Pada 1
Juni 2016, perusahaan pemeringkat kredit internasional S&P mengumumkan
bahwa peringkat utang Indonesia tetap dipertahankan di level BB+ untuk jangka
panjang dan B untuk jangka pendek.
BB+
bermakna Pemerintah Indonesia sebagai debitur punya kemampuan cukup membayar
utang, sedangkan B berarti kewajiban membayar utang berisiko tinggi atau ada
kemungkinan gagal bayar. Penetapan peringkat oleh S&P tersebut didasarkan
pada temuan fakta kinerja fiskal belum membaik karena masalah struktural
ditunjukkan, antara lain kegagalan pemerintah mencapai target pendapatan pajak
pada tahun 2015, yaitu hanya 81,5 persen dari Rp 1.290 triliun.
Selain
itu, defisit anggaran diprediksi melebar rata-rata 3 persen dari produk
domestik bruto (PDB) sepanjang periode 2016-
2019. Dengan demikian, Indonesia gagal memperoleh status layak investasi
S&P, sebagaimana sangat diharapkan oleh pemerintah Joko Widodo dan kalangan
pelaku usaha yang berminat berinvestasi di Indonesia.
Peringkat
tinggi seperti AAA, AA+, A, dan A- yang diberikan S&P sangat
diinginkan negara-negara penerbit surat utang (SU), yang menunjukkan kualitas
yang sangat tinggi atau tinggi untuk membayar utang negara-negara tersebut.
Dengan peringkat AA+, A, atau A- memudahkan
negara penerbit utang mengakses pasar modal internasional. Kalangan investor
dan kreditur internasional punya kepercayaan diri untuk menanamkan modal di
negara-negara dengan peringkat A atau layak investasi.
Dari
perspektif ini, kekecewaan pemerintah Jokowi atas pengumuman hasil evaluasi
S&P bisa dimengerti. Sebab, peringkat tak layak investasi yang diberikan
S&P bisa jadi membuat tidak mudah bagi Indonesia untuk mengakses ke pasar
modal internasional, dengan pinjaman
berjangka panjang dan biaya bunga yang rendah bagi pembangunan ekonomi
nasional.
Kriteria
pemeringkatan
Bagaimana
sesungguhnya kriteria yang digunakan perusahaan-perusahaan pemeringkat utang,
seperti S&P dan Moody's, dalam menentukan peringkat utang negara? Richard
Cantor dan Frank Peter dalam studi mereka tentang "Determinants and Impact of Sovereign Credit Ratings"
mengidentifikasi penentu peringkat kredit negara sebagai berikut.
Pertama,
pendapatan per kapita. Semakin besar basis potensi pajak negara peminjam
semakin besar kemampuan pemerintah untuk membayar kembali utangnya. Variabel
ini mewakili tingkat stabilitas politik dan faktor penting lainnya.
Kedua,
pertumbuhan PDB. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi menandakan
beban utang negara yang ada pada saat itu akan lebih mudah untuk dilayani.
Ketiga,
inflasi. Inflasi yang tinggi menunjukkan adanya masalah struktural dalam
keuangan pemerintah. Ketika pemerintah tampak tidak mampu dan tidak hendak
membayar anggaran belanja berjalan melalui pajak dan penerbitan SU, dia harus
memilih pembiayaan inflasioner (inflationary).
Ketakpuasan publik pada inflasi pada saatnya bisa menimbulkan instabilitas
politik.
Keempat,
keseimbangan fiskal. Defisit anggaran yang besar menyerap tabungan swasta
domestik dan menandakan pemerintah tak punya kemampuan dan kehendak untuk
memajaki warganya guna menutupi anggaran belanja berjalan atau untuk membayar
utangnya.
Kelima,
keseimbangan eksternal. Defisit akun yang besar menunjukkan sektor publik dan
privat sangat bergantung pada dana luar negeri, yang pada saatnya tidak
tertanggungkan.
Keenam,
tingkat pembangunan ekonomi ditandai naiknya pendapatan per kapita dan
industrialisasi di negara bersangkutan.
Ketujuh,
riwayat gagal bayar utang. Negara yang pernah gagal bayar utang secara luas
dipersepsi sebagai negara dengan risiko kredit tinggi.
Menurut
Cantor dan Packer, enam faktor memainkan peran penting dalam menentukan
peringkat SU negara, yaitu (1) pendapatan per kapita, (2) pertumbuhan PDB, (3)
inflasi, (4) utang eksternal, (5) tingkat pembangunan ekonomi, dan (6) riwayat
gagal bayar. Pendapatan per kapita tinggi, yaitu 24.000 dollar AS ke atas,
inflasi dan utang eksternal yang rendah, dan tingkat pembangunan ekonomi yang
tinggi jadi alasan untuk memberikan peringkat AA/Aa pada surat utang negara
(SUN). Sementara adanya riwayat gagal bayar membatasi peringkat utang negara
pada Baa/BBB, atau di bawahnya, yang berarti kemampuan bayar memadai. Jika
keterkaitan sistematis antara pemeringkatan dan kebijakan fiskal atau defisit
berjalan tidak ditemukan, mungkin karena endogenitas dua hal tersebut.
Bentuk
penyikapan
Mencermati
determinan peringkat kredit tersebut, tampaknya Pemerintah Indonesia masih jauh
dan harus bekerja lebih keras lagi untuk menggapai peringkat layak investasi
S&P. Lalu, bagaimana kita sebagai bangsa dan negara Indonesia menyikapi
kenyataan tersebut?
Pertama,
kita harus mengakui fakta, para agen pemeringkat kredit, antara lain Moody's,
S&P, dan Fitch, berperan memberikan informasi berkenaan risiko ekonomi,
politik, dan bahkan hukum kepada para pemodal internasional yang berminat membeli
surat utang atau sekuritas lainnya yang dikeluarkan negara. Karena
itu, status layak investasi yang diberikan mereka kepada suatu negara
sangat mempengaruhi pasar modal internasional. Peringkat kredit yang mereka
keluarkan boleh dikatakan mewakili pandangan pasar modal internasional yang
layak dan penuh kecermatan untuk dipertimbangkan.
Kedua,
layak pula dikritisi obyektivitas pemeringkatan kredit yang dikeluarkan para
agen pemeringkat kredit tersebut. Sebagaimana dilaporkan, para agen pemeringkat
kredit yang besar seperti S&P, Moody's, dan Fitch adalah anak-anak
perusahaan bank-bank investasi besar dan perusahaan komersial lainnya membuat
obyektivitas mereka itu diragukan. Selain itu, fakta pasar industri pemeringkat
SU di dominasi oleh Moody's, S&P, dan Fitch menunjukkan sifat oligopolistik
pasar yang mengundang kecurigaan publik.
Kalangan
akademis, peneliti, para politisi dan jurnalis percaya, para agen pemeringkat
kredit punya tanggung jawab besar bagi terjadinya krisis finansial global.
Menurut Kongres AS, para agen pemeringkat, termasuk bank-bank investasi, punya
tanggung jawab primer bagi penggelembungan perusahaan realestat yang kemudian
diikuti runtuhnya pasar finansial penyebab resesi global yang meluas.
Ketiga,
para agen pemeringkat kredit sesungguhnya merupakan bagian dari jaringan
aparatus pasar internasional yang sarat ideologi neoliberalisme. Di belakangnya
berdiri kokoh kekuatan modal besar yang membatasi peran intervensionis negara
dan menundukkan kebijakan ekonomi nasional, bahkan-sampai pada tahap
tertentu-mengalahkan demokrasi demi memenuhi kehendak pasar.
Kita
menyaksikan banyak kasus di mana para pemimpin negara berusaha keras
menyesuaikan kebijakan ekonomi nasionalnya dengan prioritas pasar, sambil
meninggalkan tujuan pembangunan nasionalnya. Guna menghadapi jebakan pusaran
pasar internasional yang didominasi kepentingan dan ideologi neoliberalisme,
kita sebagai bangsa dan negara harus konsisten mengupayakan pencapaian tujuan
nasional kita, yakni pemberantasan kemiskinan dengan menggunakan ukuran yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, redistribusi sumber daya sebagai
cara untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan sosial, perlindungan hak asasi
manusia dan lingkungan hidup, serta pertumbuhan dan stabilitas politik guna
kesejahteraan rakyat seluruhnya.
Untuk
itu, konsistensi kebijakan nasional diperlukan guna menjalankan amanah
konstitusi, yakni Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945.
oleh
Abdul Hakim Garuda Nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar