TEKAD
Teman Ahok mengumpulkan 1 juta KTP untuk memuluskan pencalonan Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI 2017 dari jalur independen akhirnya
terpenuhi. Kalau saja Habiburokhman, Ketua DPP Bidang Advokasi Partai Gerindra,
ialah politikus bermutu, hari ini kita menyaksikan pemenuhan janjinya untuk
terjun bebas dari Monas, atau setidaknya meminta maaf karena telah berbohong.
Keberhasilan
itu tidak terlepas dari pencitraan Ahok sebagai pemimpin berkarakter. Meski
sarat kontroversi, Ahok memang magnet politik. Sikapnya tegas tanpa kompromi
dan terkesan garang. Ia haram bersantun ria sekadar menutup kepalsuan. Tanpa
ragu Ahok mengenalkan kultur politik baru; tampil apa adanya, blakblakan dan
berikrar total membela rakyat, bertaruh nyawa sekalipun.
Keteguhan
sikap politiknya berbuah manis. Sulit untuk tidak menyimpulkan Ahok berhasil
memimpin DKI. Pasar Tanah Abang yang kumuh dan lusuh kini menjadi rapi dan
asri. Kalijodo yang sekian lama menyimpan angker dirobohkannya. Bahaya banjir
yang sekian lama membelenggu Ibu Kota secara perlahan diatasi. Andai kata ia
kelak terpilih kembali, Jakarta akan menjadi lebih maju, aman, dan beradab.
Kemandirian
masyarakat sipil
Terkumpulnya
1 juta KTP tersebut sudah melampaui yang dibutuhkan, yakni 523 ribu KTP atau
7,5% dari jumlah pemilih DKI, yakni 6.983.692 suara. Terkumpulnya 1 juta KTP
merupakan prestasi luar biasa. Bisa saja menjadi dukungan terbesar dalam
sejarah calon independen di negeri ini.
Prestasi
itu merupakan indikasi tumbuhnya kemandirian warga dalam mendewasakan
demokrasi. Sejauh ini demokrasi telah disandera parpol. Pencalonan presiden,
gubernur, dan bupati/wali kota didominasi parpol. Jabatan-jabatan penting
seperti menteri dan lembaga-lembaga tinggi negara juga penuh sesak oleh
kader-kader parpol.
Dominasi
parpol berimplikasi luas bagi terjadinya berbagai penyimpangan dalam
penyelenggaraan negara. Kepala daerah yang diusung parpol berkewajiban untuk
'setor' setelah terpilih. Mereka tidak leluasa menjalankan tugas karena
intervensi parpol. Inilah penyebab banyak kepala daerah yang terperangkap
korupsi. Alhasil, dambaan rakyat akan pelayanan publik yang mudah, murah, dan
berkualitas tak kunjung terwujud.
Kenyataan
ini yang dilawan Ahok di DKI. Karena terlalu rewel, Partai Gerindra
ditendangnya. Kegemaran PDI Perjuangan untuk mendikte dilecehkannya. Baginya,
parpol bukan mitra yang baik dalam membangun daerah. Lebih jauh, Ahok ingin
membuka mata publik bahwa kehadiran parpol justru membuatnya sulit untuk secara
total membenahi DKI.
Perlawanannya
terhadap parpol semakin mantap ketika ia melirik jalur independen dalam Pilkada
DKI 2017. Gayung bersambut, tekad tersebut disambut antusias warga DKI yang
tergabung dalam Teman Ahok. Setahun terakhir, mereka bergerak cepat, bekerja
keras, dan berkorban waktu, tenaga serta dana untuk mengumpulkan KTP warga.
Dalam
kaitan ini, kerja keras Teman Ahok telah membuka mata kita bahwa masyarakat
sipil terus berkembang di negeri ini. Larry Diamond dalam Rethinking Civil
Society: Toward Democratic Consolidation (1994) menegaskan masyarakat sipil
ialah warga yang terorganisasi dan mampu berkiprah secara sukarela (voluntary),
keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting),
dan kemandirian.
Nilai-nilai
tersebut mutlak diperlukan agar masyarakat sipil bisa menjadi kekuatan mandiri,
terbebas dari ketergantungan terhadap negara atau badan lainnya. Dalam kasus
DKI, Teman Ahok sebagai representasi masyarakat sipil berhasil mengimbangi,
bahkan mencegah terjadinya dominasi parpol yang sejauh ini terbukti menyandera
demokrasi.
Pilihan
Ahok
Jalan
Ahok menuju DKI 1 masih panjang, jauh dari selesai. Dalam pidato perayaan
terkumpulnya 1 juta KTP, Ahok mengatakan lebih baik tidak menjadi gubernur
ketimbang mengecewakan Teman Ahok. Bagi Ahok, nama baik lebih mulia ketimbang
kekuasaan. Sangat terang-benderang di sini betapa tingginya apresiasi Ahok
terhadap ketulusan dan kerja keras warga DKI dalam memberikan dukungan
terhadapnya. Ahok memang tidak bisa jauh-jauh dari rakyat yang setiap saat
membelanya dari kegenitan parpol yang tiada henti menyerang, mencerca, dan
mengusik kedudukannya.
Persoalannya,
calon independen bukan jalan mudah. Terkumpulnya 1 juta KTP sama sekali tak
menjamin mulusnya pencalonan Ahok.
Pertama,
kewajiban melakukan verifikasi faktual yang teramat rumit. KPU melakukan
verifikasi terhadap bukti dukungan independen. Jika KPU belum sukses
melakukannya, bakal calon harus menghadirkan pemilik KTP ke PPS. Ini tentu
masalah serius. Warga DKI tidak mudah dihadirkan karena rata-rata sibuk.
Padahal waktu yang diberikan KPU hanya tiga hari.
Kedua,
memilih jalur independen mengandung risiko serius bagi penyelenggaraan
pemerintahan di kemudian hari. Tanpa dukungan parpol, kekuasaan tak akan mampu
bekerja secara efektif. Memilih jalur independen berarti meneruskan konflik
Ahok versus parpol. Bisa dipastikan pembangunan dan pelayanan publik tak akan
berjalan optimal.
Ketiga,
memilih jalur independen di tengah meluasnya dukungan parpol bisa ditafsirkan
sebagai arogansi. Padahal sejak dini NasDem dan Hanura telah mendukungnya tanpa
syarat. Partai Golkar di bawah pimpinan Setya Novanto dengan segera merapat.
PDI Perjuangan harus melakukan 'pertobatan politik' dengan terus menerus merayu
agar Ahok kembali berpasangan dengan kadernya, Djarot Saiful Hidayat.
Jalan
politik mana yang ditempuh, semua berpulang pada Ahok. Jalur parpol tentu lebih
realistis. Pilihan tersebut bukan berarti mengkhianati Teman Ahok. Kekhawatiran
parpol akan menjerat Ahok dengan berbagai ketentuan menjadi tak relevan. Toh
Ahok telah melakukan perlawanan total dan menang terhadap tantangan 106 anggota
DPRD DKI. Semua ini tentu tidak terlepas dari dukungan Teman Ahok.
Di atas
segalanya, Teman Ahok harus menunjukkan kebesaran hati bahwa seluruh
dukungannya bersifat sukarela. Teman Ahok boleh memberikan saran, tapi tidak
boleh mendikte, apalagi menekannya. Dukungan parpol dan Teman Ahok ialah jalan
lapang bagi mantan bupati Belitung ini untuk kembali memimpin DKI.
oleh
Romanus Ndau Lendong
disadur dari Media Indonesia, Jum’at 24 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar