Proses
pengadaan tanah oleh Pemda DKI melalui transaksi pelepasan hak atas tanah
Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) kepada Pemda DKI dengan pemberian ganti
kerugian sebesar Rp755.689.550.000,00.
Penggantian
itu berdasarkan perhitungan nilai jual objek pajak (NJOP) di lokasi alamat
Kyai Tapa sebesar Rp20.755.000,00/m2 dengan luas tanah 36.410 m.
Transaksi terjadi di hadapan notaris Tri Firdaus Akbarsyah SH (Akta Notaris
Nomor 37 tanggal 17 Desember 2014).
Akta
notaris tersebut ditandatangani oleh pihak Pemda DKI diwakili Kepala Dinas
Kesehatan Pemda DKI, dan pihak YKSW diwakili oleh pengurusnya.
Di
dalam akta notaris tersebut disetujui klausul-klausul antara lain semua gugatan
Perdata atau tuntutan pidana merupakan tanggung jawab pihak Pemda DKI.
Di
dalam proses transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW ketika itu (2014),
terdapat fakta bahwa status tanah tersebut ketika terjadi transaksi pelepasan
hak, tidak dalam keadaan ”clean and clear”.
Yaitu,
pertama, status tanah RS Sumber Waras belum jelas hak kepemilikannya. Selain
itu, tanah juga sedang dalam proses gugatan Perdata antara pengurus YKSW,
Kartini Mulyadi dkk, dan anggota pengurus lain I Wayan Suparmin (IWS).
Kedua,
YKSW masih menunggak pajak bumi dan bangunan (PBB) selama kurang delapan tahun
senilai Rp10.603.718.309,00 (sepuluh miliar enam ratus tiga juta tujuh ratus
delapan belas ribu tiga ratus sembilan rupiah).
Total
tunggakan terdiri atas PBB terutang dan denda administrasi sesuai basis data
SIM PBB-P2 Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta sehingga pihak YKSW
termasuk wajib pajak (WP) yang tidak patuh. Penetapan nilai tanah hak guna
bangunan (HGB) YKSW ditetapkan berdasarkan NJOP.
Sedangkan
baik Undang-Undang (UU) Nomor 2/2012 dan Perpres pelaksanaannya hanya dapat
dilakukan oleh tim penilai (appraisal). Adapun peraturan menteri keuangan
terkait pengadaan tanah hanya mengatur tentang dana operasional dan pendukung.
Dispute mengenai letak tanah seharusnya tidak
hanya membaca sertifikat Badan Pertanahan Nasional (BPN), melainkan juga perlu
dilihat lokasinya secara riil untuk mengetahui kondisi nyata.
Aspek
hukum pidana tidak hanya menemukan kebenaran formal berdasarkan dokumen/surat,
melainkan juga kebenaran materiil dari suatu peristiwa dengan mengetahui secara
faktual dan motivasi dari suatu perbuatan terkait kasus ini adalah kebijakan Pemda
DKI.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen dan bagian dari sistem
peradilan pidana sesuai dengan UU Badan Pemeriksa Keuangan dan UU KPK
seharusnya tetap berpegang pada hasil audit BPK, sekalipun ada perbedaan
penilaian mengenai kerugian negara.
KPK
harus menghormati antar sesama lembaga, apalagi hasil audit investigasi BPK
adalah atas permintaan KPK.
Dan,
BPK berdasarkan UUD dan UU BPK merupakan lembaga audit negara yang diakui,
serta pelanggaran atas rekomendasi BPK RI merupakan tindak pidana dan dapat
diancam pidana.
BPK RI
telah menyerahkan hasil audit investigasi pada 7 Desember 2015 dengan
kesimpulan telah terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya sebesar
Rp173.129.550.000,00 (seratus tujuh puluh tiga miliar seratus dua puluh
sembilan juta lima ratus lima puluh ribu rupiah).
Persoalan
kekeliruan hasil penghitungan bukanlah kewenangan pihak siapa pun, termasuk
KPK, untuk memberikan penilaian.
Masing-masing
lembaga telah diatur kewenangannya dalam undang-undang sendiri, serta tugas dan
wewenang KPK berdasarkan UU KPK Nomor 30/2002 tidak termasuk memberikan
penilaian ada-tidak ada kerugian negara.
Pernyataan
KPK yang menyatakan secara terbuka di dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi
III DPR RI bahwa dalam kasus YKSW tidak terdapat unsur perbuatan melawan hukum
terlalu dini dan terdapat kekeliruan tafsir mengenai ketentuan Pasal 121 di
dalam perubahan Perpres 40/2014.
Yang
pada intinya, pertama, perubahan luas lahan dan terkait hubungan transaksional
langsung dengan pemegang hak atas tanah, diperkuat oleh Pasal 53 PerKa BPN
Nomor 5/2012 yang telah diubah dengan PerKa BPN Nomor 6/2015 tentang petunjuk
teknis pelaksanaan pengadaan tanah.
Peraturan
Kepala (PerKa) BPN yang sesungguhnya merupakan salah satu saja dari seluruh
tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, di samping
tahap perencanaan, tahap persiapan, dan tahap penyerahan hasil (Pasal 13 UU
Nomor 2/2012).
Kekeliruan
tafsir hukum dan ketidaktelitian Pemda DKI atas ketentuan pasal tersebut yang
mengakibatkan seluruh prosedur tahapan dalam UU dianggap tidak perlu diikuti
sepenuhnya.
Pertanyaannya,
jika demikian tafsir hukum tersebut, bagaimana suatu Perpres dan PerKa BPN
dapat menegasikan seluruh ketentuan UU dengan dalih apa pun. Bahkan, jika benar
demikian, Perpres dan PerKa BPN batal demi hukum (van rechtnieteg).
Bukti-bukti
temuan BPK RI menunjukkan bahwa seluruh tahapan pengadaan tanah terkait
transaksi pelepasan hak atas tanah HBG YKSW tertanggal 17 Desember 2014 tidak
didahului dengan dokumen pendukung dan pembentukan satuan kerja.
Namun,
kemudian seluruh dokumen terkait telah dilengkapi Pemda DKI dengan pembubuhan
tanggal-mundur (back-date) hasil audit investigasi BPK RI terdapat tujuh
penyimpangan.
Pola
pembubuhan tanggal mundur pada dokumen pendukung juga di dalam Peraturan
Gubernur DKI mengenai penetapan NJOP tertanggal 27 Desember 2013.
Tetapi,
pembubuhan paraf pada peraturan gubernur DKI tersebut terjadi pada 21 Januari
2014 merupakan perbuatan melawan hukum, bahkan merupakan perbuatan dengan
sengaja (dolus) bukan semata-mata kekeliruan atau kelalaian (culpa).
Terkait
kasus pelepasan hak atas tanah atas nama pengurus YKSW, tidaklah relevan
menghubungkannya dengan pengertian lex posteriori derogat lege priori, lex
specialis derogat lege generali, ataupun perihal ”in dubio pro reo”.
Pengertian
hukum yang pertama suatu kemustahilan bahwa Perpres Nomor 40/2014 merupakan lex
specialis terhadap ketentuan yang sama (Pasal 121) di dalam Perpres Nomor
71/2012 karena sifatnya hanya perubahan demi kepastian hukum yang telah
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pengadaan tanah di bawah 5 ha.
Pengertian
kedua adalah mustahil jika peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
dapat menegasikan berlakunya suatu undang-undang.
Dan,
pengertian hukum ketiga terkait kasus YKSW, tidak ada keragu-raguan mengenai
tafsir hukum atas Perpres perubahan dimaksud (2014) dan PerKa BPN (2015).
Secara hierarkis dan rumusan ketentuan tersebut telah memenuhi asas lex certa.
Yang
tidak kalah pentingnya dari kasus transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW dan Pemda
DKI adalah, jika temuan dan rekomendasi BPK RI tidak ditindaklanjuti oleh Pemda
DKI dan KPK, tetap bersikukuh pada pendirian bahwa tidak ada unsur melawan
hukum dalam kebijakan Pemda DKI.
Maka,
terhentinya kasus ini pada tahap penyelidikan merupakan preseden buruk dalam
tata kelola negara berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan
dibenarkan.
Selain
itu, diikuti oleh pejabat daerah provinsi, kotamadya, dan kabupaten di seluruh
Indonesia dalam transaksi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Quo vadis KPK?
oleh
Romli Atmasasmita
disadur dari Koran Sindo, Kamis, 23 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar