Editors Picks

Rabu, 10 Agustus 2016

Menakar kembali Demokrasi Kita



PELEMBAGAAN politik merupakan variabel utama lain untuk mengukur kualitas demokrasi. Tentu, lebih konkret, lembaga politik dalam soal ini merujuk kepada para aktornya. Ketika Media Indonesia (30/6/2016) mengulas 'persoalan berulang' di DPR, secara praktis, analisis teoretis yang menyebutkan demokrasi kita sedang tenggelam dalam kawah kritis tidak terelakkan. Pada konteks yang berbeda, pada intensitas kecemasan yang sama, demokrasi sedang diburu sejumlah pertanyaan dan kegelisahan substantif.

Salah satu jurnal internasional prestisius dalam kajian demokrasi, Journal of Democracy, yang diterbitkan The John Hopkins University Press, pada awal 2015 lalu, secara khusus mengulas 'simptom' krisis demokrasi. Edisi khusus ini diterbitkan untuk merayakan 25 tahun usia jurnal tersebut, sekaligus menandai 24 tahun penerbitan buku legendaris ahli politik Samuel P Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991).

Kemerosotan
Philippe C Schmitter (2015)--guru besar emeritus ilmu politik di European University Institute--mendeteksi kemerosotan demokrasi dengan merujuk ke pencarian 'decline of democracy' dengan Google search dengan hasil 55.5 juta hasil dan Google scholar yang hanya berhubungan dengan literatur akademik muncul dengan jumlah 435 ribu. Ini data per 18 Agustus 2014. Ketika pencarian dilakukan pada 15 Maret 2016, jumlahnya sudah mencapai 104 juta dan 1,8 juta.

Angka itu menunjukkan secara sahih, setelah dua tahun, diskursus seputar kemunduran demokrasi hampir sama intensnya, baik di ranah publik/awam maupun di kalangan ilmuwan politik. Pada ukuran tertentu, barangkali ada kesimpulan yang pantas dikedepankan bahwa transisi politik di sejumlah kawasan paling tidak telah membelokkan 'krisis' demokrasi ke arah mencemaskan. Arsitektur politik dan kekuasaan pada silang sengkarut perubahan politik menggiring demokrasi ke area rawan bahaya.

Secara praktis, itu menjadi semacam koreksi terhadap asumsi teoretis Huntington. Memang secara keseluruhan, sangat menakjubkan, sesudah munculnya sesi ketiga gelombang demokrasi versi Huntington, selama empat dekade terakhir sejak 1970, jumlah negara dengan demokrasi elektoral mengalami kenaikan hampir 300%; dengan perincian, 35 negara pada 1970 dan 110 negara pada 2014. Peningkatan jumlah negara yang percaya 'elektorasi' sebagai mekanisme demokrasi pada kenyataannya tidak bisa menyangkal kenyataan lain tentang 'kemerosotan demokrasi'.

Resesi yang berlanjut
Pada akhir 1990-an, demokrasi memang meraih banyak kemenangan besar, terutama dengan menyebut ambruknya tembok Berlin, keruntuhan Uni Soviet, menjauhnya kawasan Eropa Timur dari cengkeraman komunisme, juga pada perubahan politik di kawasan Amerika Latin. Raihan penting demokrasi kemudian diikuti dengan menggeliatnya reformasi politik di Timur Tengah dengan munculnya apa yang disebut dengan the Arab Spring dua dekade kemudian.

Bagaimanapun, kesuksesan besar demokrasi dalam dua abad terakhir ternyata sekadar kisah sumir. The Economist Intteligence Unit (2015) dalam laporan mereka tentang democracy index di bawah judul Democracy in an Age of Anxiety (demokrasi dalam abad kecemasan) menyebutkan empat kategori negara berdasarkan pencapaian level demokrasi. Hanya 20 negara yang tercatat dengan demokrasi penuh, 59 negara dengan kuasi demokrasi, 37 negara dengan hybrid democracy, dan sisanya sebanyak 51 negara dengan iklim totaliter.

Dengan lima aspek yang dievaluasi proses elektorasi-pluralisme, fungsi keberdayaan pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, kebebasan sipil kinerja demokrasi mengirimkan pesan kemunduran signifikan. Pesan itu semakin menebal seperti juga yang diungkapkan Francis Fukuyama, Why is Democracy Performing So Poorly? (2015)--dengan belum terbendungnya terorisme dan kekerasan seperti munculnya Islamic State di Suriah--di satu pihak--dan semakin kuatnya dua rezim totaliter dalam diri Rusia dan Tiongkok. Resesi demokrasi--dengan demikian--selalu memiliki alasan politis (institusi), kultural (aktor), dan sosial (kebebasan sipil).

Pasang surut demokrasi negara-negara di kawasan Selatan (the global south) tidak terbantahkan memengaruhi perkembangan politik selama setengah abad terakhir. Kajian-kajian kontemporer di bidang politik menyimpulkan bahwa rentang geografis, ekonomi, dan budaya dari rezim demokratis jauh lebih luas jika dibandingkan dengan asumsi tentang perkembangan demokrasi setengah abad lalu. Ekspansi paling progresif demokrasi sama sekali tidak terletak pada poros pelembagaan politik, tetapi terutama berhubungan dengan transformasi supercepat ruang sosial dengan basis teknologi informasi. Elemen-elemen demokrasi dalam perspektif konvensional terpaksa kehilangan pamor di hadapan geliat partisipasi politik kewargaan.

Korelasi konstruktif
Kenneth M Roberts pengajar di Department of Government, Cornell University dalam studi terbarunya, Democracy in the Developing World (2016), mengungkapkan kepercayaannya tentang keberlanjutan demokrasi jika output dari proses elektorasi memiliki 'korelasi konstruktif' dengan ruang kewargaan. Secara detail, kesimpulan ini bisa ditempatkan dalam konteks 'keterhubungan' kinerja aktor dan lembaga politik dengan inti pengalaman sosial publik. Demokrasi tidak hanya bergantung pada 'elektorasi', tetapi juga dengan terwujudnya perwakilan politik yang efektif dan lembaga yang partisipatif dalam 'menihilkan' ketidakberuntungan sosial dan ekonomi di pihak publik (rakyat).

Untuk kasus Indonesia, publik harus benar-benar memiliki mata yang awas. Tantangan terbesar demokrasi kita pada hari ini bukan pada efek destruktif dari serentetan perubahan serbacepat politik mondial, melainkan pada begitu nyatanya anomali sejumlah lembaga politik yang belum menampakkan diri sebagai refleksi langsung hajat hidup kewargaan. Fenomena itu terungkap dari kenyataan ketika para kandidat perwakilan politik menggunakan demokrasi sebagai metode meraih jabatan di satu pihak, sementara perilaku mereka seolah mengajak warga untuk mengikis rasa percaya pada demokrasi pada pihak lainnya.

oleh Max Regus
disadur dari Media Indonesia, Rabu, 13 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar