Sebuah
pesan WhatsApp saya terima kemarin sore. Isinya singkat: "Terima kasih
parselnya sudah diterima." Pengirim pesan adalah kawan saya di kampung,
Cak Dul panggilannya. Profesinya tukang cukur, satu-satunya pencukur di
kecamatan kami karena banyak orang beralih cukur rambut di salon.
Cak Dul
tergolong generasi ketiga warga muslim yang tinggal di desa saya. Ayahnya
seangkatan dengan saya, pernah menjadi guru di SMA Muhammadiyah Singaraja, kini
sudah tiada. Dan kakek Cak Dul adalah warga legendaris di desa saya.
Panggilannya Pak Sukri, penjual sate ayam Madura. Keluarga Pak Sukri berbaur
dengan warga kampung, ikut gotong royong memperbaiki selokan, rajin begadang di
tempat orang yang ada kematian. Orang-orang desa menyebut mereka nyama selam.
Nyama artinya warga, dan selam merujuk pada agamanya, Islam. Yang kemudian
menjadi unik dari istilah ini, jika ada warga desa yang tidak makan daging
babi, mereka disebut nyelam—seperti selam. Misalnya, dalam suatu hajatan di
kampung, selalu ada pemberitahuan, bagi yang nyelam silakan ke tempat khusus
yang telah disediakan, agar makanan tidak bercampur. Saya tak pernah bertanya
di mana Pak Sukri dikuburkan.
Mendiang
ibu saya sangat dekat dengan keluarga Pak Sukri. Menjelang Lebaran—biasa
disebut galungan selam—ibu membawa ketupat yang sudah dimasak ke rumah Pak
Sukri. Kadang-kadang disertai seekor-dua ekor ayam hidup dari hasil ternak
rumahan. Kenapa ayam hidup? "Nanti dia yang sembelih, kan doanya
beda," ujar ibu saya, setelah saya terjemahkan dari bahasa Bali. Adapun
ketupat itu, kata ibu, konon ibu juga mengutip dari Pak Sukri, "sudah umum
dipakai semua orang Bali dan Jawa". Kata Jawa di sini bukan saja merujuk
pada "luar Bali", tapi juga "yang bukan Hindu". Kata ibu
lagi (barangkali juga mengutip dari Pak Sukri), "ketupat itu tak beragama,
bahannya sama, cara membuatnya sama, memasaknya sama."
Belakangan
anak Pak Sukri—saya lupa menyebut tadi, namanya Zaenal Airifin—menambahkan,
"Kalau ketupat dipotong saat makan-makan Idul Fitri jadilah kupat Lebaran.
Kalau dibawa ke pura, jadilah kupat persembahan." Memang, kalau hari raya
Galungan, keluarga Pak Sukri pun membawa bingkisan ke rumah kami, lengkap
dengan ketupat.
Tradisi
saling mengantar bingkisan makanan di antara warga berbeda agama ini menjadi
hal yang biasa di kampung yang berpenduduk campuran. Bahkan di kampung Islam
Desa Pegayaman (Bali Utara) dan di kampung Islam Desa Kepaon (Bali Selatan),
tradisi ini diwariskan turun-temurun. Masyarakat menyebut dengan istilah
ngejot—saling berbagi.
Sepeninggal
Pak Sukri dan ibu saya, keharmonisan hubungan berlanjut, diteruskan adik-adik
saya dan anak Pak Sukri. Yang berbeda, sudah mulai masuk "jajanan
toko" dan malah itu yang dominan, dibungkus kardus. Nah, pada generasi
ketiga Cak Dul—saya tak paham kenapa memilih jadi tukang cukur di
desa—bingkisan kue dan minuman kaleng ini oleh anak saya dikemas rapi memakai
kertas kado yang sudah umum di desa. Jadilah seperti parsel.
"KPK
melarang pejabat menerima parsel. Untung kita bukan pejabat," begitu pesan
Cak Dul lagi lewat WhatsApp. Saya maklum, parsel di kalangan pejabat dan para
pengusaha sudah disusupi pamrih, ada godaan, mungkin juga keterpaksaan. Beda
dengan bingkisan dalam tradisi ngejot, muncul dari hati untuk menjaga
silaturahmi, perekat yang membuat guyub berbilang tahun. Saya tak membalas
pesan Cak Dul soal parsel, saya hanya menulis: selamat menyongsong Idul Fitri,
maaf lahir batin.
oleh
Putu Setia
disadur
dari Tempo, Jum’at, 1 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar