Editors Picks

Kamis, 23 Juni 2016

Holding Energi Tak Sekedar Menggabungkan 2 BUMN!



Wacana konsolidasi perusahaan-perusahaan pelat merah kembali menghangat, seiring dengan rencana pemerintah untuk menggabungkan BUMN yang memiliki bisnis sejenis.

Rencana pembentukan holding didorong oleh masih banyaknya BUMN yang berjalan sendiri-sendiri, kurang terkoordinasi dan bahkan saling berkompetisi. 

Bahkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menetapkan enam sektor perusahaan yang akan dijadikan prioritas holding‎ di masa pemerintahan Presiden RI Joko Widodo. Enam sektor tersebut yaitu jalan tol, pertambangan, minyak dan gas atau energi, perbankan, perumahan serta jasa konstruksi ‎dan rekayasa.

Dari enam sektor tersebut ada beberapa sektor yang menjadi prioritas jangka‎ pendek seperti di antaranya sektor jalan tol, pertambangan dan sektor energi.

Holding BUMN ini memang dipandang perlu karena jumlah perusahaan pelat merah saat ini sebanyak 118 perusahaan. Jumlah ini dinilai kurang efisien dan menimbulkan biaya operasional cukup besar. Untuk itu, pemerintah berencana merampingkan jumlah BUMN tersebut dengan sistem holding.

Salah satu yang tengah dimatangkan pemerintah dalam rencana pembentukan holding ini adalah pembentukan perusahaan induk di sektor energi atau holding energi.

Rencananya, Holding Energi ini akan membawahi sejumlah perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang energi, yakni sektor minyak dan gas.

Sempat muncul gagasan beberapa perusahaan pertambangan seperti PT Bukit Asam Tbk juga masuk holding ini. Saat ini tinggal PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang akan menjadi konstituen dalam Holding Energi tersebut.

Pengelolaan BUMN di sektor energi memang diperlukan, dengan salah satu pertimbangannya adalah efisiensi.

Akan tetapi, berbeda dengan sektor lainnya, energi bukan semata komoditas yang bisa diperjualbelikan. Hal ini lantaran sektor tersebut punya aspek strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Demikian juga efisiensi dalam pengelolaan BUMN memang diperlukan melalui pembentukan holding energi ini. Akan tetapi, pengelolaan tersebut harus tetap memperhatikan aspek konstitusi, sehingga penguasaan negara terhadap sektor strategis ini tetap terjaga.

Karena itu, pembentukan holding energi setidaknya harus memperhatikan empat aspek, yakni strategi pengelolaan energi nasional, konstitusi dan regulasi, korporasi, serta tata kelola yang baik atau corporate governance.

Strategi Pengelolaan Energi Nasional
Dalam kaitannya dengan strategi pengelolaan energi nasional, saat ini pemerintah telah menetapkan bauran energi yang betujuan agar Indonesia tak hanya bertumpu pada satu jenis energi.

Dengan cara ini, ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi akan turun. Sebagai gantinya, pemanfaatan energi jenis lainnya akan meningkat. Ini karena ketergantungan terhadap satu jenis energi akan membuat Indonesia rentan mengalami krisis energi. 

Mengacu pada PP Nomor 79/2014, porsi penggunaan minyak bumi akan turun dari saat ini sekitar 50 persen hanya menjadi hanya di kisaran 25 persen di tahun 2025. Selanjutnya di tahun 2030 penggunaan energi ini terus turun menjadi 22 persen dan pada 2050 hanya 20 persen.

Sementara itu pemanfaatan gas akan terus mengalami kenaikan menjadi 22 persen pada 2025 dan menjadi 25 persen pada 2050. Saat ini, porsi pemanfaatan gas di Indonesia masih di bawah 20 persen dari seluruh energi yang digunakan.

Lantas, bagaimana pengaruhnya terhadap strategi bauran energi jika holding energi dijalankan dengan Pertamina sebagai induk?

Target bauran energi bisa tercapai jika tidak ada "konflik kepentingan" dalam pengelolaan energi. Hal ini lantaran sifat dari masing-masing jenis energi substitutable atau bisa saling menggantikan.

Ketika pengelolaan gas berada di bawah perusahaan yang juga mengelola minyak, hal itu akan berpotensi memunculkan pengelolaan gas yang tidak proporsional. Sehingga, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap pencapaian target bauran energi yang digagas pemerintah.

Sebagaimana diketahui, saat ini PGN menguasai infrastruktur gas bumi di Indonesia, yakni 76 persen dari seluruh infrastruktur hilir gas nasional.

Tak hanya itu, BUMN ini juga telah menyalurkan gas bumi ke lebih dari 116.400 rumah tangga, 1.879 usaha komersial mal, hotel, rumah sakit, 1.576 industri besar dan pembangkit listrik.

Ke depan, pemerintah menargetkan akan terus meningkatkan jumlah konsumen gas agar target energy mix tercapai. Namun saat perusahaan gas berada di bawah naungan perusahaan minyak, hal ini tentu akan ada kendala tersendiri untuk mencapai target tersebut, karena terjadi konflik kepentingan.

Berkaca pada beberapa negara lain, perusahaan gas dan minyak tetap berdiri sendiri-sendiri dengan misi menyalurkan gas bumi ke konsumen, yang harganya jauh lebih murah dari minyak.

Seperti di Iran. Pemerintah negara ini paham, meski kaya minyak, pemerintah Iran tetap berambisi untuk menyalurkan gas alam ke rumah tangga dengan pertimbangan lebih murah dan ramah lingkungan.

Terkait dengan hal ini, Pemerintah Iran tidak mengutak-atik perusahaan gas di negara itu, National Iranian Gas Company (NIGC) dengan menggabungkannya ke dalam perusahaan minyak milik pemerintah Iran, NIOC.

Justru sebaliknya, NIGC diberi tambahan wewenang untuk mengelola perusahaan eksportir gas yakni National Iranian Gas Exports Company (NIGEC) yang sebelumnya berada di bawah pengelolaan NIOC.

Langkah ini dilakukan agar proyek perluasan penyaluran gas ke rumah tangga di Iran bisa benar-benar lebih didorong.

Karena itu, pembentukan holding energi harus mempertimbangkan aspek strategi pengelolaan energi nasional dan tak semata persoalan penggabungan dua perusahaan.

Bagaimanapun, pembentukan holding energi dengan menggabungkan PGN dan Pertamina akan memunculkan potensi hambatan terhadap target pencapaian energy mix yang digagas pemerintah.

Konstitusi dan Regulasi
Pertimbangan lain yang juga harus diperhatikan adalah aspek konstitusi. Energi (minyak, gas dan sebagainya) sebagai sumberdaya strategis harus dikuasai oleh pemerintah.

Karena itu, pemerintah bisa melakukan monopoli terhadap sumberdaya strategis tersebut. Salah satunya melalui BUMN.

Hal ini yang mendasari bahwa BUMN yang bergerak di bidang minyak dan gas diperlukan agar akses negara terhadap sumberdaya strategis ini tetap ada.

Namun lain ceritanya jika holding energi yang dibentuk tersebut memosisikan salah satu perusahaan menjadi anak usaha yang lain. Akses negara terhadap sumberdaya strategis tersebut tidak ada, karena perusahaan yang diakuisisi bukan lagi menjadi BUMN, melainkan anak usaha BUMN.

Demikian juga ketika PGN jadi diakuisisi oleh Pertamina, maka perusahaan penyalur gas ini tak lagi berstatus sebagai BUMN, melainkan anak usaha BUMN. Akibatnya, pemerintah akan kehilangan

Memang, dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang saham masih bisa mengontrol
perusahaan melalui induk usaha. Akan tetapi, kontrol secara langsung ke sumberdaya strategis menjadi hilang karena posisinya tidak lagi sebagai BUMN.

Karena itu, perlu kajian yang matang agar pembentukan holding energi ini agar sejalan dengan strategi pengelolaan sumberdaya yang strategis.

disadur dari Kompas, Selasa, 31 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar