Editors Picks

Rabu, 10 Agustus 2016

Skandal Vaksin Palsu dan Kepercayaan Publik



Ditemukannya vaksin cacar oleh Edward Jenner telah mampu mengeradikasi secara global penyakit cacar sekitar tahun 1980 (WHO). Metode penggunaan vaksin yang ditemukan Jenner, yang kemudian mengalami inovasi dan menghasilkan sejumlah vaksin saat ini, sangat efektif sebagai metode pencegahan individu terhadap penyakit, baik penyakit infeksi menular maupun kanker.

Skandal peredaran vaksin palsu yang telah mengagetkan dan mengkhawatirkan publik di Indonesia beberapa waktu lalu juga ternyata pernah dilaporkan di Amerika Serikat (peredaran vaksin palsu influenza pada 2006) dan Tiongkok (pada Maret 2016 yang diduga melibatkan lebih dari 100 orang, termasuk di dalamnya petugas kesehatan) pada lebih dari 20 provinsi dengan beragam jenis vaksin palsu.

Penggunaan vaksin sebagai salah satutools dalam praktik kedokteran memang unik. Vaksin bukan obat yang bersifat menyembuhkan walaupun ilmu kedokteran modern dengan beragam penelitian telah mengembangkan prinsip dasar vaksinologi sebagai metode pengobatan modern yang lazim disebut imunoterapi.

Keunikan lain dari vaksin adalah sebagai alat preventif, penggunaannya ditujukan kepada individu sehat. Vaksin tidak memberikan jaminan sempurna pada individu yang divaksin untuk bebas 100 persen dari penyakit tertentu.

Beberapa alasan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam skandal peredaran vaksin palsu.
Pertama, target vaksinasi mayoritas adalah kelompok anak dan remaja, terutama anak balita dan bayi dengan daya tahan tubuh (sistem imun) yang masih lemah dan dalam jumlah yang sangat banyak di Indonesia. Pada umumnya, vaksin anak merupakan vaksin yang wajib diberikan dan merupakan program nasional vaksinasi.

Kedua, kekhawatiran mengenai isi kandungan vaksin palsu yang beredar. Vaksin asli mengandung bahan inti berupa bakteri/virus yang telah dilemahkan atau materi genetiknya dan bahan tambahan seperti antibiotik. Akan sangat berbahaya memberikan vaksin palsu yang isi kandungannya tidak jelas.

Hasil investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan bahwa kandungan vaksin palsu adalah antibiotik yang dicampur dengan cairan infus. Vaksin palsu sama sekali tidak mengandung bahan inti vaksin.

Kita berharap, apabila vaksin palsu memang "hanya" berisi antibiotik, dampak dan efek samping pasca penyuntikan tidaklah berbahaya. Tentu ada individu yang mungkin memiliki alergi terhadap antibiotik tertentu pada vaksin palsu. Akan sangat informatif apabila terdapat pelaporan efek samping berupa reaksi alergi setelah dilakukan penyuntikan vaksin palsu.

Ada enam jenis vaksin yang dipalsukan menurut investigasi BPOM: (1) vaksin tripacel (kombinasi vaksin pertusis, difteri, dan tetanus); (2) vaksin pediacel (kombinasi lima macam vaksin, yaitu difteri, tetanus, pertusis, polio, dan HiB/Haemophillus influenza); (3) Engerix-B: vaksin hepatitis-B; (4) serum antitetanus untuk pencegahan tetanus pada luka; (5) Polivalen antiular yang digunakan pada gigitan ular; dan (6) Tuberculin PPD RT 23 yang digunakan untuk tes diagnosis infeksi mikobakterium pada anak.

Ketiga, peredaran vaksin palsu bisa menjadi salah satu faktor gagalnya program imunisasi dan vaksinasi nasional pemerintah. Angka cakupan vaksinasi yang kurang akan mengakibatkan batas kekebalan kelompok yang dihitung dari angka cakupan individu yang divaksin terhadap individu yang tidak divaksin menjadi tidak terpenuhi. Tingginya angka kegagalan vaksinasi akan menjadi sumber kegagalan pencegahan penyakit infeksi menular yang bermuara pada timbulnya perjangkitan penyakit infeksi tertentu.

Keempat, kepercayaan publik di tingkat nasional ataupun internasional terhadap penggunaan dan program vaksinasi akan hilang. Hal ini diharapkan tidak akan terjadi, tetapi bukan tidak mungkin.

Pada 2011, British Medical Journalmelaporkan program vaksinasi fiktif di Pakistan, dengan bantuan CIA, menjadikan publik meragukan program vaksinasi di negara tersebut. Saat itu, program vaksinasi hepatitis B dijadikan alat untuk melacak DNA keluarga Osama bin Laden. Hilangnya kepercayaan publik ini berujung pada terjadinya perjangkitan polio di Pakistan pada 2013.

Agar dituntaskan
Belajar dari kasus tersebut, bisa jadi dunia internasional akan meragukan pelaksanaan program vaksinasi nasional di Indonesia, seperti vaksinasi polio, ataupun pada pemberian vaksin yang rutin harus dilakukan pada individu sebagai prasyarat, seperti pemberian vaksin meningitis untuk yang akan melakukan haji dan umrah.

Peran eksekutor, dalam hal ini adalah dokter dan petugas medis lain (bidan/perawat), sangat penting dan menjadi ujung tombak pemberian vaksin. Mereka sudah semestinya dibekali pengetahuan yang cukup tentang vaksin dan menjadi pihak pertama yang sadar dengan penggunaan vaksin palsu.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan bersama dengan BPOM, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), telah melakukan langkah-langkah yang patut kita apresiasi sehingga kekhawatiran yang berlebihan dari masyarakat bisa dicegah.

Sebagai pihak yang terkena dampak dari peredaran vaksin palsu, tentu masyarakat berharap agar kasus ini akan cepat terselesaikan tuntas dan jelas.

Kepercayaan publik sangat penting dan merupakan kunci utama suksesnya program vaksinasi nasional.

oleh Yordan Khaedir
disadur dari Kompas, Jum’at 15 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar