PELEMBAGAAN
politik merupakan variabel utama lain untuk mengukur kualitas demokrasi. Tentu,
lebih konkret, lembaga politik dalam soal ini merujuk kepada para aktornya.
Ketika Media Indonesia (30/6/2016) mengulas 'persoalan berulang' di DPR, secara
praktis, analisis teoretis yang menyebutkan demokrasi kita sedang tenggelam
dalam kawah kritis tidak terelakkan. Pada konteks yang berbeda, pada intensitas
kecemasan yang sama, demokrasi sedang diburu sejumlah pertanyaan dan
kegelisahan substantif.
Salah
satu jurnal internasional prestisius dalam kajian demokrasi, Journal of Democracy, yang diterbitkan The John Hopkins University Press, pada
awal 2015 lalu, secara khusus mengulas 'simptom'
krisis demokrasi. Edisi khusus ini diterbitkan untuk merayakan 25 tahun usia
jurnal tersebut, sekaligus menandai 24 tahun penerbitan buku legendaris ahli
politik Samuel P Huntington, The Third
Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991).
Kemerosotan
Philippe C Schmitter (2015)--guru besar emeritus ilmu politik di European University Institute--mendeteksi kemerosotan demokrasi dengan merujuk ke pencarian 'decline of democracy' dengan Google search dengan hasil 55.5 juta hasil dan Google scholar yang hanya berhubungan dengan literatur akademik muncul dengan jumlah 435 ribu. Ini data per 18 Agustus 2014. Ketika pencarian dilakukan pada 15 Maret 2016, jumlahnya sudah mencapai 104 juta dan 1,8 juta.
Philippe C Schmitter (2015)--guru besar emeritus ilmu politik di European University Institute--mendeteksi kemerosotan demokrasi dengan merujuk ke pencarian 'decline of democracy' dengan Google search dengan hasil 55.5 juta hasil dan Google scholar yang hanya berhubungan dengan literatur akademik muncul dengan jumlah 435 ribu. Ini data per 18 Agustus 2014. Ketika pencarian dilakukan pada 15 Maret 2016, jumlahnya sudah mencapai 104 juta dan 1,8 juta.
Angka
itu menunjukkan secara sahih, setelah dua tahun, diskursus seputar kemunduran
demokrasi hampir sama intensnya, baik di ranah publik/awam maupun di kalangan
ilmuwan politik. Pada ukuran tertentu, barangkali ada kesimpulan yang pantas
dikedepankan bahwa transisi politik di sejumlah kawasan paling tidak telah
membelokkan 'krisis' demokrasi ke arah mencemaskan. Arsitektur politik dan
kekuasaan pada silang sengkarut perubahan politik menggiring demokrasi ke area
rawan bahaya.
Secara
praktis, itu menjadi semacam koreksi terhadap asumsi teoretis Huntington. Memang
secara keseluruhan, sangat menakjubkan, sesudah munculnya sesi ketiga gelombang
demokrasi versi Huntington, selama empat dekade terakhir sejak 1970, jumlah
negara dengan demokrasi elektoral mengalami kenaikan hampir 300%; dengan
perincian, 35 negara pada 1970 dan 110 negara pada 2014. Peningkatan jumlah
negara yang percaya 'elektorasi' sebagai mekanisme demokrasi pada kenyataannya
tidak bisa menyangkal kenyataan lain tentang 'kemerosotan demokrasi'.
Resesi yang berlanjut
Pada akhir 1990-an, demokrasi memang meraih banyak kemenangan besar, terutama dengan menyebut ambruknya tembok Berlin, keruntuhan Uni Soviet, menjauhnya kawasan Eropa Timur dari cengkeraman komunisme, juga pada perubahan politik di kawasan Amerika Latin. Raihan penting demokrasi kemudian diikuti dengan menggeliatnya reformasi politik di Timur Tengah dengan munculnya apa yang disebut dengan the Arab Spring dua dekade kemudian.
Pada akhir 1990-an, demokrasi memang meraih banyak kemenangan besar, terutama dengan menyebut ambruknya tembok Berlin, keruntuhan Uni Soviet, menjauhnya kawasan Eropa Timur dari cengkeraman komunisme, juga pada perubahan politik di kawasan Amerika Latin. Raihan penting demokrasi kemudian diikuti dengan menggeliatnya reformasi politik di Timur Tengah dengan munculnya apa yang disebut dengan the Arab Spring dua dekade kemudian.
Bagaimanapun,
kesuksesan besar demokrasi dalam dua abad terakhir ternyata sekadar kisah
sumir. The Economist Intteligence Unit
(2015) dalam laporan mereka tentang democracy
index di bawah judul Democracy in an
Age of Anxiety (demokrasi dalam abad kecemasan) menyebutkan empat kategori
negara berdasarkan pencapaian level demokrasi. Hanya 20 negara yang tercatat
dengan demokrasi penuh, 59 negara dengan kuasi demokrasi, 37 negara dengan hybrid democracy, dan sisanya sebanyak
51 negara dengan iklim totaliter.
Dengan
lima aspek yang dievaluasi proses elektorasi-pluralisme, fungsi keberdayaan
pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, kebebasan sipil kinerja
demokrasi mengirimkan pesan kemunduran signifikan. Pesan itu semakin menebal
seperti juga yang diungkapkan Francis Fukuyama, Why is Democracy Performing So Poorly? (2015)--dengan belum
terbendungnya terorisme dan kekerasan seperti munculnya Islamic State di Suriah--di satu pihak--dan semakin kuatnya dua
rezim totaliter dalam diri Rusia dan Tiongkok. Resesi demokrasi--dengan
demikian--selalu memiliki alasan politis (institusi), kultural (aktor), dan
sosial (kebebasan sipil).
Pasang
surut demokrasi negara-negara di kawasan Selatan (the global south) tidak
terbantahkan memengaruhi perkembangan politik selama setengah abad terakhir.
Kajian-kajian kontemporer di bidang politik menyimpulkan bahwa rentang
geografis, ekonomi, dan budaya dari rezim demokratis jauh lebih luas jika
dibandingkan dengan asumsi tentang perkembangan demokrasi setengah abad lalu.
Ekspansi paling progresif demokrasi sama sekali tidak terletak pada poros
pelembagaan politik, tetapi terutama berhubungan dengan transformasi supercepat
ruang sosial dengan basis teknologi informasi. Elemen-elemen demokrasi dalam
perspektif konvensional terpaksa kehilangan pamor di hadapan geliat partisipasi
politik kewargaan.
Korelasi konstruktif
Kenneth M Roberts pengajar di Department of Government, Cornell University dalam studi terbarunya, Democracy in the Developing World (2016), mengungkapkan kepercayaannya tentang keberlanjutan demokrasi jika output dari proses elektorasi memiliki 'korelasi konstruktif' dengan ruang kewargaan. Secara detail, kesimpulan ini bisa ditempatkan dalam konteks 'keterhubungan' kinerja aktor dan lembaga politik dengan inti pengalaman sosial publik. Demokrasi tidak hanya bergantung pada 'elektorasi', tetapi juga dengan terwujudnya perwakilan politik yang efektif dan lembaga yang partisipatif dalam 'menihilkan' ketidakberuntungan sosial dan ekonomi di pihak publik (rakyat).
Kenneth M Roberts pengajar di Department of Government, Cornell University dalam studi terbarunya, Democracy in the Developing World (2016), mengungkapkan kepercayaannya tentang keberlanjutan demokrasi jika output dari proses elektorasi memiliki 'korelasi konstruktif' dengan ruang kewargaan. Secara detail, kesimpulan ini bisa ditempatkan dalam konteks 'keterhubungan' kinerja aktor dan lembaga politik dengan inti pengalaman sosial publik. Demokrasi tidak hanya bergantung pada 'elektorasi', tetapi juga dengan terwujudnya perwakilan politik yang efektif dan lembaga yang partisipatif dalam 'menihilkan' ketidakberuntungan sosial dan ekonomi di pihak publik (rakyat).
Untuk
kasus Indonesia, publik harus benar-benar memiliki mata yang awas. Tantangan
terbesar demokrasi kita pada hari ini bukan pada efek destruktif dari
serentetan perubahan serbacepat politik mondial, melainkan pada begitu nyatanya
anomali sejumlah lembaga politik yang belum menampakkan diri sebagai refleksi
langsung hajat hidup kewargaan. Fenomena itu terungkap dari kenyataan ketika
para kandidat perwakilan politik menggunakan demokrasi sebagai metode meraih
jabatan di satu pihak, sementara perilaku mereka seolah mengajak warga untuk
mengikis rasa percaya pada demokrasi pada pihak lainnya.
oleh
Max Regus
disadur dari Media Indonesia, Rabu, 13 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar