Editors Picks

Rabu, 10 Agustus 2016

Koin Terkecil dan Kantong Plastik



Setiap hari di jalan-jalan umum Bekasi, Jakarta, Bogor, dan sekitarnya cukup banyak koin rupiah terkecil (Rp 100 hingga Rp 500) dibuang orang. Koin-koin itu tampak sudah botak lantaran tergilas-gilas ban kendaraan bermotor yang tak putus lalu lalang.
Ada yang permukaannya sudah rata dan ada yang penuh goresan. Saya selalu memungutnya dan hasilnya pernah mencapai Rp 3.000. Walau nilai nominalnya kecil, koin-koin tersebut adalah mata uang Republik, bukan sekadar lempengan tembaga yang terbuang di jalanan.

Perasaan saya tertusuk ketika koin-koin terkecil itu dipandang setara dengan puntung-puntung rokok di jalanan. Saya teringat pengalaman yang bikin dada terpukul keras. Ketika sopir mikrolet yang saya tumpangi menerima ongkos di antaranya terdiri atas koin Rp 200 sebanyak lima buah, dia melemparkannya ke jalanan. Kontan saya merasa kesakitan sekaligus marah sebab koin-koin yang masih kinclong itu baru saya terima dari sebuah pasar swalayan terkenal sebagai uang kembali.

Di sisi lain saya pun merasakan ironi: orang miskin seenaknya membuang Rp 1.000 walau berupa koin-koin terkecil. Apa gunanya koin-koin terkecil itu diproduksi jika untuk dibuang di jalanan bak puntung rokok? Atau, memang masyarakat kita yang tak mampu melihat nilai pada mata uang terkecil?

Saya jadi teringat tentang kantong plastik berbayar di pasar swalayan. Media massa mencatat bahwa Indonesia bertengger di posisi kedua di dunia sebagai pembuang sampah plastik ke laut terbanyak setelah Tiongkok di posisi pertama. Menurut data Jambeck (2015), kantong plastik yang dibuang Indonesia ke laut mencapai 187,2 juta ton. Untuk mengurangi sampah plastik, pada Hari Peduli Sampah Nasional, 21 Februari 2016, pemerintah memberlakukan kantong plastik berbayar di 22 kabupaten di Indonesia. Tiap kantongan plastik di pasar swalayan dihargai Rp 200. Strategi ini dianggap dapat memaksa konsumen membawa sendiri tas belanja jika berbelanja di pasar swalayan. Harga tersebut senilai koin-koin recehan yang dibuang ke jalanan.
Benarkah konsumen terbeban dengan kantong plastik berbayar sehingga membawa tas belanja atau kantong plastik daur ulang?

Tujuan tak tercapai
Saya tak hendak menyoal pemanfaatan uang yang diperoleh peritel dari kantong plastik berbayar. Pun tak ingin menyoroti keefektifan kebijakan plastik berbayar hanya pada ritel toko swalayan, minimarket, supermarket, hipermarket, dan perkulakan tanpa menyertakan pasar tradisional. Yang ingin saya soroti adalah keefektifan pendekatan "denda" (disinsentif) berupa kantong plastik berbayar.

Sejak kantong plastik berbayar diterapkan, banyak pasar swalayan yang menawarkan tas belanja berharga murah dan ringan. Tampilannya elok sehingga bisa digunakan untuk berbagai kesempatan. Kebijakan denda justru membuka peluang bisnis tas belanja yang menguntungkan.

Penciuman produsen pun tajam mengendus perilaku konsumen Indonesia: lebih suka membeli tas belanja ketimbang membawa atau membuat sendiri dari bahan-bahan daur ulang. Akibatnya, kebijakan kantong plastik berbayar justru menguntungkan pihak produsennya. Namun, tunggu dulu, betulkah konsumen merasa terbebani dengan kantong plastik berbayar?

Sejauh ini para pelanggan pasar swalayan tak keberatan dengan keharusan membayar kantong plastik. Mereka yang membawa tas belanja sendiri jumlahnya terlalu kecil dibandingkan dengan yang bersedia membayar. Lima kantong plastik seharga Rp 1.000 dinilai tak terlalu mahal. Jumlah ini dengan mudah diperoleh dengan memungut koin-koin terkecil yang dibuang di jalanan.

Memang, tak semua pasar swalayan memberi penjelasan tentang bahaya sampah plastik sekurangnya melalui spanduk atau poster. Namun, para konsumen yang paham pun tak tergerak oleh kebijakan kantong plastik berbayar. Beberapa pasar swalayan terkenal sudah cukup lama "berteriak" lewat spanduk besar tentang bahaya sampah plastik bagi keberlangsungan hidup di Bumi, tetapi para konsumen tetap cuek bebek. Artinya, tujuan mengurangi sampah plastik tak tercapai.

"Teror" sampah berlanjut ketika pemudik berada dalam perjalanan pulang kampung. Tak kurang Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, mengampanyekan "mudik bersih, mudik rapi, mudik tertib" melalui media sosial. Berbagai media daring meliput berita tentang sampah yang ditinggal oleh pemudik di pingggir jalan. Belum terhitung "sampah rutin" seusai shalat Id di pekarangan masjid atau lapangan terbuka. Bisa dikatakan, di mana ada keramaian, apalagi disertai para penjual makanan, di situ bertebaran sampah, khususnya sampah plastik.

Denda, partisipasi publik
Dalam menangani persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, pendekatan denda atau bayar hanya efektif bila nilainya dirasakan memberatkan dompet. Koin terkecil yang banyak dibuang di jalanan menunjukkan bahwa angka tersebut tak bernilai, termasuk bagi orang miskin. Nilai tukarnya ompong, di kota besar tak ada lagi barang atau makanan seharga Rp 200.

Kantong plastik berbayar di pasar swalayan setara dengan koin Rp 200 yang dibuang di jalanan. Karena itu, orang tak keberatan jika harus membayar kantong plastik hingga lima buah atau setara dengan Rp 1.000. Denda juga justru menguntungkan produsen plastik dan tidak mengurangi konsumsi kantong plastik secara substansial. Lain halnya jika seluruh kantong plastik diganti dengan kantong kertas yang lebih mudah terurai. 

Menurut teori moral Kohlberg, kebijakan "insentif-disinsentif" tergolong tahap moral pertama dan bersifat otoriter. Pemerintah mewajibkan denda tanpa semua konsumen paham dan sadar akan tujuan pengurangan sampah plastik.


Sampah merupakan masalah bersama, bukan masalah pemerintah saja. Karena itu, kebijakan paling efektif adalah penyadaran publik disertai dengan penggunaan kantong alternatif yang ramah lingkungan, seperti kantong kertas. Konsumen memang dapat dipaksa dengan membayar mahal, tetapi publik yang sadar akan memberi dampak berantai: pola konsumsi yang ramah lingkungan.

Pendekatan itu juga memerlukan proses yang agak lama, tetapi hasilnya langgeng berkelanjutan. Seberapa banyak pun pasukan oranye digaji Pemprov DKI Jakarta, misalnya ia takkan cukup untuk membersihkan sampah yang dibuang sembarangan oleh jutaan orang. Selain harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pasukan oranye, pendekatan ini juga kurang efektif. Lagi pula, demokrasi adalah partisipasi publik untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.

oleh Rainy MP Hutabarat
disadur dari Kompas, Jum’at 15 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar