IBARAT
embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul Fitri kali ini
melahirkan situasi 'kesucian' yang riskan. Pribadi-pribadi boleh saja terlahir
kembali bak embun suci, tetapi relung kehidupan negara tempat mereka bertahan
ialah ruang yang cemar.
Menjelang
penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran bumi dari onggokan sampah
kebiadaban terorisme, perampasan, dan intoleransi atas nama agama, korupsi
penegak hukum dan wakil rakyat, konsumerisme di tengah kelesuan perekonomian,
hingga kematian belasan pemudik akibat kelalaian pelayanan publik.
Saat
gema takbir berkumandang, kehidupan seperti roller
coaster yang berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar
fitrah yang meneguhkan sikap hidup yang positif dan kegelapan bumi yang menebar
bayangan hidup yang negatif. Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri
bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja.
Kita
tidak cukup menjadi suci secara pribadi, tetapi yang lebih penting bagaimana
kesucian itu bisa dipakai untuk menyucikan kehidupan negeri. Seperti kata
Aristoteles, "Manusia baik belum tentu menjadi warga negara yang baik.
Manusia baik hanya bisa menjadi warga negara yang baik bilamana negaranya juga
baik sebab di dalam negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi
warga negara yang buruk."
Di satu
sisi, kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif sebab pemikiran negatif
tak akan membawa kebaikan. Psikolog David D Burn mengingatkan, depresi kejiwaan
merupakan hasil pemikiran yang salah. Ketika seseorang atau suatu bangsa
depresi oleh belenggu pesimisme, daya hidup dilumpuhkan oleh jeratan 4D, yaitu defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan deprived (rasa tercerabut)--yang dihayati
sebagai kebenaran dan kenyataan sejati.
Ada
pembelajaran
Lebaran
menghadirkan optimisme yang lebar, bahwa setiap krisis mengandung peluang
pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab mengatakan, "Betapa banyak
jalan keluar yang datang setelah kepahitan, dan betapa banyak kegembiraan
datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada pemilik Arasy, akan
memetik manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri."
Di sisi
lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis, bahwa kegembiraan
tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan dengan
pengorbanan. Dalam gunungan sampah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini
diperlukan persenyawaan jutaan titik embun untuk menjadi gelombang kesucian
yang bisa menyucikan najis kekotoran yang melumuri jiwa kenegaraan.
Usaha
penyucian harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal kemerosotan
sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad, dalam
jalan pertobatan hal negatif bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan
'kebohongan'. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita
bermula. Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi
kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara.
Kebohongan
itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme dan politik
pencitraan yang mengabaikan esensi dan substansi. Dalam meloloskan berbagai
undang-undang dan keputusan yang mengabaikan nalar publik, otoritas terkait
acap kali menutupi kebohongannya dengan dalih 'sudah sesuai prosedur'.
Persoalan
tidak diatasi dengan kerja nyata, tetapi ditutupi dengan manipulasi pencitraan.
Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan negeri ini
menjadi negeri kebohongan. Korupsi setiap pemerintahan, kata Montesquieu,
selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan.
Kebohongan
memperoleh akarnya pertama kali ketika aturan bisa dikorup demi pragmatika
politik. Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk
memperkuat etika sosial. Gairah keagamaan tidak berhenti pada narsisme
simbolisnya, tetapi pada penguatan misi profetiknya dalam memperjuangkan
kemaslahatan hidup bersama.
Fitrah
negeri
Dengan
hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, kepulangan kita ke
fitrah kesejatian manusia diharapkan bias memijarkan semangat kembali ke fitrah
bernegara. Dalam krisis jati diri dan disorientasi politik, pilihan terbaik
memang kembali ke akar. Meminjam ungkapan Amartya Sen, "Join the past to build a new!" Kenanglah
akar ketulusan dan kelurusan niat para pendiri bangsa!
Dalam
mengambil keputusan yang sulit, para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) terlebih dahulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan doa
agar keputusan yang diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati
yang murni dengan penuh keikhlasan.
Kenanglah
akar rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar,
Muhammad Yamin mengingatkan, "Saya hanya minta perhatian betul-betul
karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum
dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet;
grondwettelijke fout, kesalahan
perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang
menanti-nantikan hak daripada republik."
Kenanglah
akar kesungguhan para pendiri bangsa dalam mencapai yang terbaik! Menanggapi
Soepomo, yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang sempurna di
masa perang, Soekarno mengingatkan, "Saya peringatkan tentang lamanya
perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali lebih lama, dan
jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan pada
kesempurnaan."
Dengan
akar semangat ketulusan, tanggung jawab, dan kesungguhan itulah negara ini
didirikan dengan visi yang jelas, seperti tecermin dalam pembukaan konstitusi. Menurut
penjelasan UUD 1945, ada empat pokok pikiran yang terkandung di dalamnya.
Pertama,
negara hendak melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Menurut pengertian ini, negara hendak melindungi dan
meliputi bangsa seluruhnya, mengatasi segala paham perseorangan dan golongan.
Dalam
visi negara ini, tidak sepatutnya negara abai terhadap batas-batas wilayah
negara sebagai titik genting kedaulatan negara-bangsa. Dalam konsepsi kerajaan,
titik tumpu otoritas negara memang terletak pada pusat negara. Namun, dalam
konsepsi negara-bangsa, pertaruhannya justru terletak pada kemampuan negara
dalam melindungi wilayah perbatasan. Seturut dengan itu, tidak sepatutnya juga
negara membiarkan suatu golongan atau perorangan menganiaya dan menyengsarakan
yang lain atas nama diktator mayoritas atau tirani minoritas
(pemodal-penguasa).
Kedua,
negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam visi negara
ini, berlaku prinsip 'berat sama dipikul, ringan sama dijinjing'. Tidak
sepantasnya, pejabat negara cuma mau mendapat untung dengan membiarkan rakyat
terus buntung. Di manakah letak rasa keadilan saat wakil rakyat lebih
memikirkan kenaikan gaji dan tunjangan serta fasilitas dan gedung baru nan
mewah, ketimbang menyelamatkan perekonomian rakyat dari korupsi dan
penyerobotan pihak asing?
Ketiga,
negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan, dan
permusyawaratan. Dalam visi negara ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya
dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan
kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka
'musyawarah-mufakat'. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte
golongan mayoritas atau kekuatan modal perseorangan, tetapi dipimpin oleh
hikmah-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas dan deliberatif
setiap warga negara tanpa pandang bulu. Di manakah letak kedaulatan rakyat
ketika para pejabat terpilih lebih menghormati pemilik modal ketimbang
memperhatikan amanat penderitaan rakyat?
Keempat,
negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab. Dalam visi negara ini, pemerintah dan penyelenggara negara
wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita
moral rakyat yang luhur. Di manakah letak budi pekerti kemanusiaan dan moral
yang luhur dalam suatu kecenderungan para pejabat negara yang lebih mementingkan
simbolisme dan perayaan keagamaan ketimbang menjunjung tinggi etika publik,
lebih menonjolkan gairah peribadatan tanpa semangat pengorbanan?
Kembali
ke fitrah
Pokok-pokok
pikiran Pembukaan itu menjadi sumber kebatinan dari UUD dalam mewujudkan cita
hukum. Ketika semangat pokok-pokok pikiran itu tak terpantulkan dalam kehidupan
bernegara, hukum dan perundang-undangan kehilangan elan vitalnya.
Berbilang
undang-undang dihasilkan, tetapi kehidupan warga makin tak terlindungi,
kesenjangan sosial melebar, daulat rakyat melemah, dan moral pejabat negara
bobrok. Pelbagai krisis yang timbul di sepanjang ekstravaganza pesta demokrasi
saat ini pada hakikatnya merupakan letupan permukaan dari krisis kebatinan
karena pengabaian olah jiwa dan moral publik.
Politik
berkembang secara teknik, tetapi mundur secara etik. Politik dan etik terpisah
seperti minyak dengan air. Semoga dengan kembali ke fitrah manusia dan fitrah
bernegara, kita bisa menemukan kembali tenaga batin yang dapat mengantarkan
bangsa meraih kemenangan!
oleh
Yudi Latif
disadur
dari Media Indonesia, Senin, 11 Juli 2016