Sejak
akhir dekade 1980-an, sudah ada kerisauan akan masa depan atau penyelesaian
tumpang tindih klaim di Laut Tiongkok Selatan.
Meski
bukan negara pendaku (claimant),
Indonesia akan sulit mengelak dari setiap perkembangan terkait Laut Tiongkok
Selatan (LTS). Kini, atau beberapa tahun terakhir setelah Tiongkok bangkit dan
semakin asertif menyampaikan klaimnya, kekhawatiran itu menjadi kenyataan.
Kekhawatiran itu terfokus pada meningkatnya ketegangan regional.
Potensi
ketegangan tak saja berlingkup regional mengingat kuasa ekstraregional—dalam
hal ini AS—tidak tinggal diam melihat aktivitas Tiongkok. Kehadiran kapal perang
Armada ke-7 AS di LTS, pesawat pengintai P-8 Poseidon, dan pesawat pengebom
strategis B-52 yang terbang ke LTS dengan dalih mengawal kebebasan navigasi di
wilayah itu. Pembangunan pulau dengan sejumlah fasilitas tidak bisa diterima
oleh negara pendaku lain.
Di
tengah makin sengitnya saling klaim, Filipina sebagai salah satu negara pendaku
melayangkan keberatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) pada tahun
2013. Pada Selasa (12/7), Mahkamah memutuskan menolak klaim Tiongkok di LTS
yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus. Keputusan itu didasarkan pada
pertimbangan bahwa klaim Tiongkok tidak punya dasar hukum. Klaim atas dasar hak
historis Tiongkok gugur karena tidak sesuai dengan Zona Ekonomi Eksklusif
seperti ditetapkan PBB.
Menyusul
terbitnya keputusan Mahkamah, sejumlah negara, terutama Filipina yang merasa
wilayahnya dicampuri Tiongkok, menyambut dengan sukacita. Sikap resmi
Pemerintah RI disampaikan Kementerian Luar Negeri yang mendorong semua pihak
untuk menghormati keputusan Mahkamah dan mendahulukan perdamaian. Kemlu juga
mengimbau semua pihak menjaga stabilitas, menahan diri, serta menghormati hukum
internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982.
Pada sisi
lain, Tiongkok merespons putusan Mahkamah dengan menyatakan tidak akan
menerimanya. Berbeda dengan pernyataan Mahkamah yang menyebut putusannya
mengikat (tetapi tidak punya kekuatan untuk menerapkannya), Tiongkok menyebut
putusan tersebut hampa dan tidak memiliki kekuatan mengikat.
Bagaimana
sikap negara ASEAN menyikapi kengototan Tiongkok? Pengalaman dari KTT ASEAN di
Phnom Penh tahun 2012 juga pertemuan khusus ASEAN-Tiongkok di Yuxi, Juni 2016,
memperlihatkan, respons isu LTS dalam lingkup ASEAN juga problematik.
disadur dari Kompas, Kamis, 14 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar