Editors Picks

Jumat, 29 Juli 2016

Mudik dan Permintaan Maaf


Mewakili pemerintah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta maaf atas ketidaknyamanan perjalanan mudik Lebaran tahun 2016.

Mudik Lebaran 2016 memicu amarah publik melalui media sosial. Netizen mempersoalkan ketidaksiapan pemerintah mengelola mudik Lebaran. Kemacetan parah berjam-jam di Gerbang Tol Brebes Timur menuju Tegal memunculkan ekspresi ketidakpuasan pemudik terhadap pemerintah. Namun, secara keseluruhan, mudik melalui kereta api, penerbangan, ataupun jalur laut berjalan baik.

Ekspresi ketidakpuasan publik dipicu dengan respons menteri yang terkesan menegasikan fakta lapangan dan ditafsirkan publik kurang berempati terhadap pemudik. Sejumlah pejabat malah saling tuding mengenai penyebab kemacetan parah. Cara seperti itu jelas tidak menguntungkan citra pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kita bersyukur Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mewakili pemerintah meminta maaf atas ketidaknyamanan arus mudik Lebaran 2016. Kekurangnyaman mudik akan jadi bahan evaluasi.

Permintaan maaf Mendagri seandainya dilakukan lebih awal bisa meredam ketidakpuasan publik terhadap pelaksanaan mudik Lebaran. Mendagri Tjahjo Kumolo meminta maaf pada hari Sabtu, 9 Juli 2016, setelah netizen terus mengkritik pelaksanaan arus mudik 2016. Kemacetan parah di Brebes terjadi H-3 hingga H-2 Lebaran.

Kemacetan memang identik dengan arus mudik. Namun, kemacetan arus mudik Lebaran 2016 pada hari-hari puncak memang luar biasa. Perjalanan Jakarta-Solo harus ditempuh 44 jam. Namun, bagi pemudik yang mudik lebih awal, kehadiran Jalan Tol Cipali memang bisa memperpendek waktu tempuh.

Pelaksanaan mudik Lebaran 2016 harus jadi bahan evaluasi, termasuk komunikasi mengenai potensi kemacetan jalur Brebes-Tegal. Rencana detail operasi jalur Lebaran kurang tersosialisasikan. Komunikasi merupakan salah satu aspek yang perlu diperbaiki dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla. Tidak ada juru bicara pemerintah yang menjelaskan peristiwa di lapangan secara detail, termasuk latar penyebabnya. Peristiwa faktual yang terjadi di lapangan, termasuk meninggalnya sejumlah orang dalam perjalanan mudik, hanya menjadi teks dan terlambat diberi konteks oleh pemerintah.

Kegaduhan demokrasi digital terlambat diantisipasi para menteri dalam Kabinet Kerja. Para menteri berpendapat sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi. Akibatnya, komunikasi pemerintahan terasa begitu kedodoran di mata publik. Sama juga halnya dengan kurang diantisipasinya kemacetan parah di Jalan Tol Brebes Timur. Itu semua harus jadi pelajaran sangat berharga.

Kompas, Senin, 11 Juli 2016
Versi Bahasa Inggris dapat dibaca di sini

KINERJA PEMERINTAHAN - Saat Koordinasi dan Komunikasi Kembali Dipertanyakan…



Kemacetan parah saat arus mudik Lebaran 2016 di sekitar Gerbang Tol Brebes Timur, Jawa Tengah, kembali memunculkan pertanyaan tentang koordinasi dan komunikasi di antara elite politik. Pasalnya, pada hari-hari pertama munculnya persoalan itu, kesan yang muncul di hadapan publik adalah saling tuding dan membela diri.

Kemacetan pada saat arus balik memang terlihat lebih diantisipasi. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pada Sabtu lalu, mewakili pemerintah juga telah minta maaf kepada masyarakat atas ketidaknyamanan perjalanan yang terjadi saat arus mudik Lebaran 2016.Sebelum permintaan maaf itu disampaikan, sejumlah pejabat telah mengeluarkan pernyataan tentang kemacetan tersebut.

Presiden Joko Widodo, mislanya, mengatakan kemacetan tak terelakkan karena belum tuntasnya pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa. “Ada yang berhenti delapan tahun hingga 20 tahun, dan hal itu yang perlu diselesaikan. Mudah-mudahan dua tahun ke depan diselesaikan,” ujarnya (Kompas, 5/7).Presiden juga mengatakan, kepadatan arus lalu lintas di Gerbang Tol Brebes Timur sudah diprediksi sebelumnya dan minta kementerian terkait menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar dapat mengurai kemacetan di ruas itu.

Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan berpendapat, kemacetan di Brebes Timur juga dikarenakan oleh pengoperasian gerbang tol itu yang tidak mempertimbangkan jalan nasional, yaitu jalur pantura yang sempit. Apalagi, setelah keluar dari jalan tol, kendaraan bertemu pasar tradisional dan kendaraan dari jalur pantura.

Jonan juga sempat meminta pertanyaan terkait antisipasi macet juga ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.
Kepala Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT), di bawah Kementerian PUPR, Heri Trisaputra menjelaskan, pihaknya telah bekerja seoptimal mungkin membantu menangani arus lalu lintas saat Lebaran.

Komentar terkait kemacetan parah di Gerbang Tol Brebes Timur yang dikabarkan juga menyebabkan sejumlah orang meninggal, juga datang dari Kompleks Parlemen.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menuding kemacetan itu sebagai tanggung jawab semua menteri di Kabinet Kerja.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, “Koordinasi antar kementerian seharusnya jadi kunci untuk menyelesaikan persoalan ini.”

Pernyataan yang cenderung menyerang pihak lain dan kurang menunjukkan introspeksi terhadap kinerja diri sendiri memang sering terdengar dari elite politik negeri ini. Bahkan, fenomena itu juga pernah terjadi di lingkungan kabinet kerja.

Tahun lalu, misalnya, sempat terjadi silang pendapat antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli soal proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt. Silang pendapat juga terjadi antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong soal impor beras.

Tahun ini, silang pendapat sempat terjadi antara Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno soal pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Perdebatan juga sempat terjadi antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dengan Rizal Ramli, terkait pembangunan kilang gas Blok Masela di Maluku.

Pemerhati Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Agus Pambagio melihat, persoalan mendasar dalam polemik penanganan arus mudik ini terletak pada komunikasi yang keliru. Setiap kementerian sebenarnya telah memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.

Sarana dan prasarana transportasi merupakan domain Kementerian Perhubungan. Sementara, Kementerian PUPR bertanggung jawab atas urusan infrastruktur jalan. Adapun manajemen lalu lintas merupakan kewenangan kepolisian. Dengan demikian, semua pihak sebenarnya sama-sama bertanggung jawab atas persoalan macet saat mudik Lebaran.

“Masalahnya, ketika Menhub ditanyakan soal pemudik yang meninggal karena macet, dirinya merasa itu bukan tupoksinya sehingga dijawab dengan ceplas-ceplos. Akhirnya, kesan yang muncul seolah menteri saling menyalahkan,” papar Agus.

Menurut pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, komunikasi pemerintah ke publik selama ini memang cenderung buruk dan tidak efektif. Alih-alih menjawab duduk persoalan dan memberi solusi dengan tenang, komentar pertama yang diberikan terkait suatu permasalahan justru “buang badan” atau melepas tanggung jawab.

“Komunikasi dan koordinasi tidak hanya buruk antarmenteri, tetapi juga dari menteri ke publik. Menteri seharusnya tidak mudah menyampaikan pernyataan kepada publik dan membuat situasi panas,” tuturnya.

Agus berharap, semua pihak yang bertanggung jawab bersama-sama menjelaskan masalah dan solusi sesuai dengan tupoksinya, tanpa perlu memicu kegaduhan di ruang publik. “Kuncinya ada di koordinasi dan komunikasi yang efektif antar menteri Kabinet Kerja,” ujarnya.

Satu hal yang pasti, empati dan etika tidak kalah penting. Terkait hal ini, rakyat tidak hanya menanti solusi dan permintaan maaf dari pemerintah, tetapi juga ungkapan belasungkawa atas korban jiwa yang terjadi saat arus mudik dan balik Lebaran ini.

oleh Agnes Theodora
disadur dari Kompas, Senin, 11 Juli 2016 

"Mudik" and Apology


Representing the government, Home Minister Tjahjo Kumolo apologized for inconveniences during mudik (annual exodus to hometowns to celebrate Idul Fitri) this year.

The 2016 Idul Fitri exodus sparked public anger, as seen on social media where netizens questioned the government's lack of preparations to manage this annual event. Severe traffic congestion lasting for hours at the East Brebes exit toll gate toward Tegal gave rise to travelers expressing great dissatisfaction with the government.

Expressions of public dissatisfaction were also triggered by the responses of a number of ministers, who seemed to deny the facts in the field. The communications made by these ministers were interpreted by the public as having little empathy for the struggle faced by mudik travelers. Several high-ranking officials were involved in a blame game as to the cause of the severe congestion. This is clearly unfavorable for the image of the government of President Joko Widodo and Vice President Jusuf Kalla.

We are grateful that the Home Minister represented the government to apologize for the inconveniences of the 2016 Idul Fitri exodus. If the apology had come earlier, it would surely have dampened public discontent. The minister made the apology on Saturday, July 9, after netizens had continuously criticized how the traffic had been managed. Severe congestion in Brebes took place three and two days before Idul Fitri.

Congestion is an undeniable part of this annual journey, which this year, however, was extraordinary at its peak. Travel between Jakarta and Solo took 44 hours. However, for travelers who had journeyed earlier, the Cipali toll road did indeed shorten traveling time.

The 2016 mudik should provide valuable evaluation input for the government, including on communicating with the public on the potential for severe congestion, such as that at the East Brebes exit toll gate at the peak of travel. Communication was one of the weak aspects of this government; there was no spokesman who could explain the conditions in the field in detail, including the reason for its cause. Factual events that took place in the field, including the deaths of a number of people during mudik, became merely text without any context to the government.

Ministers were late in anticipating the commotion in this digital democracy and argued among themselves without coordination. As a result, government communication was deemed weak by the public, as was the lack of anticipation of the severe congestion at the East Brebes exit toll gate, which became international news.

Source Kompas, Monday, July 11, 2016 
Indonesian version can be read here

Kembali ke Kesucian Diri dan Negeri



IBARAT embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul Fitri kali ini melahirkan situasi 'kesucian' yang riskan. Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, tetapi relung kehidupan negara tempat mereka bertahan ialah ruang yang cemar.

Menjelang penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran bumi dari onggokan sampah kebiadaban terorisme, perampasan, dan intoleransi atas nama agama, korupsi penegak hukum dan wakil rakyat, konsumerisme di tengah kelesuan perekonomian, hingga kematian belasan pemudik akibat kelalaian pelayanan publik.

Saat gema takbir berkumandang, kehidupan seperti roller coaster yang berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar fitrah yang meneguhkan sikap hidup yang positif dan kegelapan bumi yang menebar bayangan hidup yang negatif. Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja.

Kita tidak cukup menjadi suci secara pribadi, tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai untuk menyucikan kehidupan negeri. Seperti kata Aristoteles, "Manusia baik belum tentu menjadi warga negara yang baik. Manusia baik hanya bisa menjadi warga negara yang baik bilamana negaranya juga baik sebab di dalam negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang buruk."

Di satu sisi, kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif sebab pemikiran negatif tak akan membawa kebaikan. Psikolog David D Burn mengingatkan, depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah. Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya hidup dilumpuhkan oleh jeratan 4D, yaitu defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan deprived (rasa tercerabut)--yang dihayati sebagai kebenaran dan kenyataan sejati.

Ada pembelajaran
Lebaran menghadirkan optimisme yang lebar, bahwa setiap krisis mengandung peluang pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab mengatakan, "Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan, dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada pemilik Arasy, akan memetik manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri."

Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis, bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan dengan pengorbanan. Dalam gunungan sampah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini diperlukan persenyawaan jutaan titik embun untuk menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis kekotoran yang melumuri jiwa kenegaraan.

Usaha penyucian harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad, dalam jalan pertobatan hal negatif bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan 'kebohongan'. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula. Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara.

Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme dan politik pencitraan yang mengabaikan esensi dan substansi. Dalam meloloskan berbagai undang-undang dan keputusan yang mengabaikan nalar publik, otoritas terkait acap kali menutupi kebohongannya dengan dalih 'sudah sesuai prosedur'.

Persoalan tidak diatasi dengan kerja nyata, tetapi ditutupi dengan manipulasi pencitraan. Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan negeri ini menjadi negeri kebohongan. Korupsi setiap pemerintahan, kata Montesquieu, selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan.

Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali ketika aturan bisa dikorup demi pragmatika politik. Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk memperkuat etika sosial. Gairah keagamaan tidak berhenti pada narsisme simbolisnya, tetapi pada penguatan misi profetiknya dalam memperjuangkan kemaslahatan hidup bersama.

Fitrah negeri
Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, kepulangan kita ke fitrah kesejatian manusia diharapkan bias memijarkan semangat kembali ke fitrah bernegara. Dalam krisis jati diri dan disorientasi politik, pilihan terbaik memang kembali ke akar. Meminjam ungkapan Amartya Sen, "Join the past to build a new!" Kenanglah akar ketulusan dan kelurusan niat para pendiri bangsa!

Dalam mengambil keputusan yang sulit, para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) terlebih dahulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan doa agar keputusan yang diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati yang murni dengan penuh keikhlasan.

Kenanglah akar rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan, "Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik."

Kenanglah akar kesungguhan para pendiri bangsa dalam mencapai yang terbaik! Menanggapi Soepomo, yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang sempurna di masa perang, Soekarno mengingatkan, "Saya peringatkan tentang lamanya perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali lebih lama, dan jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan pada kesempurnaan."

Dengan akar semangat ketulusan, tanggung jawab, dan kesungguhan itulah negara ini didirikan dengan visi yang jelas, seperti tecermin dalam pembukaan konstitusi. Menurut penjelasan UUD 1945, ada empat pokok pikiran yang terkandung di dalamnya.

Pertama, negara hendak melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut pengertian ini, negara hendak melindungi dan meliputi bangsa seluruhnya, mengatasi segala paham perseorangan dan golongan.

Dalam visi negara ini, tidak sepatutnya negara abai terhadap batas-batas wilayah negara sebagai titik genting kedaulatan negara-bangsa. Dalam konsepsi kerajaan, titik tumpu otoritas negara memang terletak pada pusat negara. Namun, dalam konsepsi negara-bangsa, pertaruhannya justru terletak pada kemampuan negara dalam melindungi wilayah perbatasan. Seturut dengan itu, tidak sepatutnya juga negara membiarkan suatu golongan atau perorangan menganiaya dan menyengsarakan yang lain atas nama diktator mayoritas atau tirani minoritas (pemodal-penguasa).

Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam visi negara ini, berlaku prinsip 'berat sama dipikul, ringan sama dijinjing'. Tidak sepantasnya, pejabat negara cuma mau mendapat untung dengan membiarkan rakyat terus buntung. Di manakah letak rasa keadilan saat wakil rakyat lebih memikirkan kenaikan gaji dan tunjangan serta fasilitas dan gedung baru nan mewah, ketimbang menyelamatkan perekonomian rakyat dari korupsi dan penyerobotan pihak asing?

Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan, dan permusyawaratan. Dalam visi negara ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka 'musyawarah-mufakat'. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte golongan mayoritas atau kekuatan modal perseorangan, tetapi dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas dan deliberatif setiap warga negara tanpa pandang bulu. Di manakah letak kedaulatan rakyat ketika para pejabat terpilih lebih menghormati pemilik modal ketimbang memperhatikan amanat penderitaan rakyat?

Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam visi negara ini, pemerintah dan penyelenggara negara wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Di manakah letak budi pekerti kemanusiaan dan moral yang luhur dalam suatu kecenderungan para pejabat negara yang lebih mementingkan simbolisme dan perayaan keagamaan ketimbang menjunjung tinggi etika publik, lebih menonjolkan gairah peribadatan tanpa semangat pengorbanan?

Kembali ke fitrah
Pokok-pokok pikiran Pembukaan itu menjadi sumber kebatinan dari UUD dalam mewujudkan cita hukum. Ketika semangat pokok-pokok pikiran itu tak terpantulkan dalam kehidupan bernegara, hukum dan perundang-undangan kehilangan elan vitalnya.

Berbilang undang-undang dihasilkan, tetapi kehidupan warga makin tak terlindungi, kesenjangan sosial melebar, daulat rakyat melemah, dan moral pejabat negara bobrok. Pelbagai krisis yang timbul di sepanjang ekstravaganza pesta demokrasi saat ini pada hakikatnya merupakan letupan permukaan dari krisis kebatinan karena pengabaian olah jiwa dan moral publik.

Politik berkembang secara teknik, tetapi mundur secara etik. Politik dan etik terpisah seperti minyak dengan air. Semoga dengan kembali ke fitrah manusia dan fitrah bernegara, kita bisa menemukan kembali tenaga batin yang dapat mengantarkan bangsa meraih kemenangan!

oleh Yudi Latif
disadur dari Media Indonesia, Senin, 11 Juli 2016