Salah
satu masalah dan tantangan terkait pertumbuhan perkotaan di Indonesia adalah
menurunnya jumlah investasi infrastruktur yang dihabiskan untuk membangun kota.
Total
investasi infrastruktur di Indonesia terus menurun tiap tahunnya, dari
rata-rata 7 persen pada pertengahan 1990-an menjadi 3 atau 4 persen dari produk
domestik bruto (PDB) dalam beberapa tahun ini.
Angka
tersebut lebih rendah dibanding Vietnam dan Thailand yang menghabiskan
investasi infrastruktur perkotaannya lebih dari 7 persen dari PDB.
China
bahkan lebih tinggi lagi, yakni dengan rata-rata 10 persen dari PDB selama
lebih dari satu dekade lalu.
Bank
Dunia menyebutkan bahwa belanja infrastruktur dari sektor swasta dan pemerintah
perlu ditingkatkan untuk mencapai setara enam persen PDB guna mendukung
pertumbuhan ekonomi dan produktivitas serta perkembangan regional.
Sebaliknya
dengan rasio investasi transaksi infrastruktur Indonesia yang meningkat
pesat
dalam investasi oleh pemerintah daerah.
Pemerintah
daerah kini menjadi sumber terbesar belanja infrastruktur di Indonesia. Hingga
saat ini, nilai total belanja modal provinsi, distrik, dan kota-kota mendekati
1,5 sampai 2 persen dari PDB.
Pengeluaran
pemerintah tersebut bersama dengan agensi mereka merepresentasikan setengah
dari total nilai belanja modal keseluruhan di Indonesia.
Belanja
modal pemerintah daerah sendiri sangat terbatas dan belanja per kapitanya
cenderung terus menurun karena beberapa daerah mulai berubah menjadi perkotaan.
Transfer
antarpemerintah mendanai sebagian besar belanja pemerintah daerah tersebut.
Selama 2015 silam, dua pertiga dari total pendapatan pemerintah daerah berasal
dari transfer-transfer itu dan pendapatan yang berasal dari sumber lokal
menyumbang sekitar 24 persen-nya.
Transfer
dana ke pemerintah daerah bahkan jumlahnya terus bertambah semenjak
desentralisasi dimulai pada 2001.
Meskipun
Indonesia membuat beberapa kemajuan di kebanyakan area pelayanan publik tetapi
banyak provinsi dan distrik yang justru hanya mengalami sedikit peningkatan
atau bahkan justru kerusakan.
Sebagai
contoh, kondisi jalan terus memburuk sejak 2001 dengan 40 persen jalan daerah
kini ada dalam kondisi rusak. Padahal pada awal-awal tahun desentralisasi
jumlahnya masih 35 persen.
Akses
ke pelayanan air bersih juga menurun sejak desentralisasi dan hanya 48 persen
rumah tangga kini yang memiliki akses air bersih. Angka itu lebih sedikit bila
dibandingkan ketika satu dekade lalu yang mencapai 50 persen.
disadur
dari Kompas, Rabu, 15 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar