, data
harga produk dan kualitasnya yang tidak menipu sehingga dapat dijadikan
referensi para pelaku dan perumus kebijakan.
Sistem
rantai nilai produk pangan yang memiliki governansi yang baik tidak harus
melibatkan aparat militer dan tentara yang ditugaskan di desa-desa untuk
sekadar memastikan target-target pembelian produksi pangan yang dihasilkan
petani. Benar, bahwa rantai nilai produk pangan yang melibatkan impor memiliki
dimensi permasalahan yang tidak sederhana, bahkan multidimensi, mulai ekonomi,
politik, dan sosial kultural.
Suatu
sistem rantai nilai yang tidak dilandasi oleh modal sosial atau tingkat
kepercayaan (trust) yang tinggi antarpelaku, maka sistem tersebut dapat
mengarah pada suatu distorsi yang pasti akan menghambat stabilisasi pangan. Dan
bahkan lebih berbahaya bagi sistem perekonomian dibandingkan dengan sinyalemen
mafia atau kartel pangan, sebagaimana sering disampaikan para pejabat.
Contoh
terbaru tentang potensi persoalan governansi ekonomi pada sistem rantai nilai
produk pangan adalah tentang impor sapi bakalan pada 2016 ini yang mencapai
600.000 ton, setara daging dan tambahan impor daging beku secondary cut
sebanyak 10.000 ton lagi. Rencana impor sapi pada kuartal kedua Mei-Agustus
2016 sebesar 250.000 ton setara daging belum sepenuhnya dapat direalisasikan,
karena proses pengapalan sapi dari Australia perlu waktu yang tidak sebentar.
Solusi
jangka pendek yang ditempuh pemerintah adalah membuat prioritas tambahan impor
daging beku, khusus untuk mengantisipasi permintaan pada Ramadhan dan Idul
Fitri. Setidaknya, di sini terdapat dua potensi masalah baru dalam governansi
ekonomi yang saling berkaitan.
Pertama,
stakeholders atau pelaku lama
importir daging sapi merasa diperlakukan tidak adil karena pemerintah tiba-tiba
menunjuk 10 perusahaan baru untuk melakukan impor daging secondary cut
tersebut. Importir daging yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Importir
Daging Sapi (Apsidi) yang konon telah memiliki jaringan distribusi dan rantai
pendingin, sebagaimana disyaratkan, justru tidak dilibatkan dalam impor daging
beku tersebut. Apakah langkah pemerintah tersebut memang dimaksudkan untuk
menghilangkan entry barriers dalam
sistem rantai nilai pangan? Waktu jualah yang akan menjawabnya.
Kedua,
konsumen daging sapi dan kebanyakan masyarakat Indonesia tidak terlalu terbiasa
melakukan konsumsi langsung daging beku, sehingga daging impor secondary cut
tersebut belum tentu laku keras di pasaran. Maksudnya, daging beku asal impor
tersebut tidak cukup mudah untuk mampu menembus jaringan pengecer daging di
pasar tradisional, yang umumnya telah terafiliasi dengan jaringan pedagang
daging yang lama.
Apakah
hal ini ada hubungannya dengan tindakan negara melalui Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) yang telah menghukum denda beberapa industri penggemukan sapi (feedloter)
atas tuduhan persaingan usaha tidak sehat, sehingga terdapat perlawanan
(retaliasi) dari pelaku ekonomi tersebut, waktu jualah yang akan menjawabnya.
Contoh potensi masalah baru governansi ekonomi dalam rantai nilai daging sapi
seperti inilah yang perlu secara integratif dipertimbangkan dalam upaya
stabilisasi harga pangan pokok dan strategis.
Upaya
memperpendek rantai nilai daging sapi dengan membawa sapi secara langsung dari
peternak di Nusa Tenggara Timur (NTT), wajib disertai langkah-langkah perbaikan
governansi rantai nilai. Langkah yang ditempuh dengan menekan harga beli sapi
di tingkat peternak sampai Rp33.000 per kilogram berat sapi hidup, demi untuk menekan
harga eceran daging sapi sampai Rp80.000 tentu tidaklah bijak.
Maksudnya,
langkah untuk menyenangkan konsumen perkotaan dengan cara mengorbankan
kesejahteraan peternak sapi di daerah pedesaan, tentu bukan contoh governansi
ekonomi yang baik. Tugas utama pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur
pedesaan, jaringan distribusi, dan fasilitas Perdagangan, serta perbaikan
birokrasi perizinan dan pemihakan kebijakan lain yang lebih kondusif jauh akan
mampu memperbaiki governansi ekonomi rantai nilai yang lebih.
Persoalan
inefisiensi rantai nilai produk pangan yang bersifat struktural pasti
mensyaratkan solusi kebijakan yang lebih struktural juga. Langkah pintas untuk
memperpendek rantai, pasar murah, operasi pasar, dan lain-lain adalah syarat
cukup (necessary condition), tapi perbaikan governansi ekonomi berupa
kemudahan perizinan, perlakuan adil dan terbuka kepada segenap stakeholders,
plus pembenahan infrastruktur, sistem informasi dan lain-lain adalah syarat
lengkap (sufficient condition) stabilisasi harga pangan yang lebih
berjangka panjang.
oleh Bustanul Arifin
disadur Koran Sindo,
Selasa, 14 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar