Editors Picks

Jumat, 29 Juli 2016

KINERJA PEMERINTAHAN - Saat Koordinasi dan Komunikasi Kembali Dipertanyakan…



Kemacetan parah saat arus mudik Lebaran 2016 di sekitar Gerbang Tol Brebes Timur, Jawa Tengah, kembali memunculkan pertanyaan tentang koordinasi dan komunikasi di antara elite politik. Pasalnya, pada hari-hari pertama munculnya persoalan itu, kesan yang muncul di hadapan publik adalah saling tuding dan membela diri.

Kemacetan pada saat arus balik memang terlihat lebih diantisipasi. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pada Sabtu lalu, mewakili pemerintah juga telah minta maaf kepada masyarakat atas ketidaknyamanan perjalanan yang terjadi saat arus mudik Lebaran 2016.Sebelum permintaan maaf itu disampaikan, sejumlah pejabat telah mengeluarkan pernyataan tentang kemacetan tersebut.

Presiden Joko Widodo, mislanya, mengatakan kemacetan tak terelakkan karena belum tuntasnya pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa. “Ada yang berhenti delapan tahun hingga 20 tahun, dan hal itu yang perlu diselesaikan. Mudah-mudahan dua tahun ke depan diselesaikan,” ujarnya (Kompas, 5/7).Presiden juga mengatakan, kepadatan arus lalu lintas di Gerbang Tol Brebes Timur sudah diprediksi sebelumnya dan minta kementerian terkait menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar dapat mengurai kemacetan di ruas itu.

Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan berpendapat, kemacetan di Brebes Timur juga dikarenakan oleh pengoperasian gerbang tol itu yang tidak mempertimbangkan jalan nasional, yaitu jalur pantura yang sempit. Apalagi, setelah keluar dari jalan tol, kendaraan bertemu pasar tradisional dan kendaraan dari jalur pantura.

Jonan juga sempat meminta pertanyaan terkait antisipasi macet juga ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.
Kepala Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT), di bawah Kementerian PUPR, Heri Trisaputra menjelaskan, pihaknya telah bekerja seoptimal mungkin membantu menangani arus lalu lintas saat Lebaran.

Komentar terkait kemacetan parah di Gerbang Tol Brebes Timur yang dikabarkan juga menyebabkan sejumlah orang meninggal, juga datang dari Kompleks Parlemen.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menuding kemacetan itu sebagai tanggung jawab semua menteri di Kabinet Kerja.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, “Koordinasi antar kementerian seharusnya jadi kunci untuk menyelesaikan persoalan ini.”

Pernyataan yang cenderung menyerang pihak lain dan kurang menunjukkan introspeksi terhadap kinerja diri sendiri memang sering terdengar dari elite politik negeri ini. Bahkan, fenomena itu juga pernah terjadi di lingkungan kabinet kerja.

Tahun lalu, misalnya, sempat terjadi silang pendapat antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli soal proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt. Silang pendapat juga terjadi antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong soal impor beras.

Tahun ini, silang pendapat sempat terjadi antara Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno soal pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Perdebatan juga sempat terjadi antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dengan Rizal Ramli, terkait pembangunan kilang gas Blok Masela di Maluku.

Pemerhati Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Agus Pambagio melihat, persoalan mendasar dalam polemik penanganan arus mudik ini terletak pada komunikasi yang keliru. Setiap kementerian sebenarnya telah memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.

Sarana dan prasarana transportasi merupakan domain Kementerian Perhubungan. Sementara, Kementerian PUPR bertanggung jawab atas urusan infrastruktur jalan. Adapun manajemen lalu lintas merupakan kewenangan kepolisian. Dengan demikian, semua pihak sebenarnya sama-sama bertanggung jawab atas persoalan macet saat mudik Lebaran.

“Masalahnya, ketika Menhub ditanyakan soal pemudik yang meninggal karena macet, dirinya merasa itu bukan tupoksinya sehingga dijawab dengan ceplas-ceplos. Akhirnya, kesan yang muncul seolah menteri saling menyalahkan,” papar Agus.

Menurut pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, komunikasi pemerintah ke publik selama ini memang cenderung buruk dan tidak efektif. Alih-alih menjawab duduk persoalan dan memberi solusi dengan tenang, komentar pertama yang diberikan terkait suatu permasalahan justru “buang badan” atau melepas tanggung jawab.

“Komunikasi dan koordinasi tidak hanya buruk antarmenteri, tetapi juga dari menteri ke publik. Menteri seharusnya tidak mudah menyampaikan pernyataan kepada publik dan membuat situasi panas,” tuturnya.

Agus berharap, semua pihak yang bertanggung jawab bersama-sama menjelaskan masalah dan solusi sesuai dengan tupoksinya, tanpa perlu memicu kegaduhan di ruang publik. “Kuncinya ada di koordinasi dan komunikasi yang efektif antar menteri Kabinet Kerja,” ujarnya.

Satu hal yang pasti, empati dan etika tidak kalah penting. Terkait hal ini, rakyat tidak hanya menanti solusi dan permintaan maaf dari pemerintah, tetapi juga ungkapan belasungkawa atas korban jiwa yang terjadi saat arus mudik dan balik Lebaran ini.

oleh Agnes Theodora
disadur dari Kompas, Senin, 11 Juli 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar