Revolusi
Perancis tak hanya punya makna bagi negeri itu. Peristiwa tersebut juga membawa
pengaruh bagi banyak bangsa.
Pegangan
liberté, fraternité, égalité boleh
saja dicari dasarnya dalam sejarah kenegaraan atau filosofi lebih tua. Namun,
situasi dan kondisi abad ke-18 tersebut mengajak orang di abad ke-21 untuk
menegaskan kembali komitmen sosial-politisnya.
Semangat
1945 juga rupanya menggemakan suasana serupa. Pada masa awal kemerdekaan kita
diserukan kata "Merdeka!" oleh Bung Tomo dan Bung Karno serta di
mana-mana: Libertéterdengar gemanya. Dalam suasana kebersamaan waktu itu, sudah
lumrah dipakai sebutan bersahabat "Saudara" (Fraternité), yang jauh lebih membumi daripada "Bro" dan
"Sis" yang kini sering dipakai.
"Belarasa-setiakawan-sobat-teman-adil" terdengar sering jadi senapas
dengan "kesamarataan; égalité'.
Pekik universal dari Revolusi Perancis masih seirama dengan banyak kebutuhan
kita sekarang di Nusantara.
Dalam
pada itu, ada pula beberapa suasana dalam istilah-istilah itu yang tidak begitu
saja menimbulkan rasa nyaman. Kita ingat bagaimana kemerdekaan abad ke-18 itu
memantulkan harapan akar rumput untuk membebaskan diri dari ikatan monarki dan
agama, yang waktu itu dirasakan menggencet rakyat. Dampaknya adalah perampasan
milik para pangeran dan keturunan raja serta harta pemimpin keagamaan, yang
hampir tanpa dapat dikuasai oleh pihak keamanan sendiri.
Kebebasan
atau kemerdekaan dari penindasan lebih mudah dilakukan daripada diarahkan
kepada manfaat bagi rakyat. Sebab, pemimpin baru kepartaian rupanya sudah siap
mengambil alih kekuasaan sosial masyarakat. Akibatnya rakyat jugalah yang tetap
melarat. Nada serupa sangat sering diserukan pada masa "Reformasi
1989", sesudah rakyat merasa ditindas oleh kekuasaan politis tertentu.
Dampaknya tampak makin lama makin jelas: begitu banyak pihak eksekutif,
legislatif, dan yudikatif yang mencuri kesempatan untuk bebas mencari
keuntungan pribadi dengan mencuri harta rakyat.
Revolusi
Perancis mengejar kesamaan seluruh rakyat, yang sebelumnya dikuasai sekelompok
penduduk, yang mengaku berdarah biru sehingga menjadikan diri "lapisan
atas" dalam negara. Mereka mendapat privilese dalam hidup dan di tengah masyarakat.
Banyak kekayaan negara yang begitu saja dimiliki sekumpulan orang, hanya karena
dilahirkan sebagai anak-cucu eks penguasa negara atau daerah.
Dalam
perjalanan waktu terbentuk aristokrat politis yang jadi pangeran-pangeran baru
dengan kekuasaan yang tak kalah besarnya daripada generasi sebelumnya. Kita
melihat bagaimana aristokrasi terbentuk sejak 1965 sampai menjelang akhir abad
ke-20. Ada orang-orang yang hanya karena anak atau menantu dari penguasa,
secara perlahan, tetapi pasti menciptakan perusahaan dan merebut kekuasaan di
lembaga bangsa. Mereka menjadi aristokrat baru hanya karena ikatan darah dengan
penguasa.
Cita-cita
sama-rata, yang semula dikumandangkan pada waktu demonstrasi menurunkan seorang
pemimpin negara, secara perlahan, tetapi pasti telah disamarkan berdalih
"kesamarataan kewarganegaraan', tetapi sesungguhnya diwarnai dengan
rekayasa ekonomi dan politis. Partai dan jabatan kenegaraan ternodai: tak
menjadi sama-rata lagi.
Persaudaraan
Salah
satu slogan emosional zaman Revolusi Perancis adalah bahwa seluruh rakyat
adalah saudara yang sama. Rasa bersaudara membawa kebersamaan afektif yang
merupakan bekal kuat untuk menciptakan persatuan rakyat. Karena itu, abad
ke-18-19 adalah abad persaudaraan di Perancis, yang menular pada bangsa-bangsa
lain; dan pada gilirannya juga menjangkiti daerah-daerah jajahan yang nantinya
di abad ke-19 dan ke-20 menjalarkan perang kemerdekaan. Salah satu buahnya
adalah kemerdekaan Amerika oleh para imigran Eropa sendiri. Mereka menyatu
karena semangat bersaudara dalam aneka lapisan relasi.
Suasana
bersaudara yang mengembang pada masa kemerdekaan Indonesia, kembali meniup
menjelang akhir abad ke-20. Rasa persaudaraan mengatasi segala perbedaan kelas,
yang mengembang hampir 30 tahun karena kesenjangan yang diciptakan oleh
diskriminasi sebagai buah rekayasa politik dan ekonomi. Monopoli ekonomi dan
politis dipakai oleh sekelompok orang sehingga dunia ekonomi dan politik
dikuasai segelintir golongan. Seperti dalam Revolusi Perancis, persaudaraan
model rekayasa ini diperkuat dengan senjata ideologis yang disalahgunakan.
Pancasila, yang pada awal masa kemerdekaan merupakan buah musyawarah politis
demi kepentingan bersama melawan penjajah, telah dijadikan alat ekonomis dan
politis melalui kursus yang dibelokkan menjadi penyaring rekan-kuasa.
Ketika
masa reformasi tampil, maka persaudaraan ini menjadi tanda dan sarana kuat
untuk melawan penindasan sebagian bangsa sendiri. Karena itu, pada tahun-tahun
pertama, juga persaudaraan itu yang menyatukan Nusantara. Sayang sekali bahwa
rekayasa politis-sebagian konstitusional-perlahan-lahan telah menjadi jalan
untuk memperalat persaudaraan. Tercipta lagi kelas baru yang diwarnai oleh
kepentingan ekonomis, keuangan, dan politis. Banyak pelaku eksekutif dan
yudikatif ternyata terjerat masuk juga ke dalamnya.
Ketika
Uni Eropa terbit, ada harapan pada sementara orang: ada jalan baru untuk
menetralisir penyelewengan dalam pewarisan semangat Revolusi Perancis.
Menjelang dekade kedua abad ke-21, Indonesia memperoleh momentum baru ketika
beberapa warna persaudaraan ditampilkan oleh beberapa tokoh politis,
kesamarataan ditawarkan oleh beberapa proyek yang mengangkat rakyat terpencil
menuju ekonomi yang lebih baik, kebebasan berpendapat yang menguatkan rasa
saling memiliki yang lebih terbuka. Kalau di dalamnya nanti dikembangkan
kemerdekaan yang lebih bertanggung jawab dalam mengambil bagian dengan penuh
kesukarelaan yang menyaudara, maka kita melihat jalan baru. Namun, di situ pun
diperlukan kemampuan untuk mampu menciptakan "Latihan Rohani
Kebangsaan": berbagai bentuk kerja sama perlu dipilah-pilah untuk dipilih
supaya diambil jalan yang sesungguh-sungguhnya demi kesejahteraan bersama. Kita
belajar dari sejarah bangsa-bangsa lain.
oleh BS Mardiatmadja
oleh BS Mardiatmadja
Disadur
dari Kompas, Kamis, 14 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar