Pemerintah
menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% tahun ini. Tidak ada yang salah
dengan target tersebut, itu hanya soal pilihan. Namun setiap pilihan selalu ada
konsekuensinya.
Konsekuensi
yang harus dihadapi oleh pemerintah dengan pilihannya itu adalah harus
ada upaya ekstra agar target tercapai. Hanya saja, dengan skenario sejumlah
kebijakan fiskal yang ada saat ini, akan berat untuk mencapainya.
Seperti
lambatnya ekonomi global dan harga komoditas yang masih rendah membuat dunia
usaha enggan melakukan ekspansi. Sementara pembangunan infrastruktur dan
penyaluran dana desa perlu waktu agar bisa memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan.
Kemudian
pemerintah memberikan respons lain, yakni dengan memangkas suku bunga kredit
menjadi single digit. Namun hal itu juga tidak bisa memberikan hasil berarti.
Percuma
saja bunga rendah kalau permintaannya tidak ada. Sehingga bisa saya simpulkan
masalah yang dihadapi saat ini adalah tidak ada permintaan dan rendahnya
konsumsi.
Jika
ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, permintaan harus didorong. Pemerintah
harus bisa merangsang konsumsi masyarakat. Konsumsi bisa meningkat dengan dua
hal.
Pertama,
daya beli
ditingkatkan atau harga dibuat murah. Sebetulnya saat ini laju inflasi relatif
lebih rendah dari tahun lalu. Alhasil, pemerintah bisa mencoba mendorong
konsumsi masyarakat dengan menambah penyaluran bantuan dalam bentuk cash
transfer. Hanya ini cara yang bisa diambil pemerintah dalam jangka pendek.
Sebetulnya,
bagi saya pertumbuhan ekonomi 5% atau 4,9% untuk kondisi sulit seperti saat ini
tidak menjadi masalah. Karena kita bicara dalam konteks kondisi global yang
tidak memungkinkan tumbuh tinggi.
Jadi
pemerintah tak perlu memaksakan diri dengan mengejar pertumbuhan ekonomi 5,3%
yang ujungnya menambah beban fiskal. Tetapi kembali lagi, ini soal pilihan dan
konsekuensi.
oleh Muhamad Chatib
Basri
disadur
dari Kontan, Kamis, 2 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar