Masa
depan demokrasi Indonesia adalah demokrasi digital. Premis tersebut bisa
disimak
dari semakin intensnya penggunaan media sosial sebagai media interaksi politik.
Menurut
Intrans (2016), terjadi kenaikan 10% bagi netizen aktif media sosial, yang
sebelumnya di tahun 2015 hanya 71,19 juta orang, kini sudah mencapai 88 juta
orang. Kenaikan tersebut didominasi kenaikan jumlah pengguna smartphone di
kalangan kelas menengah yang sekarang ini sudah mencapai 326,3 juta orang.
Dengan
kata lain, platform media sosial menjadi kebutuhan esensial yang perlu ada dan
dipenuhi bagi kelas menengah Indonesia sekarang ini. Derasnya arus informasi
yang berkembang membuat kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan politik,
terutama preferensi politik menjadi kebutuhan utama. Maka kemunculan sosial
media menjadi hal urgen dan signifikan, dalam membentuk dan mengkonstruksikan
perilaku memilih tersebut.
Perilaku
memilih yang didasarkan pada preferensi media sosial, didominasi kalangan
generasi Y yang kini berkembang menjadi aktor penekan politik yang efektif.
Perilaku memilih mereka didasarkan pada kebutuhan untuk eksis diikuti dengan
pemikiran rasional bahwa sudah saatnya melakukan perubahan. Namun hal itu juga
menjadi titik penting dalam mengkaji perilaku memilih kelas menengah Indonesia
kontemporer. Masihkah relevan disebut sebagai agen perubahan ataukah sebagai
agen pengekor rezim?
Studi
klasik mengenai perilaku memilih di Indonesia menempatkan mereka pada posisi
partisipan, parokial, dan subjektif (Gaffar, 2006). Ketiga posisi budaya
politik tersebut mengindikasikan adanya peran patron dan figur sebagai
preferensi penting dalam mengkonstruksi perilaku memilih. Kecenderungan umum
bagi perilaku memilih politik di Indonesia adalah faktor perlindungan dan
pembagian materi sebagai basis penting dalam mengkonstruki pilihan politik.
Oleh
karena itu, penting untuk melihat peran sosial media di kalangan kelas menengah
justru memperkuat legitimasi studi klasik tersebut atau malah justru membantah
studi tersebut dengan temuan baru. Adanya digitalisasi politik yang kini
merambah dengan semakin intensnya partai politik dan kandidat berkampanye dan
bersosialisasi di media, merupakan bentuk modernisasi dalam politik Indonesia
di mana pesan persuasif berganti pesan sugestif.
Selain
itu melalui media sosial, kelas menengah sebagai konstituen terbesar bisa dijangkau
dengan mudah. Namun hal itu belum tentu terkonversi menjadi dukungan tetap
dalam pemilu. Postur kelas menengah Indonesia hari ini adalah kelas menengah
yang lebih banyak berorientasi pada leisure time daripada exposure time.
Berbagai informasi yang mereka olah sekadar menjadi hiburan sesaat dan hanya
akan menjadi dorongan politik kuat bilamana terjadi gelombang masif dari kelas
menengah tersebut sehingga menjadi gerakan politik.
Dengan
kata lain, perilaku memilih politik kelas menengah Indonesia didominasi
perilaku meniru dan menanggapi (imitate and repond). Premis tersebut
terlahir dari perilaku memilih pada saat pemilu 2014 maupun pelaksanaan pilkada
serentak pada Desember 2015 silam. Terdapat tiga kecenderungan utama yang bisa
dipelajari dalam kelas menengah Indonesia. Pertama, perilaku mimikri. Perilaku
ini sebenarnya merupakan bentuk social proofing yang terjadi di mana
media sosial berhasil melakukan pencitraan heroisme figur. Hal itu berimplikasi
menimbulkan efek sugesti secara masif yang terjadi di kalangan kelas menengah.
Kedua,
perilaku submisif, yakni perilaku memilih, karena mayoritas kelas menengah
memilih figur maupun partai tertentu yang dianggap populer. Dengan mengikuti
logika majoritarian tersebut, diasumsikan bahwa kandidat maupun partai tersebut
sudah mewakili demokrasi. Hal itu sebenarnya bisa terlacak dari jumlah follower
maupun like yang dikumpulkan dalam media sosial. Semakin banyak jumlah pengikut
dan suka, maka figur tersebut adalah figur populis.
Ketiga,
perilaku apatis. Perilaku yang tanpa melihat latar belakang partai maupun
kandidat, tetapi hanya spontanitas karena figur tersebut sering dibicarakan di
kalangan sosial media. Ketiga kecenderungan perilaku tersebut sebenarnya
merupakan implikasi penting mengenai intensitas masif kalangan kelas menengah
Indonesia hari ini. Premis penting yang perlu ditulis adalah seberapa penting
atau tidak penting informasi itu diulas dalam media sosial, itu saja sudah mempengaruhi
orientasi politik kelas menengah.
Media
sosial kini menempati urutan teratas dalam penyampaian informasi setelah
televisi, majalah, dan koran dikarenakan media sosial menciptakan adanya ruang
negosiasi dan diskusi bagi kelas menengah untuk menelaah informasi untuk
diolah. Dari situlah kemudian terkristalkan dalam bentuk perilaku memilih.
Meskipun dikatakan perilaku memilih, kelas menengah berkat media sosial bisa
dikatakan kritis.
Namun
dalam beberapa aspek pengaruh kecil patronase masih terjadi, terutama bagi
segmen kelas menengah transisi dari desa ke kota di mana figur masih menjadi
pertimbangan penting. Selebihnya, perilaku memilih kelas menengah urban akan
ditentukan seberapa sering figur dan kandidat tersebut diberitakan,
didiskusikan, dan diikuti, dalam media sosial.
Oleh
karena itulah, meskipun trend kampanye kandidat dan partai politik kini sudah
mengarahkan pada konten digital, namun apabila tidak diberitakan secara masif
maka akan hanya sia-sia saja. Sekarang ini perilaku memilih lebih melihat
kemasan daripada program sehingga mampu menarik perhatian kelas menengah. Untuk
menjadi kelas menengah yang impresif secara politik, tentu bukan perkara mudah.
Namun bagaimana kelas menengah tersebut secara kontinu dan simultan mengikuti
isu tersebut sehingga mampu menjadi kelas menengah yang politis.
Pasalnya
selama ini watak politik yang ditampilkan kelas menengah Indonesia sendiri
selalu bernuansa spontan. Karena karakteristiknya yang dinamis dan cenderung
spontan, banyak lembaga survei sering melakukan kesalahan dalam membaca
perilaku memilih kelas menengah. Diskusi politik di media sosial memberikan
andil cukup penting dalam mengubah dinamika perilaku memilih tersebut.
Maka
membaca perilaku memilih kelas menengah Indonesia yang kini tergantung pada
media sosial, setidaknya perlu dibaca sebagai transformasi perilaku kelas
menengah, bahwa kini publik sudah sedemikian peka dengan urusan politik.
oleh
Wasisto Raharjo Jati
disadur dari Koran Sindo, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar