Editors Picks

Selasa, 14 Juni 2016

Harga Daging



Harga daging ternyata semakin hari semakin mahal. Menariknya, harga daging sapi di Indonesia termahal di dunia. Sebagai perbandingan, orang bekerja sehari di Melbourne Australia dibayar 50-100 dolar AUS, sedangkan harga daging di sana hanya 8 dolar AUS (Rp 80.000)/kg. Di Indonesia, orang dibayar Rp 50.000-Rp 100.000/hari namun tidak mampu beli sekilo daging karena harganya Rp 125.000.


Beberapa minggu lalu, Presiden Joko Widodo dalam pidato di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menegaskan, pemerintah akan berusaha keras, entah bagaimana caranya, supaya harga daging turun hingga Rp 80.000-an/kg. Tentunya komitmen ini disambut gembira masyarakat luas sebagai konsumen.

Namun semangat ini banyak pula mendapatkan resistensi dari para pihak dengan berbagai alasan. Para peternak sapi mulai gelisah jika pemerintah melakukan impor daging luar negeri yang harganya lebih murah. Karena tentu saja, nasib dagangan sapi lokal bakal makin memburuk. Belum lagi para pedagang daging di pasar, mereka mengeluh karena pasti akan mengalami situasi gejolak harga.

Secara teoritis, kebijakan pemerintah ini memang bisa mengacaukan system persaingan usaha. Dimana seharusnya harga naik atau turun ditentukan oleh ketersediaan barang dan jumlah permintaan. Sehingga intervensi pemerintah ini akan menyenangkan konsumen. Tetapi jika tidak hati-hati akan menimbulkan banyak kerugian di pihak para pelaku usaha daging. Sebaliknya, kalau didiamkan saja harga daging bisa tidak terkendali, konsumen yang merana. Bak memakan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan anak mati.

Untuk itu perlu sebaiknya dilakukan beberapa kajian dalam menentukan kebijakan penurunan harga daging tersebut. Pertama, harus dicari penyebab utama kenaikan harga daging tersebut. Apakah memang benar kebutuhan yang tinggi tersebut tidak seimbang dengan stok cadangan sapi di Indonesia?

Secara keseluruhan, konsumsi daging sapi di Indonesia untuk tahun 2016 diperlukan 738.025 ton atau setara dengan 4.341.323 ekor sapi hidup. Lokal diprediksikan mampu memasok sebanyak 469.235 ton daging atau setara dengan 2.760.000 ekor sapi (62%). Berarti memerlukan pasokam dari impor sebanyak 268.790 ton atau setara dengan 1.581.117 ekor sapi (38%) (Sumber: ASOHI). Kalau dikalikan dengan dengan harga Rp 125.000/kg, total bisnis daging sapi mencapai Rp 92,3 triliun.

Dalam hal ini pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu menyelidiki apakah terjadi persekongkolan atau kartel dalam menentukan harga daging. Sebab secara logika, harga daging yang sumbernya dari luar negeri yang murah, kenapa tetap tinggi di pasaran Indonesia? Ada pula kemungkinan tingginya harga daging karena panjangnya birokrasi masuknya daging impor, sehingga rawan munculnya suap. Dan ini kita semua tahu pernah terjadi kasus korupsi daging impor.

Kedua, jika memang mata rantai perdagangan daging sudah diperiksa dan dianggap bersih dan jumlah kebutuhan terpenuhi, maka untuk memaksa turunnya harga perlu dilakukan upaya subsidi bagi para pelaku bisnis agar mereka tidak merugi karena kontraksi harga. Caranya, pemerintah perlu membeli semua dari pelaku usaha dengan harga saat ini, untuk kemudian menjual kepada masyarakat dengan hargamurah. Seperti ketika pemerintah melakukan subsidi pada pembelian harga bahan bakar dari luar negeri. Namun untuk kasus daging ini, pemerintah hanya perlu sekali saja melakukan subsidi, sebab setelah harga turun, tidak ada alasan lagi bagi pedagang sapi maupun daging menaikkan harga. Tentunya hal ini perlu diperhitungkan nilai subsidi tersebut dan mekanismenya diawasi dengan ketat, agar tidak ada kebocoran lagi. Karena kita semua tahu, di Indonesia selalu saja ada potensi penyalahgunaan uang negara

oleh Mukti Fajar
disadur dari Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 11 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar