Mungkin
kita semua sepakat, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar dalam
kehidupan. Sayangnya banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya juara
kelas, pintar di sekolah, pasti akan pintar menjalani hidup.
Untuk
itulah sering kita lihat orang tua yang amat protektif, membuat anak merasa
sudah belajar walau itu hanya di sekolah. Sedangkan perjalanannya menuju
sekolah, pergaulannnya, kebiasaannya mengambil keputusan dalam keadaan sulit,
selalu disterilisasi orangtua.
Apalagi
bila orang tua punya kuasa, banyak koneksi, punya uang, maka semua itu akan
distrerilisasi lebih luas lagi. Padahal yang membentuk orang tuanya hari ini
sukses sudah jelas: orangtua mereka tak seprotektif mereka.
Kalau
sudah begitu, apa hasilnya?
Anda
lihat sendiri, banyak anak-anak pandai di sekolah tak berdaya saat di-bully kawan-kawannya,
kurang bergaul, dan bila dikejar anjing di kampung, ia tidak bisa melompat,
larinya tercekat.
Dan di
usia dewasa, ia bisa menjadi sosok yang sulit bagi teman-teman, pasangan dan
kolega-koleganya. Ia akan merasa terus pandai, seakan-akan kecerdasannya
tetap, tak berubah.
Ke
Luar Negeri, Bagus
Pepatah
mengatakan, dunia ini ibarat sebuah buku. Mereka yang tak melakukan perjalanan
(hanya kuliah saja), hanya membaca satu halaman.
Terilhami
oleh Susi Pudjiastuti, saya pun menugaskan mahasiswa ke mancanegara. Tidak
main-main. Satu orang satu negara.
Menteri
Kelautan dan Perikanan ini, sejak remaja sudah menyewa truk dari kampungnya di
Pangandaran, hanya bersama seorang sopir, ia pergi membeli ikan ke Cirebon atau
Indramayu, lalu berjualan ke Pasar Ikan di Jakarta.
Bila
dulu saya menugaskan tiga orang satu negara, sejak kehadiran Ibu Susi di kelas
itu, saya mengubahnya menjadi satu negara-satu orang.
Syaratnya,
tidak boleh di antar, dan tak boleh ada yang menjemput. Itupun harus pergi ke
negara yang tak berbahasa Melayu.
Anda
tahu siapa musuh program ini?
Para
mahasiswa melaporkan, ada dua pihak. Pertama adalah orang tua yang selalu
beranggapan anaknya bak princess. Orangtua bahkan merespon dengan
negatif, takut anaknya kesasar. Padahal doktrin kelas itu sejak awal sangat
jelas, “Berpikir karena kesasar.”
Setiap
kali orang tua protes, saya selalu bilang, “Memang kalau tersasar, mengapa?”
Dari
situ, sebagian tiba-tiba tersentak dan tertegun sendiri karena hampir semua
orangtua pasti pernah kesasar, dan toh akhirnya pulang juga dengan selamat.
Malah menjadi semakin pandai, lebih percaya diri.
Sebagian
lagi, responsnya begitulah, memindahkan anaknya ke kelas lain.
Mereka
mengambil keputusan untuk anaknya yang sudah dewasa dengan menghentikan sebuah
proses belajar yang penting untuk membangun hidup mereka.
Orangtua
juga mengatur banyak hal. Tiket pesawat, rute tujuan, menginap di mana, siapa
yang jemput, makan apa, pakaian dan perlengkapan, sampai SIM Card dan
obat-obatan.
Padahal
anaknya gaul, sehat, senang berpetualang. Dan kalau diatur, ia
malah
menjadi merasa tak dipecaya, bahkan malu dengan kawan-kawannya.
Bagi
saya, ini semua bisa membuat anak kurang terlatih menghadapi kesulitan. Sebab
setiap kali menghadapi persoalan kecil saja, mereka bisa menghindar dan
cepat-cepat minta bantuan.
Dan
musuh kedua adalah, para dosen sendiri. Ya, para akademisi percaya anak pintar
itu tak boleh banyak bermain. Baca, baca, baca, buat tugas. Padahal anak-anak
pintar itu terlalu serius, terlalu steril dan kurang bermain.
Anda
tahu apa yang dilakukan orang tua agar anak-anaknya diterima di perguruan tinggi
yang bagus?
Mungkin
Anda bisa lihat bagaimana treatment orang tua sejak anaknya
masih kecil. Jangankan untuk menuju perguruan tinggi, untuk diterima di SMP
yang bagus saja, sejak kelas 5 SD anak-anak itu sudah dilatih pulang sore/malam
hari, ikut les ini dan itu. Katanya untuk diterima di SMP A harus ikut bimbel
di B.
Kalau
sudah begitu, anak-anak yang pandai ini menjadi kurang bergaul dan menjadi
kurang asyik di mata teman-temannya. Mereka dicetak dalam alam berpikir bahwa
pandai dalam kehidupan itu ada di ruang kelas, melalui program tertulis.
Padahal pandai itu adalah mampu mengambil keputusan yang tepat.
Bayangkan,
bila sejak kecil sampai dewasa anak-anak itu tak pernah berlatih mengambil
keputusan dalam keadaan sulit. Bahkan untuk naik taksi saja ia tak berani.
Pergi
ke luar negeri seorang diri, bagi seorang anak ia akan belajar banyak hal.
Bagaimana kalau ketinggalan pesawat, kehilangan bagasi, kesasar, diganggu
orang, mengunjungi situs-situs penting, mengatur waktu, makan, dan seterusnya.
Mengapa
harus dijemput?
Kisah
anak-anak pejabat yang orang tuanya begitu bernafsu mengatur dan mengawal
anak-anaknya agar tak kesasar di luar negeri, saat ini sudah amat keterlaluan.
Orang tua telah mengambil hak-hak penting si anak untuk menjadi rajawali.
Anak
diasumsikan sebagai sosok yang tak mampu bergerak sendiri, dan seakan-akan alam
tak memberi ruang bagi anak untuk belajar. Padahal, anak SLB sekalipun punya
kemampuan belajar yang luar biasa kalau diberi kesempatan, dan sebaliknya kalau
dianggap bodoh.
Mungkin
anda sudah menerima catatan seorang dosen di Surabaya yang viral dua hari ini.
Sayang, saya tak menemukan sumbernya setelah beredar dari satu WA ke WA
lainnya. Tapi saya kira apa yang dilakukan untuk merekam momen yang ia lihat
dan catat harus kita hargai. Ini sebuah catatan yang istimewa bagi para orangtua
dan pendidik.
Ia
mencatat kejadian saat menemukan seorang siswa SLB penderita tunagrahita yang
begitu bahagia saat menemukan alamat yang dicari. Siswa itu kabarnya
diberangkatkan dari Jogja untuk mencari alamat di Surabaya.
"Syaratnya
boleh bertanya, namun tidak boleh diantar, tidak boleh naik kendaraan yang
bersifat mengantar seperti taxi dan becak. Tidak boleh meminta-minta. Dan masih
banyak aturan lain. Bahkan dia mencari tempat sampah untuk membuang
sampahnya." Catat orang berjasa ini.
Tapi
yang membuat saya tercengang adalah catatannya yang ini: "Dia berkata
bahwa dia dilarang bersedih. "Kata Pak Guru aku ngga boleh sedih, kalau
sedih nanti bodoh lagi", ucapnya polos."
Sekarang
tinggallah kita memeriksa apa yang telah kita lakukan pada anak-anak kita.
Apakah benar kita telah melatih anak-anak kita untuk menjadi pemimpin yang
hebat, rajawali yang matanya tajam dan mampu terbang tinggi, atau menjadikan
mereka burung dara yang indah, yang sayap-sayapnya terjahit.
Anak-anak
yang dijemput dengan fasilitas yang dimiliki orangtua akan kehilangan banyak
momen yang bisa membuat ia kelak lebih pandai dalam hidup.
Kisah
anak-anak saya di Fakultas Ekonomi yang pergi ke luar negeri sudah dibukukan
oleh mereka sendiri dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Edisi
terbaru juga telah disiapkan anak-anak itu dalam episode Duta Perdamaian.
Ketika
mendengarkan presentasi mereka, saya selalu belajar bahwa anak-anak hebat ini
kelak akan menjadi lebih hebat lagi. Dengan metode sharing economy,
mereka kini bisa menyebar ke mancanegara dengan biaya minimal.
Tak
terbayangkan bagaimana mahasiswi saya yang dompetnya hilang di London bisa
tetap menyelesaikan misinya hingga ke Skotlandia, menembus dua negara selama 10
hari dengan sehat.
Tak
terbayangkan bagaimana mereka mengajarkan dua perempuan Jepang memakai hijab.
Tak terpikirkan pula bagaimana mereka berkenalan dengan anak-anak konglomerat
dan dijadikan narasumber di berbagai kampus yang mereka kunjungi.
Anak-anak
yang steril tak punya cerita menurut versi mereka sendiri. Dan anak-anak itu
bisa jadi pembual yang hebat. Tetapi anak-anak yang tak dijemput KBRI kalau ke
luar negri, yang berani menghadapi hidup ini dalam perhitungan yang dilatih
sendiri, kelak akan mempunyai story versi mereka sendiri.
Personal
story adalah
modal dasar seorang pemimpin. Ia akan merasa hidupnya berarti, dan sadar bahwa
di luar sekolah ada banyak pelajaran yang bisa melatih kepemimpian, empati
sosial dan pemgambilan keputusan.
Jadi,
sudahlah. Hentikan dagelan ini, orangtua!
oleh
Rhenald Kasali
disadur dari Kompas, Kamis, 30 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar