Ditemukannya
vaksin cacar oleh Edward Jenner telah mampu mengeradikasi secara global penyakit
cacar sekitar tahun 1980 (WHO). Metode penggunaan vaksin yang ditemukan Jenner,
yang kemudian mengalami inovasi dan menghasilkan sejumlah vaksin saat ini,
sangat efektif sebagai metode pencegahan individu terhadap penyakit, baik
penyakit infeksi menular maupun kanker.
Skandal
peredaran vaksin palsu yang telah mengagetkan dan mengkhawatirkan publik di
Indonesia beberapa waktu lalu juga ternyata pernah dilaporkan di Amerika
Serikat (peredaran vaksin palsu influenza pada 2006) dan Tiongkok (pada Maret
2016 yang diduga melibatkan lebih dari 100 orang, termasuk di dalamnya petugas
kesehatan) pada lebih dari 20 provinsi dengan beragam jenis vaksin palsu.
Penggunaan
vaksin sebagai salah satutools dalam praktik kedokteran memang unik. Vaksin
bukan obat yang bersifat menyembuhkan walaupun ilmu kedokteran modern dengan
beragam penelitian telah mengembangkan prinsip dasar vaksinologi sebagai metode
pengobatan modern yang lazim disebut imunoterapi.
Keunikan
lain dari vaksin adalah sebagai alat preventif, penggunaannya ditujukan kepada
individu sehat. Vaksin tidak memberikan jaminan sempurna pada individu yang
divaksin untuk bebas 100 persen dari penyakit tertentu.
Beberapa alasan
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam skandal peredaran vaksin palsu.
Pertama,
target vaksinasi mayoritas adalah kelompok anak dan remaja, terutama anak
balita dan bayi dengan daya tahan tubuh (sistem imun) yang masih lemah dan
dalam jumlah yang sangat banyak di Indonesia. Pada umumnya, vaksin anak
merupakan vaksin yang wajib diberikan dan merupakan program nasional vaksinasi.
Kedua,
kekhawatiran mengenai isi kandungan vaksin palsu yang beredar. Vaksin asli
mengandung bahan inti berupa bakteri/virus yang telah dilemahkan atau materi
genetiknya dan bahan tambahan seperti antibiotik. Akan sangat berbahaya
memberikan vaksin palsu yang isi kandungannya tidak jelas.
Hasil
investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan bahwa kandungan
vaksin palsu adalah antibiotik yang dicampur dengan cairan infus. Vaksin palsu
sama sekali tidak mengandung bahan inti vaksin.
Kita
berharap, apabila vaksin palsu memang "hanya" berisi antibiotik,
dampak dan efek samping pasca penyuntikan tidaklah berbahaya. Tentu ada individu
yang mungkin memiliki alergi terhadap antibiotik tertentu pada vaksin palsu.
Akan sangat informatif apabila terdapat pelaporan efek samping berupa reaksi
alergi setelah dilakukan penyuntikan vaksin palsu.
Ada
enam jenis vaksin yang dipalsukan menurut investigasi BPOM: (1) vaksin tripacel
(kombinasi vaksin pertusis, difteri, dan tetanus); (2) vaksin pediacel
(kombinasi lima macam vaksin, yaitu difteri, tetanus, pertusis, polio, dan
HiB/Haemophillus influenza); (3) Engerix-B: vaksin hepatitis-B; (4) serum
antitetanus untuk pencegahan tetanus pada luka; (5) Polivalen antiular yang
digunakan pada gigitan ular; dan (6) Tuberculin PPD RT 23 yang digunakan untuk
tes diagnosis infeksi mikobakterium pada anak.
Ketiga,
peredaran vaksin palsu bisa menjadi salah satu faktor gagalnya program
imunisasi dan vaksinasi nasional pemerintah. Angka cakupan vaksinasi yang
kurang akan mengakibatkan batas kekebalan kelompok yang dihitung dari angka
cakupan individu yang divaksin terhadap individu yang tidak divaksin menjadi tidak
terpenuhi. Tingginya angka kegagalan vaksinasi akan menjadi sumber kegagalan
pencegahan penyakit infeksi menular yang bermuara pada timbulnya perjangkitan
penyakit infeksi tertentu.
Keempat,
kepercayaan publik di tingkat nasional ataupun internasional terhadap
penggunaan dan program vaksinasi akan hilang. Hal ini diharapkan tidak akan
terjadi, tetapi bukan tidak mungkin.
Pada
2011, British Medical Journalmelaporkan program vaksinasi fiktif di Pakistan,
dengan bantuan CIA, menjadikan publik meragukan program vaksinasi di negara
tersebut. Saat itu, program vaksinasi hepatitis B dijadikan alat untuk melacak
DNA keluarga Osama bin Laden. Hilangnya kepercayaan publik ini berujung pada
terjadinya perjangkitan polio di Pakistan pada 2013.
Agar dituntaskan
Belajar
dari kasus tersebut, bisa jadi dunia internasional akan meragukan pelaksanaan
program vaksinasi nasional di Indonesia, seperti vaksinasi polio, ataupun pada
pemberian vaksin yang rutin harus dilakukan pada individu sebagai prasyarat,
seperti pemberian vaksin meningitis untuk yang akan melakukan haji dan umrah.
Peran
eksekutor, dalam hal ini adalah dokter dan petugas medis lain (bidan/perawat),
sangat penting dan menjadi ujung tombak pemberian vaksin. Mereka sudah
semestinya dibekali pengetahuan yang cukup tentang vaksin dan menjadi pihak
pertama yang sadar dengan penggunaan vaksin palsu.
Pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Kesehatan bersama dengan BPOM, Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), telah melakukan langkah-langkah
yang patut kita apresiasi sehingga kekhawatiran yang berlebihan dari masyarakat
bisa dicegah.
Sebagai
pihak yang terkena dampak dari peredaran vaksin palsu, tentu masyarakat
berharap agar kasus ini akan cepat terselesaikan tuntas dan jelas.
Kepercayaan
publik sangat penting dan merupakan kunci utama suksesnya program vaksinasi
nasional.
oleh
Yordan Khaedir
disadur
dari Kompas, Jum’at 15 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar