Kekacauan adalah peluang! Ini adalah salah satu model strategi di dunia bisnis. Kekacauan dalam konteks ini adalah terjadinya suatu gelombang perubahan yang besar (wave disruption) yang disebabkan berbagai hal, seperti sosial, politik atau teknologi, yang bisa membuka peluang masuknya pesaing baru, atau bahkan mengubur bisnis yang tadinya eksis.
Hal
paling mutakhir, kita baru saja dikejutkan oleh masuknya bisnis baru taksi
online, yang mengancam eksistensi taksi konvensional. Apa yang terjadi di
bisnis taksi itu kini juga sedang melanda bisnis keuangan.
Kemajuan
teknologi Internet, telah melahirkan kekacauan di bidang teknologi informasi
dan komunikasi, sehingga membuka peluang menjalankan model strategi kekacauan
adalah peluang, berupa lahirnya model permodalan baru yang sekarang populer
dengan sebutan crowdfunding.
Menurut
studi yang dilakukan Massolution, sebuah platform yang bergerak d bidang talent scout yang
menyediakan tenaga crowdsourcing
secara online, pada tahun 2015 nilai investasi crowdfunding mencapai
US$34 miliar.
Padahal
2010, nilai investasi tersebut baru mencapai US$880 juta. Bahkan, dengan nilai
investasi sebesar itu, crowdfunding
telah menundukkan kehebatan venture
capital (VC) yang selama ini merajai pendanaan startup di Silicon Valley
dengan menggelontorkan investasi rata-rata US$30 miliar per tahun.
Jika
tren pertumbuhan nilai investasi crowdfunding
dapat bertahan dua kali lipat per tahun seperti selama ini, maka dapat
dipastikan sejak tahun ini kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada VC—dan
juga angel investor yang nilai investasinya hanya rata-rata US$20 miliar per
tahun.
Pada
tahun 2025, Bank Dunia dan Massolution memprediksi angka yang sama, yaitu nilai
investasi crowdfunding
akan mencapai US$93 miliar.
Kalau
tren nilai investasi crowdfunding
meningkat dua kali lipat setiap tahun, bagaimana dengan lembaga dan
penyebarannya?
Di
kawasan Eropa, crowdfunding
tumbuh subur dalam beberapa tahun terakhir. Sementara, di AS pertumbuhan crowdfunding agak
terhambat. Ini disebabkan adanya ketentuan hanya investor yang bersertifikat
saja yang boleh melakukan investasi pada crowdfunding.
Namun,
sebenarnya hal itu bukanlah hambatan yang serius. Masih menurut studi
Massolution, saat ini diperkirakan ada 250 juta orang kelas investor baru yang
siap berpartisipasi dalam industri crowdfunding.
Sementara
itu, Bank Dunia membuat model empiris untuk memprediksi di negara mana saja
kemungkinan terbesar crowdfunding
tumbuh subur. Studi memasukkan variabel ekonomi, regulasi, kebudayaan dan
beberapa variabel normatif.
Hasilnya
menunjukkan, di negara-negara dunia kedua (negara-negara sosialis) dan dunia
ketiga, crowdfunding
berhubungan dengan aliran investasi asing lang sung dan aliran investasi
diaspora. Jadi crowdfunding
di negara-negara dunia kedua dan ketiga akan banyak didominasi investor asing,
imigran dari negara-negara tersebut, dan organisasi-organisasi yang dibentuk
para imigran yang memikirkan negaranya.
Bagaimana
dengan Indonesia? Karena Indonesia termasuk negara dunia ketiga, maka crowdfunding yang masuk
Indonesia tentunya yang investornya berasal dari warga asing, diaspora
Indonesia dan organisasi-organisasi yang dibentuk warga Indonesia—baik dari
luar maupun dalam negeri—yang memiliki kepedulian terhadap Indonesia.
Memang,
tren terbaru menunjukkan mulai banyak pengusaha maupun grup perusahaan yang
membentuk VC atau angel
investor. Agak terlambat memang.
Untuk
crowdfunding,
pastinya belum banyak. Mengulang kehadiran VC dan angel investor, kemungkinan crowdfunding juga akan
terlambat masuk gelanggang bisnis investasi di Indonesia. Salah satu—kalau
bukan satu-satunya— crowdfunding
yang sudah sukses adalah Dompet Dhuafa. Dari sisi platform, pertumbuhannya juga
luar biasa.
Dalam
lima tahun terakhir, platform crowdfunding
yang tadinya masih bisa dihitung dengan jari, kini sudah berkembang biak
menjadi mendekati 1.000 situs, dan beroperasi disetiap benua. Para entrepreneur kini bisa memanfaatkan crowdfunding di lebih dari
27 negara.
Industri Keuangan
Kalau
VC dan angel investor, yang relatif
lebih baru dan relevan dengan lingkungan teknologi mutakhir saja bisa
dikalahkan oleh crowdfunding,
bagaimana dengan bisnis keuangan “konvensional” seperti bank, pasar modal,
pembiayaan dan yang lainnya?
Pertanyaan
ini cukup menantang untuk dijawab. Sepertinya hal ini sudah disadari, dan
beberapa studi dan simulasi sudah dilakukan.
Hasil
sementara menunjukkan, model strategi kekacauan adalah peluang akan berjalan:
tidak saja melahirkan bisnis baru crowdfunding,
tapi ada kemungkinan mengubur bisnis-bisnis yang sudah eksis seperti VC. Jadi
bisnis keuangan konvensional bisa menunggu giliran, jika tidak mampu
beradaptasi dengan tuntutan lingkungan mutakhir.
World
Economic Forum (WEF) melaporkan hasil kajiannya, bahwa bisnis keuangan konvensional
akan bertahan jika melakukan dua hal.
Pertama,
dari sisi produk lembaga keuangan konvensional harus menciptakan produk-produk
yang mampu bersaing dengan crowdfunding.
Inovasi perbankan yang menghadirkan branchless dan laku pandai yang mampu menjangkau
pengusaha UKM, sepertinya memberi harapan.
Kedua,
dari sisi institusi. Ada dua hal yang direkomendasikan, pertama berkolaborasi
dengan pemain non tradisional (termasuk crowdfunding)
dan kedua, mempertajam spesialisasi bisnis.
Hasil
kajian kedua WEF itu sejalan dengan studi yang dilakukan Vlerick Business
School. Sekolah bisnis asal Belgia ini menemukan bahwa kehadiran crowdfunding belum jelas
benar apakah akan mematikan bisnis keuangan konvensional.
Melihat
“perilaku” crowdfunding
yang lebih fokus pada memodali startup
business dan berskala kecil, sepertinya masih akan lama untuk bisa
mengalahkan perbankan dan pasar modal. Meski demikian, memang tidak bisa
diabaikan.
Yang
bisa dilihat dalam jangka pendek ke depan, “pembagian bisnis” seperti itu— crowdfunding fokus pada
startup kecil—bisa terus dipertahankan.
Namun
jika tren crowdfunding
seperti diramalkan Bank Dunia dan Massolution tak bisa dihentikan, maka ada dua
pilihan yang bisa dilakukan lembaga keuangan konvensional: berkolaborasi atau
berbagi kue.
Apapun
yang terjadi, yang perlu disiapkan adalah regulasi, sebelum crowdfunding mencapai booming. Saat ini yang
paling getol melangkah ke arah itu adalah Inggris dan beberapa negara Eropa
lainnya. Sementara AS, masih mengambil langkah slow motion.
Andai Indonesia ingin segera mengatur industri ini, maka hal prinsip yang harus dipegang adalah: regulasi dibuat dengan tujuan melindungi investor dan entrepreneur dari risiko, bukan malah menghambat perkembangannya.
oleh: Sarwidji Widoatmodjo
disadur dari Bisnis, Selasa, 31 Mei 2016