Pemerintah
mengajukan RAPBNP tahun 2016 kepada DPR sebagai langkah menyesuaikan perubahan
asumsi dasar ekonomi makro. Selain itu, untuk menampung perubahan pokok
kebijakan fiskal dalam rangka mengamankan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2016 dan tetap menjaga pencapaian sasaran pembangunan
nasional.
Beberapa
variabel asumsi dasar ekonomi makro yang berdampak mengurangi defisit atau
menambah surplus terhadap postur RAPBNP tahun 2016 adalah peningkatan pertumbuhan
ekonomi, kenaikan inflasi, peningkatan Indonesian
Crude Price (ICP), serta kenaikan lifting
minyak dan gas bumi.
Peningkatan
pada asumsi dasar ekonomi makro tersebut akan berdampak langsung pada kenaikan
pendapatan negara, terutama pada penerimaan perpajakan dan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP), dan berdampak tidak langsung terhadap kenaikan anggaran
transfer ke daerah, terutama dana bagi hasil (DBH).
Sesuai
perhitungan analisis sensitivitas, peningkatan besaran asumsi dasar ekonomi
makro diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan negara yang lebih tinggi
dibandingkan kenaikan belanja negara.
Akibat
itu, peningkatan tersebut berdampak pada pengurangan defisit anggaran. Yang
perlu dicermati adalah beberapa faktor perkembangan ekonomi yang mempengaruhi
pelaksanaan APBN.
Pertama,
kondisi ekonomi global dan domestik yang mempengaruhi asumsi dasar ekonomi
makro, di mana yang sangat signifikan adalah harga minyak mentah Indonesia dan
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Kedua,
tidak tercapainya target pendapatan negara pada 2015, khususnya sektor
perpajakan yang menjadi dasar penghitungan dari target pendapatan negara pada
APBN 2016. Pada 2015 realisasi penerimaan perpajakan tercatat sebesar 83,3%
dari target dalam APBNP 2015 sebagai akibat perlambatan ekonomi, terutama
turunnya permintaan pada sektor industri pengolahan dan pertambangan.
Ketiga,
pelebaran besaran defisit anggaran. Perkiraan penurunan realisasi pendapatan
negara dari target APBN 2016, dan diiringi dengan komitmen alokasi belanja
negara yang masih mengacu pada APBN 2016, mengakibatkan potensi pelebaran
defisit anggaran hingga melebihi ambang batas.
Sesuai
UU Nomor 17/ 2003 tentang Keuangan Negara, jumlah kumulatif defisit APBN dan
APBD dibatasi tidak melebihi 3% dari produk domestik bruto.
Perubahan
Postur RAPBNP
2016
Pendapatan negara 2016 diperkirakan mengalami penurunan sebesar Rp88,045
triliun dari APBN 2016. Penurunan tersebut terutama akibat penurunan PNBP
sebesar Rp68,437 triliun dan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp19,550
triliun.
Rendahnya
realisasi penerimaan perpajakan serta realisasi lifting dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) selama 2015
menyebabkan pemerintah menurunkan target penerimaan perpajakan pada RAPBNP 2016
menjadi Rp1.527,113 triliun, yang utamanya disebabkan penerimaan PPh migas dan
PPN.
Dalam
upaya mencapai target penerimaan perpajakan serta mengamankan tax ratio, pemerintah melakukan
perbaikan sektor perpajakan antara lain: (1) peningkatan kepatuhan wajib pajak,
(2) peningkatan tax ratio dan tax buoyancy, (3) peningkatan tax
coverage melalui penggalian potensi perpajakan sektor unggulan, (4)
penguatan dan perluasan basis data perpajakan, serta (5) pelaksanaan tax
amnesty/voluntary disclosure.
Dengan
upaya-upaya tersebut, tax ratio (arti
sempit) dalam RAPBNP 2016 ditargetkan sebesar 12,08%, sedangkan tax ratio dalam arti luas (termasuk
penerimaan SDA migas dan pertambangan umum) ditargetkan sebesar 12,44%. Belanja
negara diproyeksikan mencapai Rp.2.047,841 triliun, atau turun 2,3% dari pagu
APBN 2016.
Belanja
negara pada 2016 meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.289,537 triliun
serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp758.303,8 miliar.
Belanja
pemerintah pusat dalam RAPBNP 2016 diperkirakan lebih rendah dari APBN 2016,
terutama disebabkan kebijakan penghematan dan pemotongan belanja kementerian
negara/lembaga (K/ L).
Sedangkan
penurunan dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK) merupakan
kontribusi terbesar dari penurunan transfer ke daerah dan dana desa.
Pentingnya
Kredibilitas
Pemerintahan
Joko Widodo (Jokowi) berjalan di tengah ketidakpastian global yang entah kapan
berakhir. Ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk.
Pemulihan
ekonomi Amerika Serikat pun belum solid. China, walaupun ekonominya mengarah ke
kondisi yang lebih stabil, risiko pelemahannya masih tinggi.
Kondisi
ini menyebabkan PDB ekspor Indonesia terus menyusut dari Rp599,3 triliun pada
triwulan I 2015 menjadi Rp533,6 triliun pada triwulan I 2016.
Situasi
ini disikapi pemerintah dengan menerbitkan sejumlah paket kebijakan yang
diharapkan segera berdampak pada perekonomian. Paket kebijakan diterbitkan
sejalan dengan ekstensifikasi pajak untuk peningkatan penerimaan pajak.
Pemerintah
juga berharap banyak pada pemberlakuan tax
amnesty atau pengampunan pajak. Berbekal harapan yang tinggi pada
paket-paket kebijakan dan keberhasilan upaya penerimaan pajak, pemerintah
merancang belanja yang ambisius.
Nyatanya
perhitungan tersebut meleset. Ketidaksiapan birokrasi menyebabkan paket
kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan mudah.
Ditjen
Pajak kesulitan memperluas basis wajib pajak di tengah ekonomi yang terpuruk
saat ini. Sementara upaya mengundangkan tax
amnesty mendapat banyak hambatan.
Banyak
pihak menentang pemberlakuan tax amnesty
karena menilai kebijakan tersebut tidak adil dan hanya menguntungkan
pengemplang pajak, koruptor, dan pencuci uang.
Akumulasi
dari faktor-faktor di atas membawa RAPBNP 2016 berinti pada pemangkasan
anggaran. Namun, di sini pemerintahan Jokowi harus bertindak cermat.
Pemangkasan
anggaran tidak saja berimbas secara ekonomi, tetapi juga psikologis karena bisa
memicu ketidakpercayaan. Pemotongan anggaran belanja negara dapat memberikan
sinyal buruk ke pasar dan investor karena akan dimaknai sebagai kontraksi
pertumbuhan.
Dalam
teori ekonomi, sinyal kontraksi pertumbuhan merupakan hal yang sangat berbahaya
sehingga sebisa mungkin harus dihindari pemerintah. Sinyal kontraksi
menyebabkan psikologis pasar dan investor terganggu.
Dampaknya
adalah mereka cenderung akan mengerem segala aktivitasnya. Jika pemerintahan
Jokowi selalu merevisi anggaran belanjanya menjadi lebih rendah seperti
dilakukan sebelumnya pada APBNP 2015, kredibilitas pemerintah akan jatuh.
Pemerintahan
Jokowi akan diragukan kompetensi dan kemampuannya dalam merancang serta
mengeksekusi anggaran. Persoalan kredibilitas merupakan hal penting sehingga
pemerintah harus bisa menjaga kepercayaan pasar dan investor.
oleh Mukhamad Misbakhun
disadur dari Koran
Sindo, Selasa, 21 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar