Sekitar minggu keempat Mei lalu,
gaung Indonesia akan mendapatkan predikat layak investasi (investment grade) dari lembaga pemeringkat internasional Standard
and Poor's begitu kuat dan menggema.
Pemerintah sangat optimistis, tahun
ini saatnya Indonesia mendapatkan peringkat layak investasi dari S&P,
mengikuti tiga lembaga pemeringkat internasional yang lain, yaitu Moody's,
Fitch, dan lembaga pemeringkat dari Jepang, R&I.
Tak ayal lagi, aura optimistis ini
menjalar positif di kalangan investor domestik dan asing, pengusaha dan
masyarakat. Pasar finansial begitu antusias dan bergairah menunggu pengumuman
dari Standard and Poor's (S&P) yang sempat berembus di akhir Mei. Hanya
sedikit yang menebak Indonesia tidak akan mendapatkan predikat layak investasi dari
S&P dengan alasan prematur yang sulit diterima.
Di luar dugaan, pada 1 Juni 2016,
ternyata Indonesia gagal mendapatkan predikat layak investasi dari S&P.
Peringkat utang jangka panjang Indonesia hanya dipertahankan di BB+, dengan
prospek (outlook) positif, sama
seperti tahun lalu (Mei 2015).
Sengatan tajam dari S&P wajar
menimbulkan banyak pertanyaan rasional dan emosional dari pelaku ekonomi
Indonesia dan investor asing. Mengapa S&P masih enggan dan berani sendirian
berseberangan dengan lembaga pemeringkat internasional (Moody's, Fitch, dan
R&I) yang kredibilitasnya tidak perlu diragukan. Sungguh ironis, sekitar
lima tahun lalu, Indonesia sudah mendapatkan predikat layak investasi dari
Moody's, Fitch, dan R&I, tetapi tidak dari S&P. Memang aneh.
Untuk itu, ada baiknya, kita ambil
hikmahnya saja, fokus berbenah ke dalam diri sendiri, tidak perlu
mengambinghitamkan orang lain. Kita terima saja dengan kepala dingin apa yang
menjadi catatan dari S&P untuk menggapai status layak investasi suatu saat.
Tidak memperoleh investment grade dari S&P, pada kenyataannya pasar
finansial tidak bereaksi negatif. Rupiah malahan menguat menjadi Rp 13.593 per
dollar AS pada 3 Juni dari Rp 13.661 per dollar AS pada 1 Juni. Indeks harga
saham naik ke 4.840 pada 3 Juni dari 4.844 pada 1 Juni. Sementara imbal hasil
dari obligasi RI bertenor 10 tahun relatif stabil, hanya sedikit koreksi dari
7,85 persen pada 1 Juni menjadi 7,87 persen pada 3 Juni. Namun, Indonesia
menjadi kehilangan potensi cakupan investor yang lebih luas dan kemungkinan
naiknya harga aset finansial Indonesia.
Tak
dalam waktu dekat
Oleh karena itu, menarik untuk
disimak apa yang menjadi catatan S&P dalam penilaiannya. Indonesia mungkin
akan mendapatkan status investment grade,
dalam tahun ini atau 12 bulan ke depan, jika pemerintah dapat memperbaiki
kualitas belanja negara, menunjukkan tren penurunan defisit fiskal dan utang
pemerintah, serta mereformasi subsidi BBM secara total dengan penyesuaian harga
yang lebih fleksibel.
Berdasarkan catatan itu, tampaknya Indonesia akan sulit untuk mendapatkan peringkat layak investasi dari S&P dalam waktu dekat. Apalagi, selama ini apa yang dilakukan oleh S&P, variabel yang jadi fokus pengamatannya cenderung berubah-rubah setiap tahun. Ditambah, dengan tuntutan perubahan yang drastis dalam waktu yang singkat sehingga menjadi tantangan tersendiri.
Tahun 2014, S&P kemungkinan
menaikkan peringkat jika pemerintah melakukan reformasi subsidi BBM untuk
mengurangi kerentanan fiskal negara. Kemudian, tahun berikutnya, 2015,
pemerintah disarankan untuk memperbaiki kualitas belanja negara, antara lain
harga BBM yang fleksibel mengikuti pergerakan pasar dan alokasi investasi
pemerintah yang tepat sasaran. Ternyata tahun ini, fokusnya bergeser lagi ke
hal yang lain.
Memang, harus diakui bahwa
pembenahan yang harus dilakukan Indonesia begitu banyak. Ketika satu hal sudah
dibenahi, maka ada pekerjaan rumah yang lain sudah menunggu untuk jadi
perhatian khusus. Dalam setahun pemerintahan Jokowi-JK, sebenarnya banyak
kemajuan yang diperlihatkan oleh pemerintahan yang baru. Sebagai contoh, yang
tidak terlupakan dalam ingatan kita ketika pemerintahan Jokowi-JK menghapus
subsidi bensin dan hanya menyubsidi solar sebesar Rp 1.000 per liter pada 1
Januari 2015.
Suatu momen bersejarah, pemerintah
berhasil terbebas dari sandera subsidi BBM yang selalu menjadi ganjalan berat
APBN berpuluh-puluh tahun yang lalu. Akibatnya, tahun 2015, subsidi energi
turun drastis 61 persen dari Rp 350 triliun menjadi Rp 138 triliun. Sementara
pengeluaran untuk infrastruktur meningkat signifikan menjadi Rp 312 triliun
dari Rp 290 triliun pada tahun 2014.
Saya kira ini pencapaian yang perlu
diapresiasi dan kualitas pengeluaran yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Sayangnya, ini tidak cukup meyakinkan S&P bahwa Indonesia layak mendapatkan
peringkat layak investasi.
Ketika kita lagi giat-giatnya
membangun infrastruktur, muncul persoalan baru, yaitu bagaimana pembiayaannya.
Pendanaan
infrastruktur
Target pembangunan infrastruktur
senilai Rp 5.500 triliun dalam lima tahun adalah proyek yang sangat ambisius.
Pemerintah dalam setahun mungkin hanya bisa mengalokasikan dana sekitar Rp 250
triliun-Rp 350 triliun sehingga ada kesenjangan yang begitu besar untuk menutupi
kekurangannya. Inilah yang menjadi perhatian khusus dari S&P terkait dengan
pembiayaan yang berujung pada defisit fiskal dan utang pemerintah.
Kebutuhan pendanaan infrastruktur
tersebut memaksa pemerintah menaikkan target penerimaan pajak secara signifikan.
Akibatnya, target pajak menjadi sangat tidak realistis, cenderung
kontraproduktif, dan seolah menjadi sangat represif terhadap pelaku ekonomi.
Bukan tidak mungkin, jika hal ini berlangsung terus, pertumbuhan ekonomi yang
kurang memuaskan di kuartal I-2016, bisa makin terpukul di kuartal-kuartal
berikutnya.
Ambisi yang besar dari pemerintah
juga tercermin dari begitu banyaknya paket kebijakan yang sudah dikeluarkan (8
paket tahun 2015 dan 4 paket tahun 2016). Namun, sayangnya paket-paket ini
hanya memberikan sentimen positif di awal dan belum terlihat dampak lanjutan,
serta implementasinya.
Seolah-olah paket kebijakan ini
hanya retorika dan belum terlihat dengan jelas valuasi moneternya. Masyarakat,
investor, dan pelaku usaha tampaknya sudah mulai agak tidak sabar menunggu
dampak positifnya ke perekonomian, khususnya paket kebijakan yang sifatnya
jangka pendek.
Oleh karena itu, revisi APBN 2016
harus segera dilakukan agar postur APBN 2016 lebih rasional untuk mendukung
dinamika perekonomian yang berkembang saat ini. Target memang harus optimistis,
tetapi jangan tinggalkan kata "realistis" agar pemerintah tidak
melakukan guncangan-guncangan kebijakan yang bisa jadi kontra produktif.
Kegagalan mendapatkan predikat layak
investasi dari S&P bukanlah akhir segalanya, tetapi membuat kita makin
melek untuk terus berbenah dan tidak cepat puas sambil meletakkan dasar
perekonomian yang kokoh dan berkesinambungan.
oleh Anton Hendranata
disadur dari Kompas, Senin, 13 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar