Berita peredaran vaksin palsu ikut mengguncang negeri yang
sedang dalam kondisi darurat ini. Lebih mengerikan lagi, vaksin palsu telah
beredar sejak 2003.
Sungguh
aneh dan sulit dipercaya, sekian lama para penjahat pengedar vaksin palsu
merajalela dengan aman. Di sisi lain, entah sudah berapa banyak anak menjadi
korban akibat jatuh sakit karena menggunakan vaksin palsu yang tak bermanfaat
pencegahan. Sungguh ironis karena pemberian vaksin hanya dapat dilakukan di
fasilitas kesehatan. Ini berarti vaksin palsu telah digunakan di rumah sakit,
klinik, ataupun tempat praktik pribadi dokter dan bidan.
Lalu dari mana mereka membeli vaksin
palsu itu? Dari distributor resmikah? Atau dari penjahat penjual vaksin palsu?
Ini menjadi tugas penegak hukum untuk membongkar dan menjatuhkan hukum
seberat-beratnya kepada para penjahat itu.
Kejahatan tersembunyi
Berbeda dengan kejahatan yang
dilakukan oleh teroris atau ekstremis, yang dengan jelas langsung membunuh
korbannya, tidak demikian kejahatan di bidang kesehatan.
Perlahan tetapi pasti, korban
berjatuhan akibat kejahatan di bidang kesehatan. Korban memang tidak harus
langsung mati seperti tertimpa bom teroris atau tercemar racun sianida. Akan
tetapi, korban menderita karena penyakit yang muncul sekian lama kemudian. Mereka
seperti pembunuh berdarah dingin.
Peredaran vaksin palsu hanyalah salah
satu dari sekian banyak kejahatan yang tersembunyi di bidang kesehatan.
Kejahatan lain sudah lama terjadi, tetapi berlangsung terus. Mengapa? Boleh
jadi karena hukuman yang dijatuhkan kepada para penjahat di bidang kesehatan
tidak berarti. Di pihak lain, korban mungkin tidak menyadari apa yang dialami
merupakan akibat kejahatan itu.
Sudah lama terjadi dan berulang terus,
makanan yang dicampur bahan pengawet dan pewarna berbahaya. Sebut saja, tahu
dicampur formalin, kerupuk dengan bumbu boraks, sirup mengandung pewarna kain,
kosmetik mengandung merkuri, jamu mengandung bahan kimia berbahaya, dan mungkin
masih banyak yang lain. Belum lagi bahan berbahaya yang terkandung di dalam makanan
atau minuman, yang selama ini tidak diungkap kepada masyarakat luas.
Pada 2014, Badan Pengawasan Obat dan
Makanan menarik 17 merek kosmetik berbahaya dari peredaran. Sebelumnya, pada
2013, sebanyak 59 merek obat tradisional ditarik dari peredaran karena ternyata
mengandung bahan kimia obat, dan pada 2012 ada 48 merek kosmetik yang ditarik
dari peredaran.
Selama 2015, sejumlah 51 produk jamu
yang diiklankan untuk disfungsi ereksi telah ditarik dari peredaran, di
antaranya ada Tricajus, yang selama ini dikenal sebagai minuman. Penipuan ini
mengingatkan kita pada 2011 ketika BPOM menarik 22 merek kopi instan karena
mengandung bahan obat untuk disfungsi ereksi.
Meski demikian, bagai pepatah lama
"hilang satu tumbuh seribu". Setiap tahun, sekian banyak produk jamu
abal-abal ditarik dari peredaran, tetapi sekian banyak pula produk baru
diizinkan beredar oleh BPOM. Pertanyaan yang muncul, mengapa BPOM selalu
tertipu oleh cara bodoh yang sama?
Kalau saja BPOM benar memanfaatkan
tenaga ahli di bidangnya, cara bodoh tipuan seperti itu tidak akan terulang.
Dengan istilah gaul, tipuan seperti itu merupakan "cara kuno".
Bagaimana mungkin lembaga negara terus tertipu oleh cara kuno seperti itu? Lalu
siapa yang harus bertanggung jawab melindungi masyarakat dari bahaya ini?
Hukum harus ditegakkan
Selain itu, obat palsu juga terus
beredar di depan mata aparat penegak hukum. Di Jakarta, semua orang tahu di
mana tempat penjualan obat palsu atau obat ilegal. Lebih celaka, tidak sedikit
apotek juga menjual obat ilegal. Orang yang tidak berkompeten bahkan memberikan
pengobatan menggunakan bahan obat keras. Bukankah ini kejahatan luar biasa di
bidang kesehatan?
Mungkin masih ada orang yang membela
para penjahat itu dengan dalih "mana buktinya kalau merugikan
masyarakat?" Seperti diuraikan di atas, korban akibat kejahatan di bidang
kesehatan tidak selalu langsung pada saat itu juga. Hanya sedikit yang langsung
merasakan akibatnya.
Akan tetapi, data menunjukkan
kecenderungan munculnya banyak penyakit yang terkait dengan bahan berbahaya.
Sebut saja semakin banyak kanker yang muncul pada usia muda, banyak penderita
penyakit hati dan ginjal, banyak anak mengalami kegemukan dan gangguan
perkembangan seksual, dan mungkin banyak lagi yang belum terungkap.
Terus berulangnya kejahatan di bidang
kesehatan, bahkan dengan modus baru menggunakan vaksin palsu, semestinya tidak
ditoleransi lagi. Hukuman terberat harus dijatuhkan.
Berbagai cara yang dilakukan oleh para
penjahat itu mestinya juga dilarang. Sebut saja melalui iklan di media massa,
apalagi media elektronik. Kita sering merasa muak menyaksikan banyak tayangan
iklan bohong di bidang kesehatan, khususnya di televisi tidak bermutu. Sekian
lama masyarakat dibodohi, sementara aparat tidak bertindak. Boleh jadi karena
aparat juga memang tidak mengerti.
Saatnya sudah tiba, harus ada tindakan
hukum yang tegas dan berat bagi para penjahat di bidang kesehatan itu. Atau
kita biarkan saja sambil menunggu semakin banyak anak bangsa menjadi korban
para pembunuh berdarah dingin itu?
oleh Wimpie Pangkahila
disadur dari Kompas, Selasa, 28 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar