Harga daging ternyata semakin hari
semakin mahal. Menariknya, harga daging sapi di Indonesia termahal di dunia.
Sebagai perbandingan, orang bekerja sehari di Melbourne Australia dibayar
50-100 dolar AUS, sedangkan harga daging di sana hanya 8 dolar AUS (Rp
80.000)/kg. Di Indonesia, orang dibayar Rp 50.000-Rp 100.000/hari namun tidak
mampu beli sekilo daging karena harganya Rp 125.000.
Beberapa minggu lalu, Presiden Joko
Widodo dalam pidato di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menegaskan, pemerintah
akan berusaha keras, entah bagaimana caranya, supaya harga daging turun hingga
Rp 80.000-an/kg. Tentunya komitmen ini disambut gembira masyarakat luas sebagai
konsumen.
Namun semangat ini banyak pula
mendapatkan resistensi dari para pihak dengan berbagai alasan. Para peternak
sapi mulai gelisah jika pemerintah melakukan impor daging luar negeri yang
harganya lebih murah. Karena tentu saja, nasib dagangan sapi lokal bakal makin
memburuk. Belum lagi para pedagang daging di pasar, mereka mengeluh karena
pasti akan mengalami situasi gejolak harga.
Secara teoritis, kebijakan
pemerintah ini memang bisa mengacaukan system persaingan usaha. Dimana
seharusnya harga naik atau turun ditentukan oleh ketersediaan barang dan jumlah
permintaan. Sehingga intervensi pemerintah ini akan menyenangkan konsumen.
Tetapi jika tidak hati-hati akan menimbulkan banyak kerugian di pihak para
pelaku usaha daging. Sebaliknya, kalau didiamkan saja harga daging bisa tidak
terkendali, konsumen yang merana. Bak memakan buah simalakama, dimakan bapak
mati, tidak dimakan anak mati.
Untuk itu perlu sebaiknya dilakukan
beberapa kajian dalam menentukan kebijakan penurunan harga daging tersebut.
Pertama, harus dicari penyebab utama kenaikan harga daging tersebut. Apakah
memang benar kebutuhan yang tinggi tersebut tidak seimbang dengan stok cadangan
sapi di Indonesia?
Secara keseluruhan, konsumsi daging
sapi di Indonesia untuk tahun 2016 diperlukan 738.025 ton atau setara dengan
4.341.323 ekor sapi hidup. Lokal diprediksikan mampu memasok sebanyak 469.235
ton daging atau setara dengan 2.760.000 ekor sapi (62%). Berarti memerlukan
pasokam dari impor sebanyak 268.790 ton atau setara dengan 1.581.117 ekor sapi
(38%) (Sumber: ASOHI). Kalau dikalikan dengan dengan harga Rp 125.000/kg, total
bisnis daging sapi mencapai Rp 92,3 triliun.
Dalam hal ini pemerintah melalui
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu menyelidiki apakah terjadi
persekongkolan atau kartel dalam menentukan harga daging. Sebab secara logika,
harga daging yang sumbernya dari luar negeri yang murah, kenapa tetap tinggi di
pasaran Indonesia? Ada pula kemungkinan tingginya harga daging karena
panjangnya birokrasi masuknya daging impor, sehingga rawan munculnya suap. Dan
ini kita semua tahu pernah terjadi kasus korupsi daging impor.
Kedua, jika memang mata rantai
perdagangan daging sudah diperiksa dan dianggap bersih dan jumlah kebutuhan
terpenuhi, maka untuk memaksa turunnya harga perlu dilakukan upaya subsidi bagi
para pelaku bisnis agar mereka tidak merugi karena kontraksi harga. Caranya,
pemerintah perlu membeli semua dari pelaku usaha dengan harga saat ini, untuk
kemudian menjual kepada masyarakat dengan hargamurah. Seperti ketika pemerintah
melakukan subsidi pada pembelian harga bahan bakar dari luar negeri. Namun untuk
kasus daging ini, pemerintah hanya perlu sekali saja melakukan subsidi, sebab
setelah harga turun, tidak ada alasan lagi bagi pedagang sapi maupun daging
menaikkan harga. Tentunya hal ini perlu diperhitungkan nilai subsidi tersebut
dan mekanismenya diawasi dengan ketat, agar tidak ada kebocoran lagi. Karena kita
semua tahu, di Indonesia selalu saja ada potensi penyalahgunaan uang negara
oleh Mukti Fajar
disadur dari Kedaulatan Rakyat,
Sabtu, 11 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar