Suhu
politik di DKI sedang memasuki turbulensi disebabkan masih gamangnya partai
politik melirik siapa calon penantang petahana yang pantas diusung. Hal itu
menyebabkan isu apa pun tentang petahana menjadi seksi, menjadi trending topic
media sosial, yang seolah bisa mengalahkan isu terorisme, korupsi, dan
amburadulnya kerja para politisi. Arus komunikasi politik di DKI pun
serta-merta jauh lebih bising seirama isu reklamasi.
Aroma
politik menyusup ke bilik-bilik kekuasaan yang tengah menunggu penentuan,
tentang siapa saja nama yang akan bersiap masuk dalam arena pertandingan
pergantian kepemimpinan di DKI Jakarta. Para komunikator profesional dan
politisi, aktivis, jurnalis peliput siaran politik, serta-merta mengejar isu
ini sebagai bagian untuk menata komentar politik yang menempatkan mereka untuk
berdiri di antara banyak kepentingan politik yang dipersiapkan untuk menyambut
Pilkada 2017 mendatang.
Serta-merta
pertarungan argumentasi antara yang pro dan kontra bermunculan di media
(terutama media sosial). Sambil berdiskusi dengan mahasiswa saya yang juga
seorang penggiat media, dia mengatakan, “Sepertinya apa yang terjadi di DKI
sedikit banyak punya analogi dengan apa yang dikatakan Chomsky ya bu ?”
Analogi
yang dimaksud bisa menjadi perumpamaan itu adalah apa yang menjadi bagian dari
yang pernah dikaji Noam Chomsky dalam bukunya Manufacturing Consent tentang keterlibatan negara adikuasa dengan
dalih menegakkan demokrasi. Kelompok pendukung dianggap sebagai teman sementara
yang tidak dilabeli sebagai axis of evil.
Mesin
Komunikasi
Akhir-akhir
ini rasanya kita cukup prihatin pada persuasi yang sublimasi seperti yang
pernah ditemukan oleh Vance Packard melalui karya Hidden Persuaders. Betapa Packard menyingkap tabir kekuatan yang
begitu potensial dari media untuk mengendalikan rakyat dan memasuki pikiran
orang yang sedang istirahat dan tidak sadar, sehingga tidak terkendalikan oleh
kemauan maupun pemahaman yang terbuka dari individu yang bersangkutan.
Saat
ini pembelahan itu sangat kentara. Siapa pun orang yang ada pada posisi
mengkritik Ahok maka kelompok haters
Ahok akan memujanya. Sementara mereka ini bagi komunitas lovers tentu saja akan dinilai sebagai axis of evil. Dan dua-duanya tentu saja berjuang mencari pembenaran
lewat media yang disebut Packard, terutama media sosial, siapa pun yang
memiliki alur dan akses yang lebih besar terhadap media, maka kelompok itulah
pemenangnya.
Meski
kemenangan itu sekedar “semu”, mindset
publik juga dipengaruhi melalui penyesatan informasi. Karena itu dengan kritis
Van Dijk selalu mengingatkan: “Akses dan kekuasaan yang besar bisa mengarahkan
wacana ke arah mana saja, informasi bisa menjadi misinformasi dan
disinformasi”. Dunia media seperti ditangkap dengan kesadaran yang rendah,
pragmatisme awak media disambut manis oleh pragmatisme pembaca dan pendengar.
Padahal,
sifat komunikasi bermedia dan terutama media sosial, efeknya jelas lebih
dimungkinkan dari informasi yang disebarkan. Tetapi karena pragmatisme dan
kecerdasan tidak paralel, maka jadilah semua informasi itu dimakan
mentah-mentah. Alhasil, kebingungan informasi dan penyesatan fakta itu justru
terlahir dari pengguna media itu sendiri. Situasi diperparah dengan banyaknya
pemain media yang terjebak dalam koalisi, menjadi persis seperti koalisi partai
politik.
Industri
media juga lebih dominan ditentukan oleh mekanisme pasar, meski kebal dari
kontrol penguasa, tetapi tetap kebanyakan tidak cerdik memposisikan diri ke
dalam keberpihakan yang semestinya pada kepentingan publik. Sehingga elite
politik dan penguasa atau calon-calon penguasa baru berlomba-lomba bertingkah
laku politik ala dinamika yang diinginkan media.
Begitu
menyesuaikan diri dengan format industri media (apalagi sejak booming media sosial), mereka
memanfaatkan media itu sebagai sarana branding politik yang seolah mampu
menempatkan mereka menjadi sasaran empati publik, alih-alih malah menyesatkan informasi
publik. Jadi, karena media begitu disetir oleh mekanisme pasar, para aktor dan
pendukungnya pun beramai-ramai membuka diri bagi masuknya isu-isu yang
mempunyai nilai berita dari industri media.
Parahnya
bahkan ada media yang menentukan pilihan berita berdasarkan trending topic di media sosial. Pilihan
menonton dan pembaca media pun tidak lagi didasarkan pada rasionalitas pilihan
atas berita, melainkan ditelan mentah-mentah dan dengan serta-merta
mengungkapkan kembali respons atas pemberitaan itu dengan tanpa jeda.
Sehingga
hal ini tentu saja sangat membantu para lovers
atau pendukung tokoh politik tertentu untuk melakukan adaptasi ke publik
melalui media terutama media sosial, sejenis “reifikasi “ sifatnya. Bisa juga
sebagai selling point bagi publik
yang masih dianggap sebagai penentang.
Sehingga
tidak heran kebijakan dirancang untuk menarik dan mengelola atensi media dan
membuat media membantu menunjukkan identitas yang diinginkan kepada publik,
adaptabilitas semacam ini tentu saja disambut berbeda bagi para penentang. Bagi
para penentang, tentu saja yang tersajikan ke publik itu akan disambut dengan
upaya mendiskreditkan posisi hegemoni tokoh yang bersangkutan.
Apa pun
masalahnya, peringatan Chomsky akan perumpamaan campur tangan negara adikuasa
dalam ritme media di jelang Pilkada DKI sepatutnya menjadi pertimbangan para
calon penguasa yang “berambisi” untuk mengambil alih kepemimpinan di DKI.
Pilkada yang akan digelar juga harus menjawab concern keinginan pemilih di DKI,
yang tentu saja sudah sangat rasional dibandingkan dengan tipologi pemilih di
daerah pemilihan lain di tanah air ini.
Partai-partai
yang memenuhi persyaratan untuk mengusung bakal calon pun harus cerdik
menempatkan diri di media dan media sosial. Seperti yang diingatkan oleh
Lees-Marshment dalam tulisannya tentang “Market
Oriented Party“ (MOP). Bahwa seperti halnya media maka partai politik pun
perlu beradaptasi dengan selera pasar dan kebijakan adaptifnya, terutama untuk
menentukan calon yang akan diusungnya bisa menjadi selling point dalam rangka memenangkan perhatian media dan media
sosial, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pemilih.
Meski
kita masih meramalkan bahwa bising komunikasi politik itu tak akan usai, dia
akan menjadi jeda atau tidak. Itu akan sangat ditentukan dengan seberapa besar
kapabilitas calon yang akan menantang petahana. Jadi bukan sekadar popularitas,
melainkan lebih pada hitungan elektabilitas.
Oleh Lely
Arrianie
Disadur dari Koran Sindo, Sabtu, 18 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar