Akhirnya
putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent
Court of Arbitration/PCA) yang memeriksa perkara antara Filipina melawan
Tiongkok telah keluar. PCA membuat putusan setebal 501 halaman yang sangat
berpihak pada Filipina.
Putusan
ini sudah diprediksi oleh banyak kalangan. Kementerian Luar Negeri Tiongkok
melalui siaran persnya telah menyampaikan ketidaksukaan pemerintahnya atas
putusan ini.
Di
samping PCA yang dibentuk dianggap memiliki banyak cacat sejak awal, PCA juga
dianggap salah dalam substansi putusannya. Oleh karenanya, Tiongkok tidak
merasa terikat oleh putusan ini.
Meski
Indonesia bukan pihak dalam arbitrase ini, Indonesia patut bersyukur. Bersyukur
karena PCA tidak mengakui klaim Tiongkok atas Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line).
Menurut
PCA, klaim ini tak sesuai dengan hak berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
yang didasarkan pada Konvensi Internasional tentang Hukum Laut (UNCLOS). Bahkan,
secara historis, menurut PCA, Tiongkok tak pernah menjalankan hak eksklusifnya
(exercised exclusive control).
Putusan PCA terkait Sembilan Garis Putus sangat sesuai dengan posisi Pemerintah
Indonesia yang tak mengakui klaim Tiongkok atas Traditional Fishing Ground. Keberadaan Traditional Fishing Ground didasarkan pada klaim Tiongkok atas
Sembilan Garis Putus.
Oleh
karenanya, otoritas Indonesia bisa lebih percaya diri melakukan penegakan hukum
atas kapal-kapal nelayan berbendera Tiongkok yang beroperasi di ZEE Indonesia.
Mereka melakukan penangkapan ikan yang tidak sah. Pemerintah pun lebih
mempunyai dasar untuk memfasilitasi dan memberikan insentif kepada ribuan nelayan
asal Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah yang diklaim sebagai
Traditional Fishing Ground oleh
Tiongkok.
Pernyataan
yang dikeluarkan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok bahwa antara
Indonesia dan Tiongkok terdapat tumpang tindih hak dan kepentingan maritim (overlapping maritime rights and interests)
sama sekali tidak berdasar.
Sikap
Indonesia dan reaksi Tiongkok
Atas
dikeluarkannya putusan PCA, Pemerintah Indonesia perlu segera mengeluarkan
pernyataan. Paling tidak ada tiga poin yang perlu disampaikan.
Pertama,
semua negara wajib menghormati putusan PCA. Kedua, Pemerintah Tiongkok diimbau
menahan diri dalam eskalasi kehadiran militernya di Laut Tiongkok Selatan
(LTS). Terakhir, Indonesia mendorong negara-negara yang memiliki kepentingan
untuk melakukan dialog dengan Tiongkok berdasarkan putusan PCA. Dengan
demikian, Tiongkok tak merasa dipojokkan oleh negara-negara dengan adanya
putusan arbitrase.
Dunia
kini menanti reaksi dari Tiongkok. Apakah Tiongkok akan mengorbankan perdamaian
di kawasan dengan melancarkan kebijakan zero
sum game? Atau, Tiongkok akan menyesuaikan berbagai kebijakannya di LTS
dengan putusan meski tak dalam bahasa yang sesuai dengan putusan? Satu hal yang
pasti, dunia dan Tiongkok tak mungkin mengorbankan perdamaian yang telah
terbangun sejak lama.
Dunia
membutuhkan Tiongkok sebagaimana Tiongkok membutuhkan dunia. Tindakan yang
menggunakan kekerasan oleh Tiongkok untuk menyatakan kehadirannya di LTS tak
akan punya banyak arti. Demikian pula dunia tidak mungkin memaksakan Tiongkok
mematuhi putusan. Tiongkok terlalu besar untuk dipaksa mengimplementasikan
putusan.
Dalam
konteks demikian, Putusan PCA berfungsi sebagai penekan agar Tiongkok
menyesuaikan dirinya di LTS dengan norma yang terdapat dalam UNCLOS. Namun,
dunia harus bersiap apabila Tiongkok melakukan tindakan yang tak diinginkan.
Mulai dari menyatakan diri mengundurkan diri dari UNCLOS hingga meningkatkan kehadirannya
baik militer maupun nonmiliter dengan mengirim para nelayannya di LTS.
Apa pun
tindakan yang diambil Tiongkok, dunia dan negara-negara harus siap menghadapi.
Dunia dan Tiongkok harus dapat mengelola dinamika pasca-putusan arbitrase.
Perdamaian kawasan harus dapat dijaga.
oleh Hikmahanto Juwana
oleh Hikmahanto Juwana
disadur
dari Kompas, Kamis, 14 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar