Wacana
konsolidasi perusahaan-perusahaan pelat merah kembali menghangat, seiring
dengan rencana pemerintah untuk menggabungkan BUMN yang memiliki bisnis
sejenis.
Rencana
pembentukan holding didorong oleh
masih banyaknya BUMN yang berjalan sendiri-sendiri, kurang terkoordinasi dan
bahkan saling berkompetisi.
Bahkan
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menetapkan enam sektor
perusahaan yang akan dijadikan prioritas holding
di masa pemerintahan Presiden RI Joko Widodo. Enam sektor tersebut yaitu jalan
tol, pertambangan, minyak dan gas atau energi, perbankan, perumahan serta jasa
konstruksi dan rekayasa.
Dari
enam sektor tersebut ada beberapa sektor yang menjadi prioritas jangka pendek
seperti di antaranya sektor jalan tol, pertambangan dan sektor energi.
Holding BUMN ini memang dipandang perlu
karena jumlah perusahaan pelat merah saat ini sebanyak 118 perusahaan. Jumlah
ini dinilai kurang efisien dan menimbulkan biaya operasional cukup besar. Untuk
itu, pemerintah berencana merampingkan jumlah BUMN tersebut dengan sistem holding.
Salah
satu yang tengah dimatangkan pemerintah dalam rencana pembentukan holding ini adalah pembentukan
perusahaan induk di sektor energi atau holding
energi.
Rencananya,
Holding Energi ini akan membawahi
sejumlah perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang energi, yakni sektor
minyak dan gas.
Sempat
muncul gagasan beberapa perusahaan pertambangan seperti PT Bukit Asam Tbk juga
masuk holding ini. Saat ini tinggal
PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang akan menjadi
konstituen dalam Holding Energi
tersebut.
Pengelolaan
BUMN di sektor energi memang diperlukan, dengan salah satu pertimbangannya
adalah efisiensi.
Akan
tetapi, berbeda dengan sektor lainnya, energi bukan semata komoditas yang bisa
diperjualbelikan. Hal ini lantaran sektor tersebut punya aspek strategis dan
berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Demikian
juga efisiensi dalam pengelolaan BUMN memang diperlukan melalui pembentukan holding energi ini. Akan tetapi,
pengelolaan tersebut harus tetap memperhatikan aspek konstitusi, sehingga
penguasaan negara terhadap sektor strategis ini tetap terjaga.
Karena
itu, pembentukan holding energi
setidaknya harus memperhatikan empat aspek, yakni strategi pengelolaan energi
nasional, konstitusi dan regulasi, korporasi, serta tata kelola yang baik atau corporate governance.
Strategi Pengelolaan Energi Nasional
Dalam
kaitannya dengan strategi pengelolaan energi nasional, saat ini pemerintah
telah menetapkan bauran energi yang betujuan agar Indonesia tak hanya bertumpu
pada satu jenis energi.
Dengan
cara ini, ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi akan turun. Sebagai
gantinya, pemanfaatan energi jenis lainnya akan meningkat. Ini karena
ketergantungan terhadap satu jenis energi akan membuat Indonesia rentan
mengalami krisis energi.
Mengacu
pada PP Nomor 79/2014, porsi penggunaan minyak bumi akan turun dari saat ini
sekitar 50 persen hanya menjadi hanya di kisaran 25 persen di tahun 2025.
Selanjutnya di tahun 2030 penggunaan energi ini terus turun menjadi 22 persen
dan pada 2050 hanya 20 persen.
Sementara
itu pemanfaatan gas akan terus mengalami kenaikan menjadi 22 persen pada 2025
dan menjadi 25 persen pada 2050. Saat ini, porsi pemanfaatan gas di Indonesia
masih di bawah 20 persen dari seluruh energi yang digunakan.
Lantas,
bagaimana pengaruhnya terhadap strategi bauran energi jika holding energi dijalankan dengan Pertamina sebagai induk?
Target
bauran energi bisa tercapai jika tidak ada "konflik kepentingan"
dalam pengelolaan energi. Hal ini lantaran sifat dari masing-masing jenis
energi substitutable
atau bisa saling menggantikan.
Ketika
pengelolaan gas berada di bawah perusahaan yang juga mengelola minyak, hal itu
akan berpotensi memunculkan pengelolaan gas yang tidak proporsional. Sehingga,
sedikit banyak akan berpengaruh terhadap pencapaian target bauran energi yang
digagas pemerintah.
Sebagaimana
diketahui, saat ini PGN menguasai infrastruktur gas bumi di Indonesia, yakni 76
persen dari seluruh infrastruktur hilir gas nasional.
Tak
hanya itu, BUMN ini juga telah menyalurkan gas bumi ke lebih dari 116.400 rumah
tangga, 1.879 usaha komersial mal, hotel, rumah sakit, 1.576 industri besar dan
pembangkit listrik.
Ke
depan, pemerintah menargetkan akan terus meningkatkan jumlah konsumen gas agar
target energy mix
tercapai. Namun saat perusahaan gas berada di bawah naungan perusahaan minyak,
hal ini tentu akan ada kendala tersendiri untuk mencapai target tersebut,
karena terjadi konflik kepentingan.
Berkaca
pada beberapa negara lain, perusahaan gas dan minyak tetap berdiri
sendiri-sendiri dengan misi menyalurkan gas bumi ke konsumen, yang harganya
jauh lebih murah dari minyak.
Seperti
di Iran. Pemerintah negara ini paham, meski kaya minyak, pemerintah Iran tetap
berambisi untuk menyalurkan gas alam ke rumah tangga dengan pertimbangan lebih
murah dan ramah lingkungan.
Terkait
dengan hal ini, Pemerintah Iran tidak mengutak-atik perusahaan gas di negara
itu, National Iranian Gas Company (NIGC) dengan menggabungkannya ke dalam
perusahaan minyak milik pemerintah Iran, NIOC.
Justru
sebaliknya, NIGC diberi tambahan wewenang untuk mengelola perusahaan eksportir
gas yakni National Iranian Gas Exports Company (NIGEC) yang sebelumnya berada
di bawah pengelolaan NIOC.
Langkah
ini dilakukan agar proyek perluasan penyaluran gas ke rumah tangga di Iran bisa
benar-benar lebih didorong.
Karena
itu, pembentukan holding energi harus
mempertimbangkan aspek strategi pengelolaan energi nasional dan tak semata
persoalan penggabungan dua perusahaan.
Bagaimanapun,
pembentukan holding energi dengan
menggabungkan PGN dan Pertamina akan memunculkan potensi hambatan terhadap
target pencapaian energy mix
yang digagas pemerintah.
Konstitusi dan Regulasi
Pertimbangan
lain yang juga harus diperhatikan adalah aspek konstitusi. Energi (minyak, gas
dan sebagainya) sebagai sumberdaya strategis harus dikuasai oleh pemerintah.
Karena
itu, pemerintah bisa melakukan monopoli terhadap sumberdaya strategis tersebut.
Salah satunya melalui BUMN.
Hal
ini yang mendasari bahwa BUMN yang bergerak di bidang minyak dan gas diperlukan
agar akses negara terhadap sumberdaya strategis ini tetap ada.
Namun
lain ceritanya jika holding energi
yang dibentuk tersebut memosisikan salah satu perusahaan menjadi anak usaha
yang lain. Akses negara terhadap sumberdaya strategis tersebut tidak ada,
karena perusahaan yang diakuisisi bukan lagi menjadi BUMN, melainkan anak usaha
BUMN.
Demikian
juga ketika PGN jadi diakuisisi oleh Pertamina, maka perusahaan penyalur gas
ini tak lagi berstatus sebagai BUMN, melainkan anak usaha BUMN. Akibatnya,
pemerintah akan kehilangan
Memang,
dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang saham masih bisa mengontrol
perusahaan
melalui induk usaha. Akan tetapi, kontrol secara langsung ke sumberdaya
strategis menjadi hilang karena posisinya tidak lagi sebagai BUMN.
Karena
itu, perlu kajian yang matang agar pembentukan holding energi ini agar sejalan dengan strategi pengelolaan
sumberdaya yang strategis.
disadur dari Kompas, Selasa, 31 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar