Pemuda
Muhammadiyah mengadakan Konferensi Antikorupsi di Jakarta pada tanggal 17–19
Juni 2016. Beberapa tokoh masyarakat seperti mantan presiden BJ Habibie, Ketum
Muhammadiyah Haedar Nashir, Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto didapuk sebagai
pembicara. Saya juga diundang sebagai salah satu narasumber. Sayang sekali
tidak bisa hadir, namun izinkan saya menyampaikan pemikiran melalui kolom di
detikcom ini.
Pertanyaan
yang coba dijawab dalam tulisan singkat ini adalah bagaimana masa depan
antikorupsi di tanah air, utamanya dilihat dari sudut pandang hukum tata
negara? Itu adalah pertanyaan yang penting, namun harus diakui, tidaklah baru.
Seminar, diskusi, konvensi antikorupsi telah seringkali kita lakukan, sehingga
menemukan pertanyaan, jawaban dan argumen baru adalah hampir mustahil. Tanpa
bermaksud mengulang-ulang apa yang telah seringkali diseminarkan, tulisan ini
tetap perlu menyampaikan berbagai faktor yang mempengaruhi nasib pemberantasan
korupsi, sekali lagi dari sisi hukum tata negara.
Jika kita
sukses dalam mendorong perbaikan di beberapa faktor yang mempengaruhi agenda
pemberantasan korupsi ini, maka masa depan pemberantasan korupsi akan lebih
baik, tetapi begitu pula sebaliknya. Faktor-faktor itu adalah: perbaikan
regulasi antikorupsi, termasuk penguatan lembaga antikorupsi semacam KPK;
perbaikan penegakan hukum antikorupsi, termasuk pemberantasan mafia hukum;
komitmen pemberantasan korupsi yang lebih nyata dari para pemimpin negeri,
khususnya presiden; reformasi partai politik; dan kesadaran publik dan
pendidikan antikorupsi.
Korupsi?
Secara
sederhana korupsi terjadi jika suatu sistem gagal mengantisipasi authority + monopoly – transparency
(Korupsi = kewenangan + monopoli – transparasi). Artinya korupsi akan tumbuh
subur dalam sistem yang gagal membatasi kewenangan, alias ada sumber kekuasaan
yang memonopoli kekuasaan, dan tidak ada transparansi. Maka kekuasaan yang
cenderung korup akan menemukan lahan dan tanah suburnya untuk terus berkembang
biak di tengah kegelapan.
Karena
itu, dari sisi hukum tata negara, formula pemberantasan korupsi sebenarnya
relatif sederhana, yaitu membatasi kekuasaan dan menguak sistem yang tertutup.
Karena itu, sistem ketatanegaraan yang antikorupsi harus mengadopsi pembagian
ataupun pemisahan kekuasaan (separation
of powers), menerapkan saling-kontrol-saling-imbang (checks and balances) antara cabang kekuasaan, dan memastikan
keterbukaan adalah menu wajib untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan itu
sendiri. Begitu merusaknya kekuasaan tanpa kontrol bagi korupsi, sehingga tidak
cukup hanya dipecah dan dipisahkan, tetapi lebih jauh harus juga dibuka secara
transparan pelaksanaannya. Tidak boleh ada cabang kekuasaan manapun yang
memonopoli kekuasaannya, dan dalam melaksanakan kekuasaannya harus terbuka agar
akuntabel. Karena itu, dalam suatu negara demokratis, yang menjunjung tinggi
keterbukaan dan pembatasan kekuasaan, korupsi tidak akan tumbuh subur, begitu
pula sebaliknya.
Itu
formula dan rumusnya di atas buku, namun dalam praktiknya tidaklah semudah itu.
Kekuasaan memang harus dibagi dan dikontrol agar tidak koruptif. Namun,
kekuasaan yang terlalu banyak dibagi dan dipisahkan, terlalu dikontrol, akan
menghadirkan kekuasaan yang mudah diintervensi, dan akhirnya tidak efektif
alias mandul. Kekuasaan minus pengawasan akan menyuburkan korupsi. Tetapi,
sebaliknya pula, kekuasaan surplus pengawasan akan menyuburkan intervensi, dan
karenanya tidak efektif.
Maka,
dalam sistem ketatanegaraan, membuat adonan hukum yang pas antara kekuasaan dan
pengawasannya menjadi tantangan yang tidak mudah dihadapi.
Regulasi
Antikorupsi Membaik, Tapi Belum Cukup
Salah
satu faktor yang mempengaruhi bagaimana masa depan gerakan antikorupsi kita di
masa depan adalah bagaimana tingkat kesuksesan kita untuk terus memperbaiki
regulasi antikorupsi. Makin baik regulasi antikorupsi kita, makin cerah masa
depan gerakan antikorupsi, demikian pula sebaliknya.
Dibandingkan
era sebelum reformasi, regulasi antikorupsi memang lebih baik. Sepuluh tahun
awal reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai aturan yang menguatkan aturan
antikorupsi kita. Namun, beberapa saat belakangan ini timbul kecenderungan
untuk merubah kembali regulasi yang sudah baik itu, misalnya rencana revisi UU
KPK, yang justru berpotensi melemahkan KPK.
Berikut
adalah beberapa regulasi antikorupsi yang lebih baik itu, dengan beberapa
catatan perbaikan yang perlu dilakukan.
Pertama,
reformasi konstitusi di tahun 1999 – 2002 yang melahirkan empat amandemen UUD
1945, walaupun melalui proses yang tidak terlalu ideal sebagai suatu cara perubahan
konstitusi, tetap berhasil menghadirkan UUD yang lebih demokratis, dan
karenanya lebih antikorupsi. Beberapa norma konstitusi yang lebih baik dan
sejalan dengan semangat antikorupsi itu adalah:
a)
penegasan Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan semata;
b)
pembatasan masa jabatan presiden menjadi maksimal hanya dua periode, dari
awalnya tidak terbatas;
c)
pembatasan beberapa kewenangan presiden yang memerlukan persetujuan ataupun
pertimbangan DPR atau Mahkamah Agung;
d)
memasukkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu dasar pemberhentian
presiden/wakil presiden;
e)
pembentukan DPD sebagai kamar kedua parlemen yang seharusnya bisa menjadi rekan
kerja sekaligus sparring partner DPR di parlemen;
f)
pengaturan secara khusus bab baru terkait pemilihan umum yang menjamin hadirnya
komisi pemilihan umum sebagai organ konstitusi yang bersifat "nasional,
tetap dan mandiri";
g)
penguatan BPK sebagai organ konstitusi yang "bebas dan mandiri" dan
memiliki perwakilan di daerah;
h)
pembentukan Mahkamah Konstitusi yang kewenangan-kewenangan konstitusionalnya
sangat penting untuk mengawal dan mengamankan sistem antikorupsi;
i)
pembentukan Komisi Yudisial yang kewenangan konstitusionalnya untuk membantu
rekrutmen hakim agung dan pengawasan perilaku hakim tentu juga sangat strategis
untuk membangun sistem kehakiman yang lebih antikorupsi; dan
j)
jaminan hak asasi manusia yang lebih baik, yang menguatkan bangunan negara
hukum yang demokratis, dan karenanya menjadi kontrol atas kekuasaan negara yang
cenderung korup.
Namun,
itu bukan berarti tidak ada ruang bagi perbaikan konstitusi kita agar menjadi
lebih antikorupsi. Materi amandemen kelima dapat merumuskan beberapa perbaikan
berikut, agar sistem antikorupsi lebih dikuatkan:
Memperkuat
kewenangan konstitusional DPD, sehingga bikameral kita menjadi strong bicameralism, bukan hanya weak bicameralism dengan dominasi DPR
yang jauh di atas kekuasaan DPD. Hanya dengan demikian, kontrol internal di
parlemen melalui relasi saling kontrol antara DPR dan DPD dapat berjalan lebih
efektif. Saya lebih cenderung memisahkan ketimbang hanya membagi kewenangan
kedua kamar parlemen tersebut. Maknanya, DPD mempunyai kewenangan lebih terkait
persoalan-persoalan daerah, sedangkan DPR mempunyai kewenangan lebih terkait
persoalan-persoalan nasional.
Artinya
kekuasaan tidak dibagi rata sama kuat untuk semua persoalan antara DPR dan DPD.
Karena pembagian rata demikian memang akan menghadirkan DPD yang kuat, tetapi
sekaligus mengundang hadirnya potensi saling mengunci (gridlock) antara keduanya. Maka, untuk hal-hal berbeda yang perlu
didiskusikan lebih mendalam, salah satunya tetap harus diberikan kewenangan
lebih kuat dibandingkan yang lain, agar dalam hal pembahasan berbagai persoalan
tetap akan ada jalan keluar dari kebuntuan. Kita perlu menciptakan bikameral
yang kuat, dengan sistem kontrol internal antara kedua kamar, tetapi tidak
justru menciptakan perkelahian dua kamar parlemen yang sama kuat dan justru
memandulkan keduanya.
Perbaikan
sistem seleksi pimpinan BPK. Sistem seleksi BPK yang, "dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
diresmikan oleh Presiden" adalah proses rekrutmen yang cenderung
dimonopoli oleh DPR. DPD hanya memberikan pertimbangan yang tentu saja tidak
mengikat, dan presiden hanya berwenang pelantikan yang seremonial. Sistem
rekrutmen yang monopolistik demikian—sebagaimana definisi korupsi adalah
kewenangan monopolistik tanpa kontrol—tentu berpotensi menghadirkan hasil yang
koruptif dan kolutif, dan karenanya perlu diperbaiki.
Apalagi
BPK adalah salah satu lembaga yang mempunyai peran strategis dalam penanganan
kasus korupsi, utamanya dalam pemeriksaan keuangan negara. Maka, proses
rekrutmennya harus diubah menjadi lebih melibatkan DPD dan presiden, bukan
hanya sebagai "pelengkap" tetapi juga mempunyai suara untuk
memutuskan. Maka, model pemilihan melalui pansel yang independen dan
professional, sebagaimana pemilihan komisioner KPU dan KPK, misalnya, adalah
model yang dapat dipertimbangkan untuk diadopsi.
Penguatan
kewenangan Komisi Yudisial dalam hal pengawasan dan administrasi kehakiman.
Bisa didiskusikan lebih jauh agar KY tidak hanya mengawasi hakim agung dan
hakim dibawahnya—tetapi tidak hakim konstitusi sebagaimana salah satu putusan
Mahkamah Konstitusi—tetapi mengawasi seluruh hakim. Lebih jauh, sistem
administrasi peradilan termasuk kepegawaian hakim sebaiknya perlu
dipertimbangkan tidak lagi hanya dikelola Mahkamah Agung, sebagai sistem satu
atap yang menggantikan model dua atap di mana administrasi kepegawaian di zaman
Orde Baru dilakukan Departemen Kehakiman.
Tetapi,
ketimbang diserahkan kembali kepada eksekutif, saya berpandangan persoalan
teknis administrasi itu biarlah ditangani oleh KY, sehingga hakim hanya fokus
pada penanganan perkara dan tidak disibukkan dengan persoalan administrasi
birokrasi, termasuk masalah promosi dan mutasi kepegawaian hakim. Namun, agar
adonan hukum yang dibuat tidak semata menguatkan pengawasan KY saja, yang
berpotensi membahayakan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, maka
keanggotaan KY ada baiknya diubah untuk secara ex officio memasukkan Ketua MA dan Ketua MK sebagai anggotanya.
Tentu akan ada kontra argumen, bagaimana mungkin Ketua MA dan Ketua MK yang
merupakan ketua lembaga yang anggotanya akan diawasi KY menjadi bagian dari
pimpinan KY? Jawabannya telah saya berikan tadi, untuk menjaga agar tidak hanya
kekuasaan pengawasan KY yang dikuatkan, tetapi independensi lembaga peradilan
juga perlu tetap dijaga. Dalam hal yang menjadi obyek pemeriksaan adalah Ketua
MA atau Ketua MK sendiri, harus diatur bahwa mereka tidak boleh ikut dalam
proses pengambilan keputusan atas kasus yang menyangkut dirinya sendiri.
Penguatan
lembaga antikorupsi untuk menjadi organ konstitusi, misalnya dengan memasukkan
keberadaan dan kewenangan KPK ke dalam UUD 1945. Lebih jauh tentang hal ini
akan dibahas berikut ini.
Kedua,
aturan yang mengatur lahirnya lembaga-lembaga antikorupsi utamanya seperti KPK,
PPATK, LPSK, Pengadilan Khusus Tipikor, Ombudsman dan Komnas HAM. Saya
memasukkan Ombudsman dan Komnas HAM karena bagaimanapun kewenangan keduanya
sangat mempengaruhi agenda pemberantasan korupsi. Termasuk persoalan
perlindungan HAM, karena korupsi adalah tindakan yang harus dipandang sebagai
salah satu pelanggaran HAM warga negara yang paling merusak.
Regulasi
atas keberadaan lembaga-lembaga itu harus dijaga dan dikuatkan, bukan justru
dilemahkan. Utamanya untuk KPK, sebagai salah satu lembaga yang ditasbihkan
untuk memegang mandate pemberantasan korupsi dengan cara-cara luar biasa,
sebagaimana dinyatakan dalam banyak putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK
pula yang mengatakan seluruh kewenangan strategis KPK seperti penyadapan,
penyelidikan hingga penuntutan, tidak ada SP3 adalah kewenangan-kewenangan yang
tidak bertentangan dengan konstitusi. Karena itu, gagasan untuk merubah UU KPK
yang cenderung membatasi atau menghilangkan kewenangan-kewenangan itu harus
ditolak.
Alih-alih
dibatasi apalagi dihilangkan, kewenangan itu justru harus dikuatkan. Kalaupun
UU KPK akan diubah maka didalamnya perlu diatur sistem rekrutmen pimpinan yang
menghindari pemilihan menjadi ajang politisasi di parlemen. Misalnya, dengan
mengurangi jumlah calon pimpinan yang dikirimkan pansel ke DPR, dari dua kali
formasi yang dibutuhkan menjadi hanya formasi yang dibutuhkan ditambah dua
kandidat. Sehingga jika yang dibutuhkan adalah lima pimpinan KPK, maka pansel
hanya mengirimkan 5 + 2 = 7 (tujuh) calon pimpinan ke DPR, dan bukan 5 x 2 = 10
(sepuluh) calon pimpinan.
Selain
itu, perubahan UU KPK perlu mengatur: a) perlindungan (imunitas) terbatas bagi
pimpinan dan pegawai KPK dari proses hukum pidana maupun Perdata; b) penegasan
aturan KPK berwenang mempunyai pegawai tetap sendiri, termasuk penyidik dan
penuntut umum, yang bukan lagi merupakan pegawai dari instansi penegak hukum
yang lain; c) Harus dipastikan adanya jaminan ketersediaan anggaran, termasuk
perbaikan remunerasi pimpinan dan pegawai KPK yang harus merekrut putra-putri
terbaik bangsa.
Lebih
jauh, untuk lembaga sepenting KPK, yang tugasnya memberantas korupsi—yang
merupakan salah satu persoalan utama bangsa ini, maka dasar hukum
kelembagaannya perlu ditingkatkan tidak lagi hanya berdasarkan UU, tetapi
dimasukkan ke dalam UUD 1945, alias sebagai salah satu organ konstitusi. Model
pemisahan kekuasaan ala Montesquieu yang hanya membagi kekuasaan menjadi
eksekutif, legislatif dan yudikatif, sudah tidak lagi mencukupi untuk menjawab
persoalan-persoalan ketatanegaraan modern, karena itu diperlukan cabang
kekuasaan konstitusi yang lain, yaitu komisi negara independen, seperti KPU
untuk mengawal pemilu yang bersih dan adil, serta KPK untuk menjaga terus
kuatnya agenda antikorupsi.
Ketiga,
selain aturan UU terkait lembaga-lembaga antikorupsi, sebenarnya aturan
non-kelembagaan antikorupsi kita juga membaik, diantaranya UU Antikorupsi
sendiri, termasuk ratifikasi United
Nations Convention Against Corruption; UU Pencucian Uang; UU Keterbukaan
Informasi Publik; hingga aturan di bawah UU, seperti Peraturan Presiden tentang
larangan berbisnis untuk anggota TNI.
Meskipun
sudah ada perbaikan, tetap saja kita perlu terus melakukan pembuatan dan
penyempurnaan aturan, karena masih ada beberapa aturan antikorupsi mendasar
yang belum kita punyai atau perlu disempurnakan. Terkait aturan yang belum kita
punyai adalah:
1.
Undang-Undang tentang Anti Benturan Kepentingan. Salah satu aturan antikorupsi
mendasar yang belum kita punyai adalah aturan terkait benturan kepentingan.
Padahal salah satu esensi dari korupsi adalah benturan kepentingan itu sendiri.
Tidak ada korupsi terjadi tanpa melibatkan benturan kepentingan dari pelakunya.
Benturan kepentingan itu bisa mewujud dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, memPerdagangkan
pengaruh (trading in influence),
transaksi kewenangan, dan lain-lain. Termasuk yang perlu diatur dalam UU ini
adalah adanya waktu jeda dimana seorang mantan aparatur negara (polisi, TNI,
kejaksaan, Pimpinan KPK, menteri, dll) untuk tidak boleh langsung menduduki
jabatan di perusahaan swasta. Larangan itu misalnya dibatasi untuk 3 tahun,
dengan maksud agar jabatan dari perusahaan swasta itu tidak menjadi semacam
gratifikasi yang dilaksanakan setelah sang pejabat negara menjadi mantan.
Namun, itu juga berarti selama masa tersebut yang bersangkutan tetap
mendapatkan uang pensiun yang memadai untuk bertahan hidup secara layak.
2.
Undang-Undang tentang Pembatasan Pembayaran Tunai. Salah satu modus korupsi
yang paling kuno adalah suap-menyuap. Nah, terkait suap inilah praktik
pembayaran dengan uang tunai biasanya menjadi cara yang paling favorit
dilakukan para koruptor. Karena itu harus ada instrumen hukum yang membatasi
penarikan dan pembayaran uang tunai. Harap dicatat, saya tidak hanya berbicara
soal pembatasan nominal pembayaran tunai saja, tetapi juga pembatasan
penarikannya misalnya dari tabungan. Masyarakat harus dikondisikan untuk
menggunakan model pembayaran berbasis teknologi melalui e-money, e-payment, transfer antar bank, cek, kartu kredit dan
sejenisnya. Dengan pembatasan penarikan dan pembayaran tunai maka model suap
dengan menggunakan uang tunai tentu akan lebih sulit dilakukan, dan karenanya
mengurangi korupsi.
Sedangkan
aturan yang perlu kita sempurnakan misalnya adalah aturan-aturan dalam hukum
pidana, termasuk KUHAP yang membuka peluang maraknya praktik transaksi perkara.
Karena itu, misalnya, Rancangan KUHAP sekarang yang mengintrodusir hadirnya
"Hakim Pemeriksa Pendahuluan", yang bisa menjadi kontrol atas
kewenangan-kewenangan memaksa penyidik, menjadi penting untuk didorong dan
disempurnakan rumusannya. Bukan merupakan rahasia lagi kewenangan seperti
penahanan dan sejenisnya adalah salah satu kewenangan yang paling rentan untuk
diPerdagangkan dan karenanya perlu dikontrol dan dibuat lebih transparan.
Aturan
dalam UU Antikorupsi sendiri harus lebih disesuaikan dengan UNCAC yang telah
kita ratifikasi. Karena, faktanya, meskipun telah diratifikasi menjadi UU,
pelaksanaannya masih terkendala dengan tidak harmonisnya aturan UNCAC tersebut
dengan UU Tipikor yang sekarang ada. Secara postulat hukum, aturan yang baru
seharusnya mengenyampingkan aturan yang lama, tetapi dalam hal tidak
harmonisnya UNCAC dengan UU Tipikor, postulat itu tidak mudah diterapkan. Maka,
cara yang paling efektif adalah dengan mengubah aturan UU Tipikor dan
menyesuaikannya dengan UNCAC, misalnya terkait tidak lagi relevannya soal
keuangan negara, karena korupsi juga dimaknai mencakup penyuapan bahkan dengan
uang swasta sekalipun.
Masih
terkait dengan penyempurnaan regulasi, meskipun kita sudah mengenal korupsi
yang dilakukan penegak hukum dalam UU Tipikor kita, dengan ancaman hukuman yang
lebih berat dibandingkan pelaku biasa; namun dengan masih maraknya praktik
mafia hukum (judicial mafia), maka
saya berpandangan kita perlu membuat aturan tersendiri, yaitu UU Pemberantasan
Mafia Hukum. Fokus dari undang-undang ini adalah untuk kembali membersihkan
proses penegakan hukum kita agar bersih dari penyakit korupsi yang sudah sangat
parah. Polisi, jaksa, hakim, advokat, panitera dan para pencari keadilan yang
terbukti masih memPerdagangkan hukum dan keadilan harus dihukum dengan sangat berat
berdasarkan UU Pemberantasan Mafia Hukum ini. Menurut saya kondisinya sudah
sangat darurat. Bahkan penindakan-penindakan yang dilakukan KPK terhadap para
pelaku mafia hukum belum bisa menurunkan secara signifikan praktik jual beli
perkara di tanah air. Karena itu, jika ada perpu yang perlu diterbitkan, maka
saya setuju dengan usulan perlunya Perpu Pemberantasan Mafia Hukum. Penegakan
hukum kita sudah sangat kritis digerogoti kanker korupsi, sehingga jika ada
definisi konstitusional "kegentingan yang memaksa", saya berpandangan
kondisi penegakan hukum kita yang sudah dikuasai oleh praktik haram korupsi
sudah sangat layak untuk menjadi dasar terbitnya Perpu. Harus diakui, ini
adalah dosa saya sendiri yang tidak berhasil menghadirkan perpu demikian ketika
masih mengemban amanah di pemerintahan, untuk itu saya meminta maaf.
Dengan
modal perbaikan dan pembuatan aturan baru, penguatan kelembagaan
antikorupsi—termasuk KPK—maka kerja selanjutnya adalah lebih mengefektifkan
penegakan hukum antikorupsi.
Penegakan
Hukum Antikorupsi Membaik, Tapi Belum Cukup
Saya
berpandangan, dibandingkan dengan masa sebelum reformasi, penegakan hukum
antikorupsi kita lebih baik. Kalau ada yang berpandangan bahwa kondisi korupsi
sekarang lebih buruk, saya berbeda pandangan. Saya berpendapat, korupsi memang
masih marak, tetapi berhasil dihadapi dengan lebih baik, namun memang belum
cukup berhasil membersihkan Indonesia dari anasir korupsi yang sudah dalam
berakar. It is good, but not good enough.
Kalau sekarang terkesan lebih banyak kasus korupsi, menurut saya karena dulu
berita korupsi nyaris tidak ada. Harap dicatat, beritanya yang tidak ada, bukan
korupsinya itu sendiri yang tidak ada. Korupsi dulu juga sangat marak namun
tidak diberitakan. Korupsi dulu tidak banyak tertangkap KPK dan diberitakan
marak seperti sekarang, salah satunya karena KPK-nya sendiri memang belum ada.
Korupsi tidak diberitakan, meskipun banyak, salah satunya karena sebelum
reformasi kebebasan pers tidak dijamin sebebas sekarang. Pembreidelan masih
menjadi momok bagi media, sesuatu yang nyaris tidak pernah menimpa media di era
demokrasi saat ini.
Hadirnya
regulasi antikorupsi yang lebih baik, lembaga antikorupsi—khususnya KPK—yang
lebih efektif, belum mampu melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi secara
sangat efektif. Wilayah pelaku korupsi yang untouchable memang berkurang,
tetapi masih ada. Dulu menjadi pejabat negara selevel menteri, petinggi partai
politik, anggota DPR/DPRD, kepala daerah dan sejenisnya, adalah tiket imunitas
dari penegakan hukum antikorupsi. Tidak ada penegak hukum yang bisa menyentuh
Anda jika mempunyai posisi-posisi terhormat itu. Namun, di era reformasi yang
melahirkan KPK, PPATK, Pengadilan Tipikor, "tiket imunitas" itu tidak
lagi berlaku. Itulah capaian yang harus juga kita apresiasi, agar kita tidak
lalu terjebak dalam pesimisme melihat korupsi yang memang masih marak.
Namun,
penegakan hukum antikorupsi kita masih tertatih jika berkaitan dengan beberapa
kelompok elit yang memang mempunyai akses dan perlindungan politik yang lebih
tinggi, termasuk posisi sebagai penegak hukum yang lebih atas. Terbukti, jika
KPK memproses kasus korupsi yang terkait pejabat tinggi di kepolisian, maka
gonjang-ganjing selalu saja terjadi. Demikian pula, KPK mempunyai kesulitan
untuk memproses dugaan korupsi di lingkungan militer. Apakah memang tidak ada
korupsi di sana?
Perpu
Pemberantasan Mafia Hukum seharusnya bisa menjawab kesulitan memberantas
korupsi pada level para "Dewa Koruptor" itu. Kelompok yang masih
untouchable dan masih berhasil berlindung dengan "Tiket VIP
Imunitas". Untuk itu, penegakan hukum antikorupsi juga perlu dipersenjatai
dengan teknik investigasi modern, dan strategi "three in one", yaitu tidak hanya berfokus ke persoalan tindak
pidana korupsi semata, tetapi juga tindak pidana pencucian uang, dan tindak
pidana pajak. Saat ini KPK telah berhasil mengawinkan penegakan hukum korupsi
dikaitkan dengan pencucian uang dengan partner utamanya adalah PPATK; ke depan,
sebaiknya dicari juga irisan antara korupsi dan tindak pidana pajak dengan
partner utamanya adalah penyidik tindak pidana perpajakan.
Namun,
untuk berhasil melakukan penegakan hukum antikorupsi secara jauh lebih efektif
dan menyentuh wilayah para "Dewa dan Dewi", maka dukungan dan
perlindungan politik, khususnya dari pemimpin tertinggi negara harus jelas dan
nyata hadir. Maka, faktor komitmen antikorupsi presiden menjadi faktor lain
yang menentukan masa depan pemberantasan korupsi di tanah air.
Komitmen
Antikorupsi Presiden
Semua
perbaikan sistem di atas, termasuk perbaikan UU, penguatan KPK, pembuatan Perpu
Pemberantasan Mafia Hukum berujung pada penting dan strategisnya komitmen
pemberantasan korupsi sang Presiden. Tentu saja, presiden tidak bisa sendirian
memberantas korupsi, pemimpin lembaga negara yang lain juga harus dipastikan
berkomitmen kuat dalam pemberantasan korupsi, termasuk kita sebagai rakyat juga
harus berkontribusi dalam pemberantasan korupsi. Namun, tidak bisa dinafikan,
sebagai orang nomor satu di republik, dengan kewenangan yang dimilikinya,
dengan amanah yang diembannya, komitmen presiden dalam agenda pemberantasan
korupsi adalah salah satu faktor yang sangat menentukan pemberantasan korupsi,
baik di masa lalu, maupun di masa depan Indonesia.
Tentang
komitmen antikorupsi presiden, lebih merupakan ranah ilmu politik untuk
membahasnya, karena itu saya tidak akan mengulasnya panjang lebar. Namun
cukuplah sejarah dan pengalaman saya menunjukkan ketika KPK berhadapan dengan
pelaku korupsi dari petinggi kepolisian, maka pilihan kebijakan yang diputuskan
presiden sangat berpengaruh terhadap selamat atau tidaknya agenda pemberantasan
korupsi di KPK, dan tentunya di tanah air. Sedangkan salah satu faktor utama
yang mempengaruhi pengambilan keputusan presiden adalah—suka atau tidak
suka—pertimbangan politik. Maka, inilah saatnya saya masuk ke pembahasan
reformasi partai politik, sebagai faktor utama lainnya yang mempengaruhi masa
depan pemberantasan korupsi di tanah air.
Reformasi
Partai Politik
Presiden
memang orang terkuat negeri, tetapi bahkan orang terkuat nomor satu sekalipun
tidak bisa mengabaikan pertimbangan politik dalam mengambil keputusan, apalagi
dalam agenda sepenting antikorupsi. Maka, menciptakan konfigurasi politik yang
antikorupsi, yang artinya upaya mendesain partai-partai politik yang
berkomitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi adalah faktor penting lainnya
yang akan mempengaruhi masa depan pemberantasan korupsi. Apalagi di Indonesia
saat ini, peran parpol sangat strategis dan mempengaruhi hampir setiap sudut
kehidupan politik.
Jika
komitmen presiden dalam pemberantasan korupsi sangat penting, maka UUD 1945
membatasi hanya parpol atau gabungan parpol sajalah yang dapat mengajukan calon
presiden. Konstitusi kita tidak mengakui keberadaan capres independen. Demikian
pula parpol pula yang banyak mempengaruhi pencalonan kepala daerah, meskipun
dalam hal ini calon perseorangan diakui keberadaannya. Lebih jauh, adalah
pengaruh parpol pula yang menentukan posisi penting pemerintahan seperti
anggota cabinet, meskipun teorinya adalah hak prerogative presiden; pemilihan
Kapolri, Panglima TNI, komisioner KPU, KPK hingga perlunya pertimbangan DPR
dalam pemilihan duta besar.
Dengan
kewenangan yang sedemikian besar, peran parpol harus didorong sebagai
penyelesai masalah (problem solver)
dan bukan pembuat masalah (trouble maker).
Itu artinya anggota parpol di DPR di antaranya harus ikut membantu amandemen
UUD 1945 untuk merubah sistem rekrutmen BPK yang dimonopoli DPR, menguatkan KPK
menjadi lembaga konstitusi, menyetujui Perpu Pemberantasan Mafia Hukum jika
diterbitkan presiden, dan berbagai proposal perbaikan antikorupsi yang telah
saya paparkan di atas.
Untuk
itu, reformasi parpol adalah keniscayaan. Dalam banyak kesempatan, saya
sampaikan yang dimaksud reformasi parpol adalah mencakup kuantitas dan kualitas
parpol. Secara kuantitas jumlah parpol kita harus disusutkan melalui proses
pemilu yang demokratis, bukan melalui kebijakan top down pembatasan jumlah parpol sebagaimana era Orde Baru.
Caranya, parliamentary threshold yang sekarang ada dalam UU Pileg harus terus
dinaikkan besarannya, sehingga hanya partai-partai yang betul-betul mendapatkan
kepercayaan rakyat pemilih melalui pemilu yang memiliki anggota di parlemen.
Dengan jumlah parpol yang lebih sedikit, maka ruang permainan dan kompromi
politik yang koruptif lebih dapat dikendalikan untuk kepentingan agenda
antikorupsi. Jumlah yang lebih sedikit juga membuka ruang lebih besar bagi
terciptanya sistem presidensial yang lebih efektif.
Namun,
jumlah yang sedikit saja tanpa kualitas antikorupsi, sama juga tidak ada
artinya. Maka, masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah: memastikan
partai politik lebih punya semangat serta visi-misi antikorupsi. Maka, kita
menemukan salah satu sumber masalah yang memerlukan kajian tersendiri, tidak
hanya dari sisi hukum tata negara, tetapi pasti juga dari bidang ilmu politik.
Yang pasti, kalau jawabannya adalah perbaikan aturan tentang partai politik,
maka kita akan terjebak masuk ke dalam lingkaran setan persoalan. Karena,
adalah mustahil untuk mengharapkan konfigurasi politik yang korup untuk
menghasilkan aturan kepartaian yang lebih profesional, transparan, akuntabel
dan karenanya antikorupsi.
Menurut
pandangan saya, karena reformasi konstitusi maupun reformasi legislasi adalah
hasil (output) dari proses politik
hukum yang lebih diujung, maka proses awalnya yang lebih harus diperbaiki.
Proses awal di sini tentu banyak hal, tetapi kali ini saya hanya akan
menuliskan dua saja, yaitu keuangan partai dan rekrutmen kader partai. Banyak
teori ketatanegaraan bagaimana keuangan partai harus diatur. Tanpa kejelasan
sumber pendanaan tersebut, partai hanya akan menjadi alat tawar-menawar politik
untuk mendapatkan kekusaan dan keuntungan ekonomi yang koruptif. Saya bukan
pendukung ide partai diberikan kesempatan berbisnis, saya khawatir pemikiran
demikian justru akan membuat partai terjebak pada kepentingan bisnis jual-beli
yang semakin merusak. Melihat kondisi Indonesia, saya lebih condong pendanaan
partai dijamin oleh negara melalui APBN, secara proporsional berdasarkan hasil
suara. Dengan demikian partai pemenang pemilu akan mendapatkan reward dana yang
lebih besar. Lalu, ke depan, seiring dengan pemahaman politik warga negara yang
lebih baik, saya pikir model pendanaan dari anggota partai politik juga harus
menjadi salah satu sumber utama pendanaan partai.
Kedua,
sistem rekrutmen kader parpol harus dipastikan menghasilkan orang-orang
terpilih. Menjadi politisi harus diubah dari pespektif yang negatif, menjadi
positif. Karir politik harus diciptakan sebagai pilihan yang juga menjanjikan
bagi siapapun yang ingin mengabdi bagi Indonesia yang lebih baik. Tentu
kemudian, proses jenjang karirnya harus lebih jelas, juga dengan kompensasi
yang lebih memadai. Karena itu, sekali lagi sokongan pendanaan kepada parpol
juga harus diperbaiki. Saya membayangkan ke depan, politisi adalah salah satu
profesi yang dihormati sekaligus menjadi idola bagi para pencari kerja, bukan
karena semata mencari posisi kekuasaan, tetapi sebagai lahan juang dan
pengabdian.
Akhirnya,
reformasi parpol tidak ada gunanya, jika yang dipilih rakyat tetaplah
partai-partai yang menghamburkan money
politics dalam pemilunya. Maka, faktor penentu masa depan antikorupsi yang
terakhir, tetapi juga yang terpenting adalah kesadaran dan keberhasilan
pendidikan antikorupsi pada level publik, khususnya rakyat pemilih.
Pendidikan
Antikorupsi
Pemberantasan
korupsi adalah kerja jangka panjang, bukan hitungan hari bahkan satu-dua tahun.
Maka, untuk kerja jangka panjang itu, investasi yang paling efektif adalah
pendidikan, bukan yang lain. Pendidikan antikorupsi harus menjadi kurikulum
wajib di semua level pendidikan, dengan substansi dan metode pembelajaran yang
disesuaikan dengan strata sekolah. Yang pasti nilai-nilai kejujuran, misalnya,
harus tertanam dalam pada setiap insan Indonesia, sehingga korupsi adalah hal
yang tidak mungkin dipikirkan apalagi dilakukan. Namun, soal pendidikan ini
merupakan bidang ilmu lain, yang tidak terkait langsung dengan hukum tata
negara, maka pemaparan faktor ini saya cukupkan di sini, dengan satu kalimat penutup:
tanpa pendidikan antikorupsi yang berhasil di semua semua lini, masa depan
pemberantasan korupsi di tanah air menjadi suram dan buram. Itu sebabnya,
inisiatif Madrasah Antikorupsi yang diprakarsasi Pemuda Muhammadiyah harus
didukung dan disukseskan.
Penutup
Sebagai
paparan akhir izinkan saya menyimpulkan, masa depan gerakan antikorupsi di
tanah air, dari sisi hukum tata negara dipengaruhi oleh berbagai faktor. Lima
faktor utama di antaranya adalah: 1) perbaikan regulasi antikorupsi, termasuk
penguatan lembaga antikorupsi semacam KPK; 2) perbaikan penegakan hukum
antikorupsi, termasuk pemberantasan mafia hukum secara lebih massif dan
efektif; 3) komitmen pemberantasan korupsi yang lebih nyata dari para pemimpin
negeri, khususnya presiden; 4) keniscayaan reformasi partai politik; dan 5)
kesadaran publik dan pendidikan antikorupsi. Agenda perbaikan dan penguatan
kelima faktor itu akan mempengaruhi berhasil atau gagalnya agenda pemberantasan
korupsi kita. Masa depan gerakan antikorupsi yang lebih baik hanya dapat
terjadi jika kelimanya berhasil dilakukan, dan bukan sebaliknya. Wallahu'alam.
oleh Denny Indrayana
disadur dari detik.com, Sabtu, 18 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar