USAI
sudah perhelatan akbar tahunan bangsa ini. Ramadan, Lebaran diselingi gegap
gempitanya mudik menjadi ritual rutin. Berbagai persoalan mumet dihadapi pemerintah
mulai dari meroketnya harga pangan hingga keputusasaan para pemudik terjebak
kemacetan parah di berbagai jalur mudik. Ritual tahunan ini pun masih
menyisakan persoalan berikutnya yaitu gelombang urbanisasi pascamudik.
Alih-alih mencari solusi, saling menyalahkan siapa yang bertanggung jawab atas
munculnya persoalan tersebut menjadi hal umum di Republik ini.
Derasnya
arus urbanisasi menjadi problematika sosial bagi kota-kota besar di Tanah Air.
Imbauan pemerintah agar pemudik tidak membawa kerabat kampung halamannya untuk
mencari penghidupan layak di kota besar seolah tak dihiraukan. Tanpa bekal
memadai, mereka nekat datang ke kota besar hanya untuk mendapat pekerjaan. Para
pendatang baru tersebut akhirnya hanya menambah kronisnya penyandang masalah sosial
di kota-kota besar yang mereka tuju.
Sejatinya
memang pemerintah tidak bisa melarang warga desa untuk berbondong-bondong
mencari pekerjaan di kota manakala kebijakan pembangunan masih terpusat di kota
besar. Selain itu, selama pemerintah belum mampu menjamin penghidupan yang
layak bagi seluruh warga negara sesuai amanat konstitusional, selama itu pula
arus urbanisasi akan terus berlangsung. Desa tidak lagi menjadi tempat menarik
mencari penghidupan yang layak. Oleh karena itu, kota-kota besar menjadi magnet
bagi penduduk desa untuk berhijrah.
Akar
masalah
Menghentikan laju urbanisasi bak pekerjaan sia-sia ketika akar masalahnya tidak cepat dikenali. Selama ini upaya pemerintah mengatasi urbanisasi cenderung represif berupa ancaman hukuman administratif semisal operasi yustisi bagi para pendatang. Nyatanya tindakan demikian tidaklah efektif dalam mengurai benang kusut urbanisasi. Lalu apa sebenarnya pemicu derasnya arus urbanisasi? Kegagalan desentralisasi, virus kapitalisme, dan marginalisasi desa merupakan faktor penyebab.
Menghentikan laju urbanisasi bak pekerjaan sia-sia ketika akar masalahnya tidak cepat dikenali. Selama ini upaya pemerintah mengatasi urbanisasi cenderung represif berupa ancaman hukuman administratif semisal operasi yustisi bagi para pendatang. Nyatanya tindakan demikian tidaklah efektif dalam mengurai benang kusut urbanisasi. Lalu apa sebenarnya pemicu derasnya arus urbanisasi? Kegagalan desentralisasi, virus kapitalisme, dan marginalisasi desa merupakan faktor penyebab.
Kebijakan
otonomi daerah ternyata tidak serta-merta menjamin lancarnya pembangunan
ekonomi daerah. Tengok saja postur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
yang cenderung lebih banyak alokasi untuk belanja pegawai daerah. Pemerintah
daerah mengalokasikan rata-rata belanja pegawai sekira 50% sampai 70% dari
APBD-nya. Bisa dibayangkan berapa alokasi tersisa untuk belanja modal pembangunan
infrastruktur daerah? Kemandirian ekonomi daerah masih jauh dari harapan.
Dalam
perspektif ekonomi, masyarakat kita telanjur mencintai virus kapitalisme.
Keberhasilan invidu semata-mata diukur dari nilai materi yang melekat pada
dirinya.
Kebijakan
otonomi daerah ternyata tidak serta-merta menjamin lancarnya pembangunan
ekonomi daerah. Tengok saja postur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
yang cenderung lebih banyak alokasi untuk belanja pegawai daerah. Pemerintah
daerah mengalokasikan rata-rata belanja pegawai sekira 50% sampai 70% dari
APBD-nya. Bisa dibayangkan berapa alokasi tersisa untuk belanja modal
pembangunan infrastruktur daerah? Kemandirian ekonomi daerah masih jauh dari
harapan.
Dalam
perspektif ekonomi, masyarakat kita telanjur mencintai virus kapitalisme. Keberhasilan
invidu semata-mata diukur dari nilai materi yang melekat pada dirinya. Pesan
untuk hidup sederhana saat Ramadhan, sebagai contoh, tidak berlaku ketika mudik
tiba. Sudah menjadi kebiasaan, para pemudik mempertontonkan berbagai fasilitas
terbarukan di kampung halaman. Entah untuk sekadar mengekspresikan keberhasilan
hidup mereka atau salah memaknai rasa sukacita menyambut Lebaran dengan segala
sesuatu yang baru. Budaya hedonisme seperti ini tentu memicu kerabat di kampung
halaman berduyun-duyun ke kota agar kelak bisa mencotoh kesuksesan materi para
pemudik tersebut.
Desa
tidak lagi menjadi tempat menarik bagi para pemudanya. Minimnya infrastruktur
ekonomi perdesaan menghambat gerak roda perekonomian desa. Wajar bila akhirnya
para pemuda desa tidak lagi mau menggarap lahan pertanian, perkebunan, dan
peternakan. Hal ini diperparah dengan rendahnya harga hasil panen akibat ulah
mafia pangan dan ternak. Ketika mereka tidak punya lagi pekerjaan, kota besar
menjadi sasaran untuk mengadu nasib.
Meredam urbanisasi
Mengatasi persoalan urbanisasi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu upaya serius pemerintah dan masyarakat meredam laju urbanisasi. Berikut langkah bijak yang perlu ditempuh. Pertama, optimalisasi dana desa. Kebijakan pemerintah pusat untuk membangun Indonesia dari desa patut diapresiasi. Namun, tantangannya tidaklah mudah. Kebijakan semacam ini akan berhasil manakala infrastruktur di seluruh desa terbangun.
Mengatasi persoalan urbanisasi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu upaya serius pemerintah dan masyarakat meredam laju urbanisasi. Berikut langkah bijak yang perlu ditempuh. Pertama, optimalisasi dana desa. Kebijakan pemerintah pusat untuk membangun Indonesia dari desa patut diapresiasi. Namun, tantangannya tidaklah mudah. Kebijakan semacam ini akan berhasil manakala infrastruktur di seluruh desa terbangun.
Dana
desa yang telah dialokasikan pemerintah pusat seyogianya dimanfaatkan secara
tepat dan berdaya guna. Pada saat yang sama, pemerintahan desa yang memiliki
kewenangan sebagai pengguna dana tersebut perlu ditingkatkan kapasitasnya. Ini
penting agar dana tersebut dikelola secara transparan dan akuntabel. Selain
itu, warga desa harus terlibat aktif. Warga desa semestinya menjadi subjek dan
bukan objek pembangunan desa.
Kedua,
reorientasi pembangunan. Pemerataan pembangunan tidak sekadar jargon politik,
akan tetapi benar-benar direalisasikan. Saatnya pembangunan tidak lagi terpusat
di wilayah perkotaan. Desa harus dilengkapi infrastruktur ekonomi, pendidikan,
dan kesehatan yang memadai dan berkualitas. Kelengkapan intrastruktur desa
tidak dapat meredam keinginan warga desa untuk pindah ke kota. Pemerintah pun
seyogianya memperhatikan dengan serius pengembangan wilayah terluar, terjauh,
dan tertinggal. Pembangunan di wilayah tersebut penting, selain untuk
menyediakan lapang kerja bagi penduduk setempat juga untuk menjaga batas
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga,
edukasi kewirausahaan desa. Penting memperkuat sumber daya manusia desa.
Potensi sumber daya manusia desa perlu digali melalui pendidikan kewirausahaan.
Pemuda desa harus diarahkan mampu mandiri secara ekonomi. Oleh karena itu,
perlu upaya sistematis dan terstruktur menciptakan desa sebagai inkubator
wirausaha baru. Pemerintahan desa, pelaku bisnis, dan lembaga pendidikan
diharapkan bergandengan tangan untuk melahirkan wirausaha-wirausaha baru.
Keempat,
merevitalisasi peran sosial perguruan tinggi. Sudah saatnya perguruan tinggi
tidak lagi memosisikan dirinya sebagai menara gading. Lembaga ini terlalu sibuk
dengan dirinya sendiri dan lupa akan tanggung jawab sosial yang diembannya.
Bagaimanapun perguruan tinggi sejatinya memiliki kepedulian lebih terhadap
beragam persoalan sosial, khususnya masyarakat perdesaan. Penelitian di
perguruan tinggi misalnya, lebih berorientasi kepada kewajiban pemenuhan
laporan pertanggung jawaban keuangan. Selain itu, peneliti kampus lebih disibukkan
dengan keharusan menerbitkan hasil penelitian di jurnal bereputasi. Padahal,
artikel yang terbit di jurnal bereputasi tidak akan dibaca masyarakat desa.
Pada
akhirnya, pemerintah dan masyarakat harus duduk bersama menemukan obat mujarab
atasi urbanisasi. Urbanisasi dapat diredam dengan menemukan akar masalahnya
secara cermat, lalu merumuskan kebijakan penanganannya secara tepat pula.
Saatnya mengakhiri sikap saling tuding antar pihak penyebab munculnya arus
urbanisasi. Semoga.
oleh
Dedi Purwana ES
disadur dari Media Indonesia, Rabu, 13 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar