Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan tak ada indikasi korupsi
dalam sengketa pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. "Penyidik kami
tidak menemukan perbuatan melawan hukum dalam pembelian Sumber Waras,"
katanya di depan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 14/6/2016.
Bahkan
sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui salah satu pimpinannya
(Basaria Panjaitan) pada hari Senin, 29/2/2016 pernah menyatakan bahwa hingga
saat ini belum dapat menaikkan kasus pembelian lahan RS Sumber Waras ke tingkat
penyidikan oleh karena belum ditemukan dua alat bukti yang cukup.
Padahal
berdasarkan Laporan LHP BPK atas laporan keuangan Pemprov DKI Tahun 2014 dan
diperkuat Hasil Audit Investigasi BPK tanggal 7/12/2015menyatakan terdapat
penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran, pembentukan tim, proses
pembelian lahan RS Sumber Waras, penentuan harga, dan penyerahan hasil
sebagaimana diatur dalam UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Beragam
pendapat setelah pernyataan pimpinan KPK di atas, banyak pihak dapat memahami
pernyataan tersebut namun ada juga pihak-pihak yang tidak puas. Bahkan saking
tidak puasnya ada pendapat seorang Profesor Hukum yang mengecam dan menyatakan:
"Kalau temuan BPK diabaikan KPK untuk menjerat Ahok, maka Suryadharma Ali,
Siti Fadilah dan Wafid Muharam harus dibebaskan dong".
Dengan
demikian setelah pernyataan KPK tersebut, lalu mau dibawa pergi ke mana (quo vadis) audit BPK tersebut ? Mengapa
KPK memiliki pandangan yang berbeda dengan BPK? Apakah hasil audit BPK harus
ditindaklanjuti dengan pemidanaan? Untuk itu, penulis akan berupaya mengurai
pertanyaan tersebut agar dapat mencerahkan publik secara objektif.
Menurut
situs resmi BPKP, Audit Investigasi adalah proses pengumpulan dan pengujian
bukti-bukti terkait kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan
negara dan/atau perekonomian negara, untuk memperoleh kesimpulan yang mendukung
tindakan litigasi dan/atau tidakan korektif manajemen.
Proses
pembuktikan suatu tindak pidana, Penuntut Umum harus membuktikan seluruh unsur
yang termuat dalam pasal yang didakwakan. Dalam kasus ini penerapan pasal yang
digunakan adalah Pasal 2 ayat (1) UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
Adapun
unsur yang harus dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas adalah unsur
"Setiap orang" yang "secara melawan hukum" melakukan
perbuatan "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi" yang dapat "merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara".
Singkatnya
bahwa seorang terdakwa dalam kasus korupsi dapat dipidana apabila perbuatannya
telah memenuhi seluruh unsur di atas. Apabila yang terbukti hanya satu atau dua
unsur saja, misalnya unsur "setiap orang" dan"merugikan keuangan
negara" maka si terdakwa tidak dapat dipidana.
Di sisi
lain, Audit Investigasi merupakan proses pengumpulan dan pengujian bukti-bukti terkait
kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara dan/atau
perekonomian negara atau hanya satu unsur dari beberapa unsur dalam pasal 2
ayat (1) UU No.31/1999.
Sehingga,
apabila auditor BPK berpendapat ada unsur "merugikan keuangan negara"
namun menurut penegak hukum tidak ada memenuhi unsur "melawan hukum"
maka kasus tersebut tidak dapat dimajukan ke persidangan. Artinya Audit
Investigasi BPK tidak harus berujung pemidanaan sebagaimana yang diharapkan
oleh seorang Profesor hukum di atas.
Terlebih
lagi, unsur merugikan keuangan negara versi audit BPK masih dapat
diperdebatkan. Oleh karena kerugian negara tersebut timbul disebabkan BPK
menggunakan NJOP 2013 (Rp.13.000.000,-) sebagai pedoman padahal transaksi
antara Yayasan Sumber Waras dengan Pemprov DKI menggunakan NJOP tahun 2014
(Rp.20.700.000,-).
Selain
itu, BPK juga menyimpulkan bahwa Pemprov DKI telah melanggar UU No.2/2012 ttg
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Pasal 121 Perpres
No.71/2012 ttg Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Namun
penyidik KPK melihat bahwa pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
tersebut belum dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijk). Oleh karena BPK masih
memandang bahwa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
tahapannya diatur dalam UU No. 2/2012.
Padahal
untuk efektifitas dan efisiensi terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum di bawah 5 (lima) hektar dapat dilakukan langsung oleh
instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak dengan cara jual beli atau
cara lain yang disepakati kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 121
Perpres No.40/ 2014 tentang Perobahan atas Perpres No.71/2012.
Sehingga
transaksi pengadaan tanah RS Sumber Waras yang luasnya dibawah 5 hektar tidak
harus mengikuti prosedur yang diatur dalam UU No.2/2012. Namun cukup melalui
proses jual beli sebagaimana diatur dalam Perpres No.40/2014.Dengan kata lain
transaksi pembelian tanah eks RS.Sumber Waras tidak terdapat penyimpangan atau
tidak ditemukanadanya Perbuatan Melawan Hukum.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka hasil audit BPK tidak dapat dijadikan landasan untuk
menaikkan kasus pembelian tanah eks RS.Sumber Waras ke tahap penyidikan.
Terlihat bahwa penyidik KPK memandang suatu kasus jauh hingga ke tahap
pembuktian di pengadilan. Hal itu sebagai bentuk praktek Sistem Peradilan
Pidana yang terpadu.
Lalu,
bagaimana dengan nasib audit BPK tersebut? Dengan instrumen yang ada saat ini
maka hasil audit tersebut kemungkinan akan status
quo. Oleh karena BPK tetap pada pendiriannya dan KPK juga demikian. Namun,
untuk mengantisipasi kejadian yang sama terulang dikemudian hari, maka sudah
saatnya dipikirkan pembentukan suatu Tim Ad Hoc untuk menguji hasil audit BPK
yang dipandang bermasalah.
Kebutuhan
pembentukan tim mendesak, mengingat banyak unsur pimpinan BPK yang berlatar
belakang Parpol. Sehingga kemungkinan adanya intervensi terhadap auditor dapat
terjadi. Oleh karena itu sebagai bentuk penerapan prinsip check and balance
atas suatu kekuasaan yang diberikan kepada BPK maka sudah sewajarnya upaya
banding terhadap audit BPK dibuat mekanismenya.
oleh
Reda Manthovani
disadur dari detik.com, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar