PERMANENT Court of Arbitration (PCA) yang
menyidangkan perkara yang diajukan Filipina terhadap Tiongkok terkait dengan
konflik di Laut China Selatan, Selasa (12/7), memang telah membuat putusan.
Majelis Arbitrase terdiri dari Thomas A Mensah dari Ghana yang bertindak
sebagai ketua, Jean-Pierre Cot (Prancis), Stanislaw Pawlak (Polandia), Alfred
HA Soons (Belanda), dan Rudiger Wolfrum (Jerman). Isi putusan setebal 501
halaman tersebut oleh berbagai pihak tengah dipelajari dan dikaji.
Bersamaan
dengan putusan tersebut, sekretariat PCA telah mengeluarkan press release yang meringkas substansi
dari putusan. Tulisan ini didasarkan pada press
release yang dikeluarkan. Substansi putusan pada dasarnya dibagi dalam dua
kategori.
Pertama,
terhadap masalah kewenangan majelis dalam memeriksa perkara dan ketidakhadiran
Tiongkok dalam persidangan. Majelis menyatakan mempunyai kewenangan dan
ketiadaan pembelaan dan berbagai dokumen yang dibutuhkan oleh majelis tidak
menghalangi majelis untuk membuat putusan. Majelis mengandalkan ahli independen
yang ditunjuk dan meminta berbagai informasi dari Filipina.
Majelis
juga menegaskan bahwa putusannya tidak terkait dengan masalah kedaulatan (soveregnity) atas wilayah darat dan
batasan laut (sea delimitation). Oleh
karena itu, sengketa kepulauan di Spratly sama sekali tidak disentuh majelis.
Substansi
Dalam kategori kedua, berisi substansi putusan yang terdiri dari lima hal. Pertama adalah klaim sembilan garis putus oleh Tiongkok berdasarkan hak sejarah (historic rights). Untuk hal ini, majelis berpendapat Tiongkok tidak bisa melakukan klaim ini karena tidak sesuai dengan pengaturan zona ekonomi eksklusif (ZEE) berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Di samping itu, majelis berpendapat bahwa Tiongkok tidak punya bukti terkait dengan pelaksanaan hak eksklusif (exercised exclusive control) atas perairan dan sumber dayanya di Laut China Selatan.
Dalam kategori kedua, berisi substansi putusan yang terdiri dari lima hal. Pertama adalah klaim sembilan garis putus oleh Tiongkok berdasarkan hak sejarah (historic rights). Untuk hal ini, majelis berpendapat Tiongkok tidak bisa melakukan klaim ini karena tidak sesuai dengan pengaturan zona ekonomi eksklusif (ZEE) berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Di samping itu, majelis berpendapat bahwa Tiongkok tidak punya bukti terkait dengan pelaksanaan hak eksklusif (exercised exclusive control) atas perairan dan sumber dayanya di Laut China Selatan.
Untuk
masalah ini, tidak hanya Filipina yang diuntungkan, tetapi juga negara-negara
lain yang dilewati sembilan garis putus Tiongkok, termasuk Indonesia. Indonesia
dalam beberapa waktu ini dibuat repot oleh Tiongkok karena mereka tidak
mengakui ZEE Indonesia di perairan Natuna. Sebaliknya, Tiongkok merasa para
nelayannya mempunyai hak untuk menangkap ikan di wilayah yang diistilahkan
sebagai traditional fishing ground.
Istilah traditional fishing ground
tersebut didasarkan pada sembilan garis putus. Isu kedua yang diputus oleh
majelis terkait dengan status dari features.
Adapun
yang dimaksud dengan features di sini
ialah pulau, karang, dan batuan, termasuk juga apakah pulau tertentu dapat
memiliki laut teritorial. Terhadap isu kedua ini akan sangat bermanfaat ketika
negara melakukan interpretasi atas ketentuan yang ada dalam UNCLOS. Indonesia
bisa melakukan rujukan atas berbagai tafsir ketentuan UNCLOS dalam perundingan
batas maritim dengan negara yang berbatasan. Masalah ketiga yang diputus oleh
majelis ialah keabsahan tindakan Tiongkok atas pelaksanaan hak berdaulat
Filipina di ZEE-nya, di antaranya kegiatan penangkapan ikan dan eksplorasi
minyak. Masalah keempat berkaitan dengan tindakan Tiongkok yang merusak
lingkungan laut atas pembangunan pulau buatan di Kepulauan Spratly.
Terakhir,
ialah putusan yang berkaitan tindakan Tiongkok yang tidak bersahabat terhadap
Filipina setelah dibawanya kasus ini ke PCA. Majelis menganggap tindakan
Tiongkok untuk membangun pulau buatan sebagai tindakan yang tidak bersahabat
pasca-dimasukkannya perkara ini ke PCA oleh Filipina. Namun, Majelis menganggap
tidak mempunyai kewenangan dalam hal yang berkaitan dengan penggunaan kekerasan
oleh Tiongkok yang dilakukan terhadap Filipina.
Eksekusi
Berbeda dengan pengadilan nasional yang putusannya bila tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat diminta untuk dipaksakan oleh pengadilan. Dalam konteks hukum internasional, hal ini tidak dapat dilakukan. Pemaksaan atas putusan lembaga peradilan internasional tidak dikenal. Pemaksaan, kalaupun dilakukan, hanya bisa apabila negara yang hendak memaksakan melakukan tindakan sendiri (self help), bukan dilakukan lembaga peradilan internasional. Tindakan ini, antara lain embargo ekonomi, pemutusan hubungan dagang ataupun hubungan diplomatik, bahkan penggunaan kekerasan.
Berbeda dengan pengadilan nasional yang putusannya bila tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat diminta untuk dipaksakan oleh pengadilan. Dalam konteks hukum internasional, hal ini tidak dapat dilakukan. Pemaksaan atas putusan lembaga peradilan internasional tidak dikenal. Pemaksaan, kalaupun dilakukan, hanya bisa apabila negara yang hendak memaksakan melakukan tindakan sendiri (self help), bukan dilakukan lembaga peradilan internasional. Tindakan ini, antara lain embargo ekonomi, pemutusan hubungan dagang ataupun hubungan diplomatik, bahkan penggunaan kekerasan.
Tiongkok
sejak awal sudah menyatakan tidak akan mengakui Majelis Arbitrase dan
putusannya. Artinya, tergantung pada Filipina untuk memaksakan putusan majelis
untuk dijalankan Tiongkok. Namun, melihat kedigdayaan Tiongkok, ialah mustahil
bagi Filipina untuk memaksakan putusan Majelis PCA ke 'Negeri Tirai Bambu'
tersebut. Ketergantungan Filipina terhadap Tiongkok tidak memungkinkan negeri
jiran tersebut menekan Tiongkok.
Oleh karena
itu, tidak ada jalan lain bagi Filipina untuk melakukan dialog dengan Tiongkok
agar negara tersebut mau mengakomodasi putusan Majelis PCA dalam kebijakannya
di Laut China Selatan. Indonesia, baik secara sendiri maupun melalui ASEAN,
perlu mendorong agar Filipina dan Tiongkok membuka dialog dan bernegosiasi.
Indonesia mempunyai kewajiban ini karena berdasarkan konstitusi, Indonesia
punya mandat untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia.
oleh
Hikmahanto Juwana
disadur
dari Media Indonesia, Kamis, 14 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar