Kemacetan
parah saat arus mudik Lebaran 2016 di sekitar Gerbang Tol Brebes Timur, Jawa
Tengah, kembali memunculkan pertanyaan tentang koordinasi dan komunikasi di
antara elite politik. Pasalnya, pada hari-hari pertama munculnya persoalan itu,
kesan yang muncul di hadapan publik adalah saling tuding dan membela diri.
Kemacetan
pada saat arus balik memang terlihat lebih diantisipasi. Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo, pada Sabtu lalu, mewakili pemerintah juga telah minta maaf
kepada masyarakat atas ketidaknyamanan perjalanan yang terjadi saat arus mudik
Lebaran 2016.Sebelum permintaan maaf itu disampaikan, sejumlah pejabat telah
mengeluarkan pernyataan tentang kemacetan tersebut.
Presiden
Joko Widodo, mislanya, mengatakan kemacetan tak terelakkan karena belum
tuntasnya pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa. “Ada yang berhenti delapan tahun
hingga 20 tahun, dan hal itu yang perlu diselesaikan. Mudah-mudahan dua tahun
ke depan diselesaikan,” ujarnya (Kompas, 5/7).Presiden juga mengatakan,
kepadatan arus lalu lintas di Gerbang Tol Brebes Timur sudah diprediksi
sebelumnya dan minta kementerian terkait menyiapkan dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan agar dapat mengurai kemacetan di ruas itu.
Menteri
Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan berpendapat, kemacetan di Brebes Timur juga
dikarenakan oleh pengoperasian gerbang tol itu yang tidak mempertimbangkan
jalan nasional, yaitu jalur pantura yang sempit. Apalagi, setelah keluar dari
jalan tol, kendaraan bertemu pasar tradisional dan kendaraan dari jalur
pantura.
Jonan
juga sempat meminta pertanyaan terkait antisipasi macet juga ditujukan kepada
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.
Kepala
Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT), di bawah Kementerian PUPR, Heri Trisaputra
menjelaskan, pihaknya telah bekerja seoptimal mungkin membantu menangani arus
lalu lintas saat Lebaran.
Komentar
terkait kemacetan parah di Gerbang Tol Brebes Timur yang dikabarkan juga
menyebabkan sejumlah orang meninggal, juga datang dari Kompleks Parlemen.
Wakil
Ketua DPR Fahri Hamzah menuding kemacetan itu sebagai tanggung jawab semua
menteri di Kabinet Kerja.
Wakil
Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, “Koordinasi antar kementerian
seharusnya jadi kunci untuk menyelesaikan persoalan ini.”
Pernyataan
yang cenderung menyerang pihak lain dan kurang menunjukkan introspeksi terhadap
kinerja diri sendiri memang sering terdengar dari elite politik negeri ini. Bahkan,
fenomena itu juga pernah terjadi di lingkungan kabinet kerja.
Tahun
lalu, misalnya, sempat terjadi silang pendapat antara Wakil Presiden Jusuf
Kalla dan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli soal proyek
pembangkit listrik 35.000 megawatt. Silang pendapat juga terjadi antara Menteri
Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong soal impor
beras.
Tahun
ini, silang pendapat sempat terjadi antara Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno
soal pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Perdebatan juga sempat
terjadi antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dengan
Rizal Ramli, terkait pembangunan kilang gas Blok Masela di Maluku.
Pemerhati
Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Agus Pambagio melihat, persoalan
mendasar dalam polemik penanganan arus mudik ini terletak pada komunikasi yang
keliru. Setiap kementerian sebenarnya telah memiliki tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) masing-masing.
Sarana
dan prasarana transportasi merupakan domain Kementerian Perhubungan. Sementara,
Kementerian PUPR bertanggung jawab atas urusan infrastruktur jalan. Adapun
manajemen lalu lintas merupakan kewenangan kepolisian. Dengan demikian, semua
pihak sebenarnya sama-sama bertanggung jawab atas persoalan macet saat mudik
Lebaran.
“Masalahnya,
ketika Menhub ditanyakan soal pemudik yang meninggal karena macet, dirinya
merasa itu bukan tupoksinya sehingga dijawab dengan ceplas-ceplos. Akhirnya,
kesan yang muncul seolah menteri saling menyalahkan,” papar Agus.
Menurut
pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, komunikasi
pemerintah ke publik selama ini memang cenderung buruk dan tidak efektif.
Alih-alih menjawab duduk persoalan dan memberi solusi dengan tenang, komentar
pertama yang diberikan terkait suatu permasalahan justru “buang badan” atau
melepas tanggung jawab.
“Komunikasi
dan koordinasi tidak hanya buruk antarmenteri, tetapi juga dari menteri ke
publik. Menteri seharusnya tidak mudah menyampaikan pernyataan kepada publik
dan membuat situasi panas,” tuturnya.
Agus
berharap, semua pihak yang bertanggung jawab bersama-sama menjelaskan masalah
dan solusi sesuai dengan tupoksinya, tanpa perlu memicu kegaduhan di ruang
publik. “Kuncinya ada di koordinasi dan komunikasi yang efektif antar menteri
Kabinet Kerja,” ujarnya.
Satu
hal yang pasti, empati dan etika tidak kalah penting. Terkait hal ini, rakyat
tidak hanya menanti solusi dan permintaan maaf dari pemerintah, tetapi juga
ungkapan belasungkawa atas korban jiwa yang terjadi saat arus mudik dan balik
Lebaran ini.
oleh Agnes
Theodora
disadur
dari Kompas, Senin, 11 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar