Setelah
serangan terorisme di Jalan Thamrin, Jakarta, pemerintah akhirnya mewujudkan
rencananya mendorong perubahan UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Pemerintah berdalih UU itu belum cukup memadai bagi
penanggulangan ancaman terorisme.
RUU
perubahan atas UU itu saat ini telah diajukan pemerintah kepada DPR dan akan
dibahas di tingkat panitia khusus, gabungan anggota Komisi I dan Komisi III.
Dalam
perjalanannya, RUU perubahan itu menuai banyak kritik kalangan masyarakat
sipil. Penambahan sejumlah wewenang baru dalam draf yang diajukan kepada DPR
menunjukkan arah substansi RUU ini yang cenderung menabalkan kekuasaan negara
dan kian menguatkan sifat draconian UU Terorisme. Sejumlah pasal baru
berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Kematian
Siyono yang belum lama terjadi mestinya catatan serius untuk evaluasi dalam
penanggulangan terorisme. Kematiannya mengingatkan bahwa terorisme memang harus
ditanggulangi.
Akan
tetapi, pelaksanaannya yang eksesif, tanpa pengawasan yang efektif, serta tak
adanya akuntabilitas tentu sangat berbahaya. Kita seperti tak pernah bercermin
pada pengalaman buruk pemberantasan terorisme yang menghasilkan salah tembak
dan tangkap.
Ancaman
terorisme tentu harus ditanggulangi sebab, seperti terlihat di sejumlah kasus,
ia mengabaikan prinsip diskriminatif target. Fasilitas publik dan warga sipil
acap kali sasaran aksi untuk menyampaikan pesan.
Dengan
tingkat ancaman serius terorisme ini, kebijakan negara untuk menanggulanginya
tak hanya perlu, tetapi juga keharusan. Negara wajib menjamin dan memastikan
rasa aman masyarakat. Namun, mengingat kompleksitas akar dan masalah terorisme,
kebijakan penanggulangan ancaman terorisme oleh negara mesti komprehensif
dengan tujuan mencegah potensi terorisme dan mempersempit ruang gerak pelaku.
Pendekatan
hukum hanya salah satu instrumen dalam kebijakan anti terorisme. Pendekatan
hukum dalam menangani terorisme tetap harus dibangun dan dijalankan selaras
dengan prinsip negara hukum, menghormati tata negara demokrasi, dan menjamin
perlindungan HAM.
Dalam
masyarakat yang demokratis, hukum berfungsi memberi, mendefinisikan, dan
mengatur pelaksanaan wewenang negara. Pengaturan batas wewenang itu harus
dibuat jelas dan terukur sehingga hukum bisa melindungi hak-hak warga negara
dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan negara.
Isu
krusial
RUU
perubahan yang diajukan justru cenderung meningkat- kan kekuasaan negara
melalui penambahan wewenang baru yang berlebihan. Di saat yang sama ia
mengabaikan prinsip, standar, norma hukum, dan HAM. RUU ini memasukkan
ketentuan baru yang problematik dan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Pertama,
persoalan perpanjangan masa penangkapan. Pasal 28 RUU ini menyatakan, penyidik
berwenang melakukan penangkapan dalam 30 hari kepada orang yang diduga
melakukan tindak pidana terorisme.
Dibandingkan
dengan masa penangkapan yang diatur dalam KUHAP (1 x 24 jam) dan yang diatur
dalam UU Terorisme saat ini (7 hari), perpanjangan masa penangkapan yang diatur
dalam Pasal 28 RUU ini terlalu lama.
Itu
bisa membuka ruang dan terjadinya pelanggaran HAM, seperti kekerasan dan penyiksaan,
di tengah lemahnya pengawasan dan akuntabilitas. Masa penangkapan yang diatur
dalam UU Antiterorisme saat ini dan KUHAP sebenarnya sudah cukup bagi aparat
penegak hukum untuk menanggulangi aksi terorisme. Terbukti, dengan masa
penangkapan 7 hari, selama ini aparat penegak hukum berhasil membongkar dan
menangkap orang yang terlibat dalam berbagai kelompok teroris di Indonesia.
Perpanjangan
masa penahanan sejak penyidikan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi
300 hari juga problematik. Tak hanya berpotensi terjadi pelanggaran HAM, juga
membu- at seseorang terlalu lama dalam status hukum sebagai tersangka hingga
sidang pengadilan menyatakan dia bersalah atau tidak. Dibandingkan dengan KUHAP
(170 hari), perpanjangan ini jelas akan merugikan hak tersangka untuk dapat
disidang dalam proses peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya murah.
RUU
perubahan ini juga berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi,
terlihat dalam klausul pemidanaan atas penyebaran bentuk ekspresi tertentu,
seperti diatur dalam Pasal 13A RUU ini.
Klausul
pemidanaan yang dirumuskan sangat meluas dan multi-interpretatif. Frasa
"dapat mendorong perbuatan atau tindak kekerasan" oleh audiens
berbeda bisa ditafsirkan subyektif. Pasal ini berpotensi membatasi dan
mengkriminalkan pemikiran dan ekspresi yang sah.
Persoalan
serius lain dalam RUU perubahan ini adalah pasal 43A ayat (1) yang memberi
kewenangan baru kepada penyidik atau penuntut umum membawa atau menempatkan
orang tertentu dan di tempat tertentu selama 6 bulan untuk tujuan program
deradikalisasi, yang mirip dengan soft
detention. Program deradikalisasi melalui pendekatan semacam ini bukan
hanya salah, melainkan juga sangat berbahaya. Ketentuan ini bisa digunakan
menciptakan banyak kamp penahanan dan berpotensi menimbulkan
kekerasan-penyiksaan.
Prinsip
pengaturan tata kelola keamanan yang demokratis juga dilanggar dalam RUU
perubahan ini. Pasal 34B mengatur pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme
dalam kerangka tugas perbantuan kepada polisi. Pelibatan TNI memang
dimungkinkan sebagai bagian operasi militer selain perang.
Pelibatan
TNI mestinya tidak diatur dalam RUU ini, tetapi dalam RUU perbantuan yang
mengatur komprehensif tentang prasyarat kondisi, mekanisme, dan prosedur bagi
tugas perbantuan TNI.
Dengan
luasnya lingkup yang dicakup dalam penanggulangan terorisme dan tiadanya
pengaturan jelas tentang prasyarat kondisi dan mekanisme perbantuan itu,
klausul ini berbahaya karena bisa membuka ruang keterlibatan TNI dalam semua
aspek penanggulangan terorisme dalam dalih tugas perbantuan, mulai dari
pencegahan hingga penindakan. Keterlibatan TNI tentu berpotensi mengganggu dan
merusak mekanisme criminal justice
system.
Lebih
lanjut, pasal 31 RUU perubahan ini yang memberi wewenang bagi penyidik untuk
melakukan penyadapan tanpa melalui mekanisme izin ketua pengadilan berpotensi
disalahgunakan dan melanggar hak privasi warga negara.
Pengaturan
tentang masalah penyadapan semestinya mengacu kepada putusan MK No 5/ PUU-VIII/2010
yang menyatakan, penyadapan sebaiknya diatur dalam aturan perundang-undangan
tersendiri. Ini diperlukan untuk memastikan mekanisme kontrol dan
akuntabilitas.
Perlu
keseimbangan
Pembentukan
legislasi anti terorisme sebagai payung hukum bagi penanggulangan ancaman
terorisme memang perlu dan harus dibuat. Namun, penting diingat bahwa legislasi
itu harus dibentuk sejalan dengan kepentingan perlindungan hak-hak warga
negara.
Di
titik ini, membangun keseimbangan antara keamanan dan kebebasan sangat penting
dalam legislasi anti terorisme sehingga penanggulangan ancaman terorisme tidak
menciptakan teror lain bagi publik.
Liberty and security of person adalah hak setiap
warga negara, selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun, juga bersifat
tidak dapat diceraikan. Berbahaya apabila negara bertindak dalam pikiran keliru
bahwa hak-hak fundamental itu bisa saling menggantikan. Dalam menyusun
kebijakan anti terorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar:
menempatkan perlindungan terhadap kebebasan dalam suatu titik perimbangan yang
permanen dengan perlindungan terhadap security
of person.
oleh Todung Mulya Lubis
Disadur dari Kompas, Selasa, 12 Juli 2016
oleh Todung Mulya Lubis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar