Ada
kekhawatiran organisasi regional ASEAN menjelang usianya yang ke-50 menjadi
organisasi yang hidup segan mati tak mau diacak-acak Tiongkok terkait klaim
tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Juga menjelang
keputusan kajian pengadilan arbitrase internasional (PCA) tentang beberapa
status dan fitur di kawasan tersebut.
Sepanjang
sejarah ASEAN, belum pernah organisasi politik dan keamanan regional yang
mempertahankan dan mengembangkan stabilitas dan Perdamaian berada pada titik
nadir akibat ulah negara besar. Untuk kesekian kalinya, sejak Menteri Luar
Negeri RRT dijabat Yang Jiechi, ASEAN dibuat tidak mampu mengeluarkan pandangan
atau pernyataan bersama terkait persoalan yang terus berkembang di LTS.
Terakhir
terjadi dalam pertemuan ASEAN-Tiongkok di Kunming, Provinsi Yunnan, pekan lalu
(Kompas, 20/6). Insiden yang menyebabkan terjadinya diplomatic fiasco di lingkungan ASEAN akibat upaya balkanisasi RRC,
menyebabkan setiap negara anggota mengeluarkan pandangannya sendiri-sendiri
tentang LTS, khususnya terkait dengan posisi ASEAN pasca keputusan PCA.
Menlu
Kamboja Prak Sokkonn, misalnya, dalam surat ke Menlu Singapura Vivian
Balakrishnan yang menjadi negara koordinator dialog ASEAN-RRT meminta penundaan
pernyataan pers bersama para menlu ASEAN. Bahkan, Perdana Menteri Kamboja Hun
Sen lebih lantang mengatakan, keputusan arbitrase bukan soal hukum, tetapi
politik yang dijalankan beberapa negara dan PCA. Hal senada disampaikan Laos
dan Brunei. Menlu Laos Saleumxay Kommasith dalam suratnya kepada Balakrishnan
mendukung hal seperti yang diusulkan Sokkonn, untuk menghindari konfrontasi
dengan RRT. Adapun Brunei meminta penundaan pernyataan pers bersama ASEAN juga
dilakukan dan harus berdasarkan konsensus.
Indonesia
sebagai negara terbesar di kawasan pun terpengaruh dan belum menentukan sikap,
terutama setelah beberapa insiden kapal nelayan RRT yang tertangkap di wilayah
zona ekonomi eksklusif (ZEE) di sekitar perairan Natuna. Insiden melibatkan
kapal Guibei Yu 10078 pada bulan Maret, Guibei Yu 27088, dan Qiandanzhou 19038
pada bulan ini.
Apa
yang harus dilakukan menghadapi ancaman kohesi ASEAN supaya organisasi ini
tidak menjadi zombie yang mati tak mau hidup pun enggan. Dan, salah satu faktor
utamanya adalah mekanisme konsensus yang selama ini menjadi acuan penting ASEAN
dalam menentukan berbagai sepak terjangnya.
Kolom
ini berpendapat, sudah waktunya mekanisme konsensus diperbarui mengikuti
dinamika regionalisme dan globalisasi menghadapi persoalan politik, hukum,
keamanan di kawasan pada abad ke-21 yang semakin luas dan rumit. Indonesia bisa
melakukan inisiasi untuk mulai berbicara dengan anggota ASEAN lainnya,
mengusulkan mekanisme konsensus ASEAN minus 1 dalam menghadapi kebekuan dan
kebuntuan sistem konsensus yang diciptakan pada dekade 70-an.
Dalam
ASEAN minus 1, harus disepakati jumlahnya tidak boleh lebih dari dua anggota
yang tidak setuju. Kalau lebih, maka mekanisme konsensus tetap berfungsi
seperti semula. Selain itu, mekanisme ASEAN minus 1 atau 2 ini juga tidak boleh
menunjuk negara anggota mana yang tidak setuju, demi "menyelamatkan
muka" anggota yang tidak setuju tersebut.
Diharapkan,
mekanisme ASEAN minus 1 mencegah terjadinya diplomatic
fiasco yang berturut-turut menyebabkan ASEAN babak belur dipecah belah
Tiongkok. Selain itu, sesuai berjalannya waktu, ASEAN bisa
"membimbing" negara-negara besar di dalam dan luar kawasan untuk
memahami dan menghormati norma serta nilai hukum internasional yang menjadi
kunci penting organisasi regional ini. Laut Tiongkok Selatan hanyalah salah
satu tantangan yang dihadapi ASEAN. Masih banyak persoalan lain yang
membutuhkan kerja sama erat.
oleh René L Pattiradjawane
disadur dari Kompas, Rabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar