
Selebrasi
lebih satu juta dukungan warga tersebut sudah dilakukan. Ahok sendiri juga
hadir dalam keceriaan tersebut. Namun, di sisi lain, dua partai sudah jelas
mendekat, Partai Nasdem dan Parta Hati Nurani Rakyat (Hanura). Satu kapal lebih
besar, Partai Golkar, juga hampir pasti merapat.
Dengan
dukungan trio Nasdem, Hanura, Golkar, cukup bagi Ahok untuk mendapatkan jatah
satu nominasi dari persyaratan 20 persen kursi atau 25 persen suara dari pemilu
anggota DPRD terakhir, yaitu Pemilu 2014. Jalan melalui partai politik adalah
jalan kepastian. Sementara jalan melalui jalur perseorangan menjadi jalan
terjal. Onak dan duri pasti banyak. Bukan tidak mungkin langkah terjegal,
bahkan terjagal.
Di
sinilah dilema muncul: apakah Ahok akan mencari jalan berkepastian melalui
dukungan parpol. Ataukah tetap istiqomah dengan dukungan warga secara perseorangan.
Di atas kertas, dengan satu juta fotokopi KTP lebih, harusnya Ahok lolos di
tahap pencalonan karena cuma dibutuhkan 500 ribuan dukungan untuk calon
perseorangan. Namun, sekali lagi, jalur perseorangan masih belum berkepastian.
Ahok bisa terjegal, Basuki bisa terjagal.
Verifikasi
Faktual
Sebabnya,
revisi undang-undang pilkada terbaru (Perubahan Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015)
memperkenalkan instrumen verifikasi faktual. Dukungan terhadap Ahok yang
berjumlah satu juta fotokopi KTP akan diverifikasi secara keseluruhan bila
semuanya didaftarkan.
Bila
sebelumnya verifikasi cukup dengan sistem sampel, sekarang tidak lagi. Jika
dalam proses verifikasi faktual tidak ditemukan warga yang memberi dukungan,
sang calon harus menghadirkan orang dimaksud di PPS (panitia pemungutan suara).
Bila tidak dihadirkan, suara dari yang bersangkutan dianggap gugur.
Verifikasi
faktual memunculkan dua pertanyaan sekaligus. Pertama, soal kemampuan
penyelenggara pemilu untuk melakukan verifikasi faktual. Kedua, soal transparansi
proses. Mengenai soal pertama, bisa dibayangkan betapa repotnya KPU DKI untuk
melakukan verifikasi semua dukungan tersebut. Mereka harus mengecek satu demi
satu pendukung. Bila yang disertakan satu juta fotokopi KTP, satu juta alamat
mereka harus cari.
Bila
penyelenggara 'malas' bisa saja mereka menyatakan tidak menemukan pendukung
yang dicari. Lantas, sang calon yang harus menghadirkan warga tersebut di PPS.
Bila KPU DKI 'bermalas-malasan' makin sulit bagi calon untuk menghadirkan
pendukung. Sudah bukan rahasia lagi, banyak penduduk DKI yang antara KTP dan
domisili aktualnya berbeda. Tidak mudah menghadirkan mereka dalam rimba beton
Jakarta.
Mengenai
soal yang kedua, verifikasi faktual tidak diumumkan. Hasilnya langsung dibawa
ke PPS. Calon yang bersangkutan tidak memiliki kesempatan untuk komplain atau
mengganti bila pendukung tidak diketemukan. Calon hanya menunggu palu
keputusan: apakah memenuhi atau tidak untuk maju sebagai calon perseorangan.
Hal ini berbeda dengan sistem sampel sebelumnya di mana calon bisa mengganti
bila sampel pendukung yang disertakan tidak ditemukan.
Melanggar
Prinsip Pemilu
Dalam
konteks seperti ini, pembentuk undang-undang, yang notabene adalah partai
politik, benar-benar telah bertindak tidak adil bagi calon perseorangan. Mereka
mengabaikan prinsip berpemilu yang seharusnya dijunjung tinggi. Prinsip
tersebut, yang tidak lain hak konstitusional, memberikan kesempatan
selebar-lebarnya bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Salah satu caranya dengan menjadi kandidat baik melalui partai poltik maupun
jalur perseorangan. Dua jalur tersebut harus dibuka selebar-lebarnya bagi warga
negara yang berkehendak ikut dalam kontestasi pilkada. Hak untuk menjadi calon
(the right to be a candidate) adalah hak konstitusional. Putusan MK
tahun 2004 sudah mengabarkan hal tersebut.
Bila
bagi kandidat pintu harus dibuka lebar, sebaliknya aturan harus dibuat ketat.
Terlebih terkait dengan penegakan aturan-aturan pemilu (electoral law
enforcement). Aturan pemilu harus mampu menjamin kompetisi yang jujur dan
adil di antara calon. Pemenang pilkada tidak saja mereka yang merenggut suara
terbanyak, melainkan bagaimana suara itu diperoleh, apakah secara genuine
atau melalui cara-cara curang.
Mereka
yang curang, misalnya melakukan praktik money politics kepada pemilih (vote
buying) atau suap kepada penyelenggara, tidak boleh memiliki standing untuk
terus berkompetisi, apalagi ditahbiskan sebagai pemenang. Pemilu
konstitusional, yaitu luber dan jurdil (langsung umum bebas rahasia jujur dan
adil) harus hadir.
Sayangnya,
prinsip berpemilu tersebut sering tidak mau dipahami pembentuk undang-undang.
Yang mereka pikirkan bagaimana menjegal pesaing politik sejak awal. Bahkan,
bila perlu, sejak suatu undang-undang pemilu dirumuskan.
Verifikasi
faktual adalah contoh nyata dari hal tersebut. Aturan ini sudah pasti membuat
banyak calon perseorangan yang 'ngeper' untuk maju. Aturan verifikasi faktual
minus transparansi telah menyebabkan nominasi antara calon dari parpol dan
perseorangan jadi tidak berimbang. Ancaman untuk tidak lolos bagi calon
perseorangan makin membesar.
Pada
titik ini, persoalan tidak sekadar ada pada seorang Ahok, yang harus memilih
apakah maju dari parpol atau calon perseorangan, melainkan lebih pada
calon-calon perseorangan lainnya yang tidak punya daya tawar kuat. Ketentuan
ini karenanya berpotensi melanggar prinsip konstitusional tentang pemilu yang
jujur dan adil, dengan penekanan kata "adil".
Ketentuan
ini juga menyebabkan pilkada makin mahal dan tidak efisien. Harusnya tenaga
penyelenggara tidak perlu dikuras untuk melakukan verifikasi faktual,
mendatangi setiap alamat pendukung calon perseorangan. Terpilih atau tidaknya
seseorang dalam pemilu bukan dari banyaknya dukungan, melainkan dari banyaknya
suara yang didapat.
Memilih
Jalan
Kendati
menggenggam dua jenis dukungan, Ahok tetap harus memilih salah satunya.
Regulasi KPU tidak memungkinkan memanfaatkan dua jalur sekaligus antara jalur
perseorangan dan jalur partai. Andaikan Ahok memilih jalur perseorangan,
kesulitan sudah bisa dibayangkan. Skenario terpahit yang harus dihadapi,
dukungan dinilai tidak memenuhi syarat setelah dilakukan verifikasi faktual.
Namun,
bila Ahok maju sebagai calon parpol, selain bakal melukai mereka yang telah
'berdarah-darah' mengumpulkan dukungan, tidak ada jaminan parpol tidak mencabut
dukungan di saat-saat akhir pengajuan calon. Sementara pintu calon perseorangan
sudah tertutup.
Ahok
jelas dalam dilema. Maju melalui jalur perseorangan bukan tujuan, tetapi
hanyalah alat atau sarana, kendati bagi sebagian orang merupakan ideologi.
Jalur perseorangan jelas bukan untuk menggantikan peran parpol. Namun, bila
parpol belum bisa dipegang seratus persen, terus maju dalam jalur perseorangan,
apa pun risikonya, adalah pilihan yang mungkin lebih baik untuk saat ini. Selamat
menimbang, Pak Ahok.
oleh
Refly Harun
disadur dari detik.com, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar