Indonesia,
tak terelakkan merupakan bangsa yang religius. Setidaknya sebagaimana direkam
dalam sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa.
Religiositas
itu sendiri berimpitan dengan etos spiritualitas masyarakatnya. Namun, sejauh
mana dimensi spiritualitas itu mampu memicu kemajuan, terkhusus bidang ekonomi?
Indonesia
bangsa yang besar, tetapi kondisinya masih seperti raksasa tertidur. Kita masih
berputar-putar di tengah labirin masalah kebangsaan yang kompleks dan nyaris
belum beranjak signifikan ke arah negara maju. Kita juga memahami, bahkan
mengamini berbagai retorika para pemimpin tentang perlunya percepatan
pembangunan. Namun, rupanya ia tak semudah pelaksanaan. Apakah memang bangsa
ini ditakdirkan sebagai bangsa yang lemah etos kerjanya, betapa pun
"tinggi spiritualitasnya"?
Dalam artikelnya
"Etos Kerja dan Etos Bangsa" (Kompas, 4/3/1989) dan "Mesu
Budi" Berfungsi sebagai Etos yang Berpengaruh (Kompas, 2/10/1983),
sejarawan Sartono Kartodirdjo memaknai "mesu budi" sebagai etos yang
mencerminkan asketisme intelektual, semacam disiplin mental yang mendasari
segala usaha dan pekerjaan. Implementasi "mesu budi" justru terlihat
tatkala dia menganalisis etos kerja masyarakat Jepang yang berkembang sejak
Restorasi Meiji. Karena "mesu budi" adalah suatu asketisme yang bukan
eskapisme alias religiositas yang diekspresikan dengan meninggalkan segala
urusan keduniaan, ia justru berfungsi sebagai etos yang sangat besar
pengaruhnya pada kehidupan bangsa.
Namun,
timbul pertanyaan: kalau "mesu budi" itu semacam asketisme produktif
yang dapat disejajarkan dengan "etos Protestan"-nya Weber atau
"Religi Tokugawa"-nya Bellah, mengapa tidak ada semacam Restorasi
Meiji di Jawa, lebih luas lagi Indonesia? Saya punya hipotesis bahwa,
masalahnya, Jawa punya pengalaman lain. Kultur feodal kerajaan-kerajaan di
Jawa, pada praktiknya justru dipersubur oleh kolonialisme. Kaum penjajah punya
politik yang memecah belah, sehingga dalam mengatasi perlawanan pun kaum
penguasa pribumi diadu domba.
Namun,
sangat mungkin ada hipotesis lain, bahkan berkebalikan dengan pendapat saya
itu. Bagaimana dengan hal ihwal tradisi Samurai layaknya di Jepang, apakah juga
ada di Jawa? Kalau ada, seberapa signifikan? Juga, sejauh mana mentalitas
produsen dan kewirausahaannya, apakah dipicu kesadaran religiositas pula?
Bagaimana dengan modernisasi, apakah ia timbul secara "mandiri" atau
banyak menggantungkan diri pada pihak kolonial dan rezim kelanjutannya?
Pengalaman
kita di Jawa atau Indonesia, lain kiranya dengan yang terjadi di Jepang dan
Barat. Jepang, menurut Kishore Mahbubani dalam bukunya Can't Asian Think (1998) ialah bangsa Asia paling awal yang mampu
mengadaptasi etos bangsa Barat.
Perbincangan
tentang etos kerja orang Indonesia, sesungguhnya sudah jadi klasik. Sebelum
kemerdekaan pun ia menyeruak lewat "Polemik Kebudayaan" antara Sutan
Takdir Alisjahbana dengan yang lain. Sutan Takdir memicu polemik dengan
melontarkan pandangan yang tak jauh dari pesan kalau kita mau maju, tirulah
etos bangsa Barat. Bagi Sutan Takdir, kita terlalu lemah menyalakan api,
sehingga nasi yang kita tanak tak matang-matang. Barat? Apinya menyala-nyala!
Pada
masa Orde Baru, budayawan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1978),
menyinggung soal "watak yang lemah", sebagai salah satu karakter
menonjol manusia Indonesia. Betapa pun menyesakkan, otokritik itu tak boleh
kita abaikan.
Kembali
ke pesisiran
Ada
juga tesis yang mengatakan bahwa kita sebagai bangsa terjebak pada apa yang
kerap diuraikan Nurcholish Madjid sebagai "mentalitas pedalaman", hal
yang telah mengubah karakter bangsa yang konon pernah berorientasi
"pesisiran". Mentalitas pedalaman mencermikan suatu mental tertutup,inward looking, membatasi informasi,
eksklusif, enggan berkompetisi, terlambat dalam mengenali perkembangan baru,
lemah dalam kreativitas dan inovasi, merasa jaya di negeri sendiri yang diklaim
gemah ripah loh jinawi.
Konon,
kolonialismelah yang juga menyumbang kokohnya mental pedalaman itu. Indonesia
yang berkarakter maritim dijauhkan dari mental pesisiran. Berkebalikan dengan
mental pedalaman, mental pesisiran mencerminkan keterbukaan, melek informasi,
outward looking, responsif dalam berkompetisi, inklusif, kreatif, dan inovatif.
Ia lebih produktif, sebab kalau tidak demikian bangsa ini akan bergantung terus
pada kekuatan asing.
Mental
pesisiran memaksa kita lebih obyektif dalam melihat dan merespons perkembangan
bangsa dari perspektif global. Mental pesisiran itulah sesungguhnya yang perlu
kita warisi. Indonesia, menurut Sutan Takdir, bukanlah kelanjutan dari
kerajaan-kerajaan di masa lalu, melainkan sebuah bangsa baru. Maka, memang
harus ada mental baru. Bangsa baru dengan mental baru. Mental baru itu bisa
diambil dari mana pun, termasuk-dalam konteks Polemik Kebudayaan-dari Barat
yang cenderung bermental pesisiran.
Kesadaran
religius bangsa sesungguhnya tak menutup diri dari ikhtiarnya untuk menggapai
kemajuan. Dalam perkembangan gagasan keislaman, misalnya, pada masa
"Polemik Kebudayaan" tahun 1930-an, muncullah suatu kampanye
asketisme produktif oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Melalui
serangkaian artikelnya di majalah yang dikelolanya, Hamka memperkenalkan
perspektif "tasawuf modern". Dia berikhtiar menarik makna
"tasawuf", penyikapan spiritualitas keagamaan, dari pandangan umum
yang bersifat eskapistik jadi asketisme produktif. Spirit keagamaan disuakannya
dengan modernitas atau hal ihwal pentingnya kemajuan.
Jauh
sebelum itu, KH Ahmad Dahlan telah merintis bagaimana spirit keislaman mampu
mendorong kemajuan bangsa. Ia melakukannya melalui gerakan Muhammadiyah. Di
sisi lain, gerakan keislaman lainnya, yakni Nahdlatul Ulama, juga punya
semangat kemandirian yang tinggi. Ia juga sadar akan etos untuk memajukan
bangsa. Dua gerakan Islam arus utama ini penting untuk diperbincangkan,
mengingat pengaruhnya yang signifikan dalam mewarnai pemahaman dan aktualisasi
keislaman di Indonesia hingga dewasa ini.
Sejak
beberapa dekade belakangan, kesadaran melemahnya etos kewirausahaan dirasakan
semua pihak. Lumbung-lumbung produktivitas ekonomi masyarakat goyah karena
kalah bersaing. Kejayaan kampung batik Laweyan, Solo, atau Pekajangan,
Pekalongan, tampaknya tinggal kenangan. Persoalan yang sifatnya struktural
menggoyahkan etos berekonomi masyarakat, terutama dalam konteks
"masyarakat santri".
Peran
negara
Dalam
hal ini, kita perlu berkaca pada perkembangan ekonomi Turki. Beberapa
penelitian ekonomi Weberian, kini menemukan contoh kasusnya di pusat- pusat
pertumbuhan ekonomi di jantung Anatolia. Misalnya, Kayseri, "kota
santri" yang maju pesat perekonomiannya dan lazim dikaitkan dengan konteks
"Islamic Protestantism"
atau "Islamic Calvinism".
Dalam kasus Kayseri, spirit keagamaan Islam mampu memicu tumbuhnya wirausahawan
kelas menengah secara signifikan. Produk-produk mereka berorientasi ekspor ke
Eropa dan yang lain.
Namun,
apabila kita teliti, sebagaimana Korea Selatan, Turki juga telah lama melakukan
ikhtiar pembelaan ekonomi kepada warganya. Di Turki, kebijakan liberalisasi
ekonomi yang dilakukan Turgut Ozal pada dekade 1980-an diarahkan kepada
pemberdayaan ekonomi masyarakat Anatolia. Ikhtiar itu berhasil selaras dengan
mentalitas kesalehan ekonomi yang hasilnya bisa disaksikan sekarang. Di Korea,
negara berpihak pada pengembangan industri kreatif. Ia tak akan seberhasil
sekarang bila tak didukung etos kerja rakyatnya.
Bagaimana
Indonesia? Dari mana etos bangsa kita gali? Jawabnya, dari banyak hal, termasuk
dari konteks spiritualitas keagamaan. Dulu, Bung Karno pernah menyitir tentang
"api Islam", tampaknya yang dimaksud ialah bagaimana etos
spiritualitas agama mampu dijadikan pendorong bagi kemajuan. Namun, apakah dari
sudut ini sudah muncul apinya, atau sekadar abunya?
Kita
perlu terus mengaca diri, justru untuk menggali kembali etos bangsa, sebuah
etos baru yang kompatibel dengan zamannya. Kalau etos bangsa masih lemah dan
ketinggalan zaman, bagaimana mau lari cepat?
oleh M. Alfan Alfian
oleh M. Alfan Alfian
Disadur
dari Kompas, Kamis, 14 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar