Agama
selalu memberi pujian kepada orang yang saling memaafkan. Jika berbuat salah
jangan segan-segan mengakui kesalahannya serta meminta maaf dan pihak yang
dimintai jangan pelit untuk memaafkan.
Semuanya
hendaknya dilakukan dengan tulus. Bahkan sekalipun terhadap musuh, memaafkan
itu tindakan yang terpuji. Namun ihwal maaf-memaafkan ini pada praktiknya tidak
semudah membicarakannya. Baik meminta maupun memberi maaf itu berat. Jika itu
terjadi antarnegara, praktiknya semakin berat karena ada unsur gengsi dan harga
diri sebuah negara.
Kebenaran
ajaran agama tentang maaf-memaafkan ini tidak sulit dibuktikan secara empiris
dengan bantuan ilmu jiwa. Orang yang hatinya dipenuhi rasa marah, dendam, dan
kecewa kepada orang lain pasti terasa berat membawanya. Bayangkan, orang
membawa beban fisik saja meskipun ringan jika terus-menerus dibawa pasti akan
letih, capai. Lama-lama akan terasa semakin berat.
Begitu
juga halnya orang yang menyimpan kejengkelan dan kebencian di hati, lamalama
akan semakin terasa berat jika tidak dilepaskan. Ada orang yang melepaskan
kebencian dengan cara menumpahkannya kepada orang yang dibenci. Apa yang
terjadi? Bisa jadi akan lepas sementara, tapi setelahnya justru akan membesar
jika terjadi perlawanan balik.
Perhatikan
saja, sering terjadi perkelahian fisik yang bermula dari adu mulut. Akibatnya
luka di hati kian menganga. Makanya cara terbaik mengurangi beban yang menjadi
penyakit hati adalah saling memaafkan. Ketika orang memaafkan dengan tulus,
yang pertama diuntungkan adalah pihak yang memaafkan karena dengan begitu dia
telah menaruh dan membuang beban di hatinya.
Ada
sebuah eksperimentasi yang dilakukan seorang guru kepada murid-muridnya. Mereka
disuruh membawa kentang masing-masing lima biji. Lalu anak-anak diminta
menuliskan nama lima orang yang mereka benci. Setelah itu dimasukkan di kantong
plastik dan dibiarkan terbuka, tidak boleh diikat rapat.
Kantong
berisi kentang itu mesti dibawa ke mana pun mereka berada, bahkan juga ketika
mau tidur agar diletakkan di sampingnya atau ke kamar kecil, selama seminggu.
Sebelum hari kelima, anakanak mulai mencium bau kentang busuk. Muncul rasa
risi. Mereka menanti tibanya hari pembebasan, hari ketujuh.
Tiba
harinya anak-anak pergi ke sekolah dengan semangat karena sudah tak tahan lagi
dengan bau busuk itu. Lalu bu guru menyuruh membuang kentang busuk itu. Namun
sebelumnya bu guru bertanya kepada murid-muridnya, ”Bagaimana pengalamanmu
dengan kentang-kentang yang kamu bawa itu?” Murid menjawab, ”Bau Bu, kami tidak
tahan. Seminggu serasa lama sekali ke mana-mana diikuti bau busuk.”
Bu guru
pun meneruskan nasihatnya. Begitulah contoh nyata yang sudah mereka rasakan dan
alami sendiri bahwa jika anak-anak itu menyimpan hati busuk berupa kebencian,
iri, dan dengki, mereka sendiri yang akan tersiksa dan merugi. Tapi begitu
kentang busuk itu dibuang, legalah hati anak-anak semua.
Merasa
terbebaskan dari penderitaan bau busuk. Begitu juga halnya jika anak-anak
menjaga hatinya selalu bersih, saling memaafkan, pasti hati serasa lapang dan
hidup nyaman dijalani. Demikianlah, di balik perintah agama agar kita saling
menolong dan maaf-memaafkan, secara empiris ternyata kebaikannya kembali kepada
manusia.
Allah
tidak mengambil keuntungan dari kebaikan hamba-Nya, tidak juga dirugikan atas
kejahatan hamba-Nya. Allah tetap Maha Agung, terlepas manusia akan menyembah- Nya ataukah tidak. Allah tetap Maha
Kaya dan mandiri, apakah hamba-Nya mau bersyukur atau mengingkari anugerah
rezeki- Nya. Maaf-memaafkan ini tidak
saja ketika datang hari Lebaran, tetapi jika ingin hidup sehat, setiap saat
sebaiknya hal itu kita lakukan jika kita merasa terjadi gesekan dengan keluarga
atau teman.
oleh
Komaruddin Hidayat
disadur
dari Koran Sindo, Jum’at, 1 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar