“Tidak
tepat rasanya jika saya tetap mencoba untuk menjadi nakhoda yang akan membawa
negeri ini ke tujuan berikutnya." Dengan kalimat dramatis itu, Perdana Menteri
Inggris David Cameron menyatakan pengunduran dirinya. Dan Jumat, 24 Juni 2016,
dicatat sebagai hari kelabu dalam sejarah integrasi Eropa. Hari itu, referendum
rakyat Inggris memutuskan bahwa Inggris keluar dari Uni Eropa.
Fenomena
ini dikenal dengan istilah Brexit.
Seketika ketidakpastian terjadi, dunia seperti kehilangan arah, dan jam
berikutnya kita melihat pasar uang bergejolak, poundsterling ambruk. Direktur
Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati mengirim pesan pendek kepada saya: "UK
memutuskan untuk keluar dari EU. Ini mengejutkan. Ini akan mengubah tatanan
politik dan ekonomi dunia".
Saya
kira Sri Mulyani benar.
Dampak
perdagangan
Bagaimana
dampak Brexit terhadap Indonesia?
Jujur, terlalu pagi untuk membuat sebuah kesimpulan akhir atas sebuah isu yang
masih cair dan terus bergerak. Terlalu pagi untuk menyimpulkan. Meski demikian,
mungkin ada beberapa indikasi awal yang bisa dicatat dan dijadikan rujukan.
Pertama,
dampak perdagangan (trade channel). Dapat
diduga, Brexit akan mengurangi akses perdagangan
Inggris ke Uni Eropa. Ini tidak berarti bahwa Inggris akan berhenti berdagang
dengan Uni Eropa. Namun, dengan Inggris yang berada di luar Uni Eropa, tentu
intensitas perdagangan Inggris dan Uni Eropa menurun. Penurunan intensitas perdagangan
ini akan membuat pertumbuhan ekonomi Inggris melemah.
Peraih
Nobel Ekonomi Paul Krugman memperkirakan bahwa Brexit akan menurunkan pendapatan riil Inggris sebesar 2 persen.
Perlambatan ekonomi Inggris akan menurunkan permintaannya terhadap produk
ekspor dari negara lain, termasuk Indonesia. Seberapa besar dampaknya? Saya
kira, terbatas. Mengapa? Karena pangsa dari ekspor negara-negara Asia, termasuk
Indonesia, ke Inggris relatif kecil. Ekspor Indonesia ke Inggris kurang dari 2
persen.
Yang
lebih perlu diperhatikan bukanlah dampak perdagangan dari Inggris terhadap
Indonesia, melainkan justru dari Uni Eropa. Suka atau tidak suka, Inggris
adalah salah satu mitra dagang Uni Eropa yang amat penting. Karena itu, Brexit akan membuat pertumbuhan ekonomi
Uni Eropa melambat walaupun mungkin tak sedrastis penurunan pertumbuhan ekonomi
Inggris. Implikasinya: ekspor ke Uni Eropa juga melambat, termasuk ekspor dari
negara Asia seperti Indonesia. Seberapa besar dampaknya?
Saya
kira kita harus melihat lebih cermat. Pangsa pasar ekspor negara Asia ke Uni
Eropa relatif besar. Tengok saja data berikut: Tiongkok (16 persen), India (12
persen), Indonesia (8 persen). Selain itu, perlambatan ekspor Tiongkok akan
membawa dampak tak langsung lagi bagi Indonesia. Karena itu, analisis yang
lebih dalam perlu dibuat untuk melihat dampak perlambatan Uni Eropa terhadap
Asia dan Indonesia. Kita juga perlu memperhitungkan dampak tak langsung dari
perlambatan ekspor Tiongkok ke Uni Eropa.
Perlambatan
ekspor Tiongkok akan membuat ekspor Indonesia ke Tiongkok juga melambat. Dampak
Uni Eropa inilah yang harus diperhatikan dengan lebih dalam. Walaupun saya
menduga dampaknya juga akan terbatas, mengingat perlambatan ekonomi Uni Eropa
mungkin tidak akan sedrastis penurunan pertumbuhan ekonomi Inggris.
Dampak
harga komoditas
Kedua,
dampak terhadap harga energi dan komoditas. Perlambatan ekonomi Inggris, Uni
Eropa, Tiongkok, dan India akan membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat.
Implikasinya, permintaan terhadap energi dan komoditas akan tetap lemah. Dan
kita tahu, karena sekitar 60 persen dari ekspor kita terkait dengan energi dan
komoditas, maka akan ada tekanan pada ekspor kita. Selain itu, kita juga
mencatat bahwa pembayar pajak kita banyak berasal dari perusahaan yang terkait
dengan sumber daya alam.
Dalam
kondisi seperti ini, ditambah perlambatan ekonomi yang kita alami, penerimaan
pajak pemerintah juga bisa tertekan. Seberapa besar dampaknya? Tentu akan
tergantung seberapa jauh harga energi dan komoditas mengalami penurunan.
Implikasinya, kemampuan untuk memberikan stimulus fiskal menjadi terbatas.
Dampak
keuangan
Ketiga,
dampak keuangan (financial channel). Dampak yang lebih besar saya kira
akan muncul melalui pasar keuangan. Brexit
akan mendorong investor untuk mencari investasi yang lebih aman (flight to
quality). Opsinya adalah Amerika Serikat (AS) dan Jepang atau emas. Kita
bisa melihat bagaimana dollar AS, yen Jepang, atau harga emas melonjak.
Penguatan dollar AS ini membuat nilai tukar mata uang sejumlah negara, termasuk
rupiah, melemah. Dampak lain adalah gejolak di pasar modal dan pasar obligasi.
Namun,
saya melihat bahwa gejolak ini bagi Indonesia mungkin akan bersifat sementara.
Mengapa? Karena dampak dari penerapan suku bunga negatif di Eropa dan Jepang
masih terjadi. Suku bunga negatif ini masih akan mendorong investor untuk
mencari imbal yang relatif tinggi, dan saat ini, Indonesia menjanjikan imbal
yang tinggi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 5 persen-walaupun
kita tak menyukainya-relatif lebih tinggi dibandingkan negara lain. Itu
sebabnya, dalam artikel saya terdahulu di Kompas, saya menyebut Indonesia
sebagai one of the least unattractive countries in the world (negara
yang tidak seburuk negara lain di dunia).
Dengan
gambaran itu, kita bisa melihat bahwa dampak Brexit terhadap Indonesia mungkin akan relatif terbatas dan
bersifat jangka pendek. Sayangnya, realitas tak selalu sesederhana analisis
ekonomi atau perhitungan kuantitatif di atas.
"Animal spirits"
Ada
beberapa faktor yang menurut saya harus diperhatikan baik-baik di luar analisis
di atas. Dan inilah kuncinya. Dalam ilmu ekonomi, salah satu variabel yang tak
bisa sepenuhnya dikendalikan adalah ekspektasi yang tidak rasional.
Saya
teringat kepada sebuah buku yang sangat menarik ditulis oleh dua peraih Nobel
Ekonomi, George Akerlof dari University of California Berkeley, dan Robert
Shiller dari Yale University. Judulnya: Animal Spirits: How Human Psychology
Drives the Economy, and Why It Matters for Global Capitalism. Mereka berdua
merujuk kepada sebuah terminologi yang diperkenalkan ekonom besar John Maynard
Keynes: animal spirits. Konsepnya
kurang lebih begini: dalam situasi yang tidak pasti, individu akan mencoba
mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya.
Contoh
yang paling sederhana adalah jika dalam satu kerumunan yang padat, ketika
seseorang berteriak, "Awas api!" lalu berlari meninggalkan
kelompoknya, maka kerap kali orang akan ikut berlari tanpa sebenarnya tahu
apakah benar ada api atau tidak. Inilah yang disebut herd behaviour. Ingat
bagaimana rombongan binatang berlari bersama-sama mengikuti kepala kelompoknya?
Tindakan ini dilakukan bersama-sama, tetapi tanpa koordinasi. Kita bisa melihat
pola ini di pasar keuangan. Dalam situasi panik-seperti Brexit-ketika semua orang menghindari risiko, maka produk keuangan
mulai dilepas dan harga jatuh. Sekali ini dimulai, berduyun-duyun orang akan
menjual produk tersebut-sering tanpa sepenuhnya memiliki informasi lengkap.
Dalam
kondisi seperti ini, tidak banyak ruang bagi pemerintah dan Bank Indonesia
untuk melakukan eksperimen dengan kebijakan. Kebijakan pemerintah atau Bank
Indonesia yang dianggap menimbulkan ketidakpastian dapat direspons negatif oleh
pasar dengan melepas portofolio mereka. Oleh karena itu, menurut saya, penting
sekali menjaga stabilitas ekonomi makro. Misalnya, menjaga kehati-hatian agar
defisit anggaran dapat terjaga merupakan faktor penting. Kalau tidak, ini dapat
memicu ketidakpastian di pasar keuangan, dan jika itu terjadi, dampak dari Brexit bisa jauh lebih buruk dari
analisis di atas. Dalam situasi pasar yang sensitif dan gamang, sikap
konservatif menjadi penting, dan itu perlu diwujudkan dengan kebijakan dan
informasi yang jernih dan rasional untuk mencegah agar animal spirits tak mengalahkan perilaku rasional. Di sini, pesan
Akerlof dan Shiller menjadi penting.
Hal
lain yang saya kira harus diperhatikan adalah dampak dominonya terhadap Uni
Eropa. Kita mulai mendengar suara-suara lain yang muncul untuk keluar dari Uni
Eropa. Terlalu pagi untuk menyimpulkan. Namun, dampak domino seperti ini perlu
terus dicermati. Kita memang hidup dalam dunia yang tidak pasti. Dalam ketidakpastian,
pelaku pasar akan menghindari risiko, bahkan untuk hal yang kecil sekalipun.
Pasar keuangan memang ruang yang luas, sayangnya di hari-hari ini ia tak
memberikan ruang bagi kita untuk membuat kesalahan.
oleh
Muhamad Chatib Basri
disadur
dari Kompas, Jum’at, 1 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar