Setiap
hari di jalan-jalan umum Bekasi, Jakarta, Bogor, dan sekitarnya cukup banyak
koin rupiah terkecil (Rp 100 hingga Rp 500) dibuang orang. Koin-koin itu tampak
sudah botak lantaran tergilas-gilas ban kendaraan bermotor yang tak putus lalu
lalang.
Ada
yang permukaannya sudah rata dan ada yang penuh goresan. Saya selalu
memungutnya dan hasilnya pernah mencapai Rp 3.000. Walau nilai nominalnya
kecil, koin-koin tersebut adalah mata uang Republik, bukan sekadar lempengan
tembaga yang terbuang di jalanan.
Perasaan
saya tertusuk ketika koin-koin terkecil itu dipandang setara dengan
puntung-puntung rokok di jalanan. Saya teringat pengalaman yang bikin dada
terpukul keras. Ketika sopir mikrolet yang saya tumpangi menerima ongkos di
antaranya terdiri atas koin Rp 200 sebanyak lima buah, dia melemparkannya ke
jalanan. Kontan saya merasa kesakitan sekaligus marah sebab koin-koin yang
masih kinclong itu baru saya terima dari sebuah pasar swalayan terkenal sebagai
uang kembali.
Di sisi
lain saya pun merasakan ironi: orang miskin seenaknya membuang Rp 1.000 walau
berupa koin-koin terkecil. Apa gunanya koin-koin terkecil itu diproduksi jika
untuk dibuang di jalanan bak puntung rokok? Atau, memang masyarakat kita yang
tak mampu melihat nilai pada mata uang terkecil?
Saya
jadi teringat tentang kantong plastik berbayar di pasar swalayan. Media massa
mencatat bahwa Indonesia bertengger di posisi kedua di dunia sebagai pembuang
sampah plastik ke laut terbanyak setelah Tiongkok di posisi pertama. Menurut
data Jambeck (2015), kantong plastik yang dibuang Indonesia ke laut mencapai
187,2 juta ton. Untuk mengurangi sampah plastik, pada Hari Peduli Sampah Nasional,
21 Februari 2016, pemerintah memberlakukan kantong plastik berbayar di 22
kabupaten di Indonesia. Tiap kantongan plastik di pasar swalayan dihargai Rp
200. Strategi ini dianggap dapat memaksa konsumen membawa sendiri tas belanja
jika berbelanja di pasar swalayan. Harga tersebut senilai koin-koin recehan
yang dibuang ke jalanan.
Benarkah
konsumen terbeban dengan kantong plastik berbayar sehingga membawa tas belanja
atau kantong plastik daur ulang?
Tujuan
tak tercapai
Saya
tak hendak menyoal pemanfaatan uang yang diperoleh peritel dari kantong plastik
berbayar. Pun tak ingin menyoroti keefektifan kebijakan plastik berbayar hanya
pada ritel toko swalayan, minimarket, supermarket, hipermarket, dan perkulakan
tanpa menyertakan pasar tradisional. Yang ingin saya soroti adalah keefektifan
pendekatan "denda" (disinsentif) berupa kantong plastik berbayar.
Sejak
kantong plastik berbayar diterapkan, banyak pasar swalayan yang menawarkan tas
belanja berharga murah dan ringan. Tampilannya elok sehingga bisa digunakan
untuk berbagai kesempatan. Kebijakan denda justru membuka peluang bisnis tas
belanja yang menguntungkan.
Penciuman
produsen pun tajam mengendus perilaku konsumen Indonesia: lebih suka membeli
tas belanja ketimbang membawa atau membuat sendiri dari bahan-bahan daur ulang.
Akibatnya, kebijakan kantong plastik berbayar justru menguntungkan pihak
produsennya. Namun, tunggu dulu, betulkah konsumen merasa terbebani dengan
kantong plastik berbayar?
Sejauh
ini para pelanggan pasar swalayan tak keberatan dengan keharusan membayar
kantong plastik. Mereka yang membawa tas belanja sendiri jumlahnya terlalu
kecil dibandingkan dengan yang bersedia membayar. Lima kantong plastik seharga
Rp 1.000 dinilai tak terlalu mahal. Jumlah ini dengan mudah diperoleh dengan
memungut koin-koin terkecil yang dibuang di jalanan.
Memang,
tak semua pasar swalayan memberi penjelasan tentang bahaya sampah plastik
sekurangnya melalui spanduk atau poster. Namun, para konsumen yang paham pun
tak tergerak oleh kebijakan kantong plastik berbayar. Beberapa pasar swalayan
terkenal sudah cukup lama "berteriak" lewat spanduk besar tentang
bahaya sampah plastik bagi keberlangsungan hidup di Bumi, tetapi para konsumen
tetap cuek bebek. Artinya, tujuan mengurangi sampah plastik tak tercapai.
"Teror"
sampah berlanjut ketika pemudik berada dalam perjalanan pulang kampung. Tak
kurang Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, mengampanyekan "mudik bersih,
mudik rapi, mudik tertib" melalui media sosial. Berbagai media daring
meliput berita tentang sampah yang ditinggal oleh pemudik di pingggir jalan.
Belum terhitung "sampah rutin" seusai shalat Id di pekarangan masjid
atau lapangan terbuka. Bisa dikatakan, di mana ada keramaian, apalagi disertai
para penjual makanan, di situ bertebaran sampah, khususnya sampah plastik.
Denda,
partisipasi publik
Dalam
menangani persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, pendekatan denda atau
bayar hanya efektif bila nilainya dirasakan memberatkan dompet. Koin terkecil
yang banyak dibuang di jalanan menunjukkan bahwa angka tersebut tak bernilai,
termasuk bagi orang miskin. Nilai tukarnya ompong, di kota besar tak ada lagi
barang atau makanan seharga Rp 200.
Kantong
plastik berbayar di pasar swalayan setara dengan koin Rp 200 yang dibuang di
jalanan. Karena itu, orang tak keberatan jika harus membayar kantong plastik
hingga lima buah atau setara dengan Rp 1.000. Denda juga justru menguntungkan
produsen plastik dan tidak mengurangi konsumsi kantong plastik secara
substansial. Lain halnya jika seluruh kantong plastik diganti dengan kantong
kertas yang lebih mudah terurai.
Menurut
teori moral Kohlberg, kebijakan "insentif-disinsentif" tergolong
tahap moral pertama dan bersifat otoriter. Pemerintah mewajibkan denda tanpa
semua konsumen paham dan sadar akan tujuan pengurangan sampah plastik.
Sampah
merupakan masalah bersama, bukan masalah pemerintah saja. Karena itu, kebijakan
paling efektif adalah penyadaran publik disertai dengan penggunaan kantong
alternatif yang ramah lingkungan, seperti kantong kertas. Konsumen memang dapat
dipaksa dengan membayar mahal, tetapi publik yang sadar akan memberi dampak
berantai: pola konsumsi yang ramah lingkungan.
Pendekatan
itu juga memerlukan proses yang agak lama, tetapi hasilnya langgeng
berkelanjutan. Seberapa banyak pun pasukan oranye digaji Pemprov DKI Jakarta,
misalnya ia takkan cukup untuk membersihkan sampah yang dibuang sembarangan
oleh jutaan orang. Selain harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pasukan oranye,
pendekatan ini juga kurang efektif. Lagi pula, demokrasi adalah partisipasi
publik untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
oleh
Rainy MP Hutabarat
disadur dari Kompas, Jum’at 15 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar