KEBIASAAN lama sejak penjajahan Belanda dan semasa
wilayah Nusantara terbelah dalam beberapa kerajaan, pemberian upeti kepada sang
raja dalam bentuk in-natura merupakan suatu pertanda loyalitas rakyat kepada
raja. Di kalangan Tionghoa dikenal dengan sebutan ”angpau”. Dalam bahasa Sunda,
dikenal dengan istilah ”seba”. Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan
modern, kebiasaan tersebut berlanjut sejak era Soekarno, Soeharto dan sampai
saat ini hanya diubah dengan sebutan ”imbalan” atau ”balas budi”.
Namun sejak era reformasi, upeti, seba, angpau tersebut termasuk ke dalam
pengertian gratifikasi. Pengertian gratifikasi itu sendiri berasal dari istilah
"gratitude". Suatu penghormatan terhadap pemimpin dalam bentuk
memberikan sejumlah uang atau barang. Sikap masyarakat ini dalam kosa kata
sosiologi disebut sikap dan budaya "relasi patron and client", atau "patron-client
relationship" (PCR), dan integritas diidentikkan dengan loyalitas. Akibat dari kekeliruan menafsirkan kedua kosakata tersebut maka integritas dan loyalitas tidak ada perbedaan mendasar lagi. Karena integritas tanpa loyalitas di dalam sistem birokrasi yang berbasis PCR seiring loyalitas (pada atasan) mengalahkan integritas (pada pekerjaan). Bahkan dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia, pemberian kepada atasan merupakan tolok ukur kesetiaan (loyalitas). Dan, angka kredit untuk promosi dan mutasi ke kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi bukan pada sistem "reward and punishment" atau meritokrasi.
Ketika Baharudin Lopa (alm) menjabat Menteri Kehakiman (menkumham saat ini), telah diinisiasi untuk memasukan "pemberian" yang dikenal dengan upeti, seba, atau angpau tersebut sebagai gratifikasi dalam konotasi negatif. Karena hal itu dapat "menurunkan" wibawa pemerintah, serta mendegradasi sistem meritokrasi, integritas dan akuntabilitas kinerja.
Lingkup gratifikasi di dalam Penjelasan Pasal 12B Undang-undang (UU) RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31/1999. "Dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik".
Norma gratifikasi di dalam pasal tersebut, berbunyi: "Gratifikasi dianggap suap jika dilakukan dalam hubungan kedudukan atau jabatannya"; dan pembuktian bahwa bukan merupakan suap dibebankan kepada terdakwa (pembuktian terbalik) jika nilai pemberian sampai Rp10 juta; beban pembuktian sebagai suap pada penuntut untuk nilai pemberian di atas Rp10 juta.
Di
dalam ketentuan gratifikasi (Pasal 12B), penerima gratifikasi diberi tenggat
waktu 30 hari untuk melaporkan gratifikasi kepada KPK, terhitung sejak ia
menerima pemberian tersebut. Dengan maksud menguji integritas penyelenggara
negara selama ia memangku jabatannya.
Jika melampaui batas waktu tersebut, penerima gratifikasi dianggap memiliki mensrea dan merupakan petunjuk (awal)
bahwa penyelenggara negara yang bersangkutan telah memiliki itikad tidak baik.
Karena sekecil apa pun nilai uang atau barang pemberian, tetap bukan hak
penyelenggara negara yang bersangkutan.
Tuntutan ancaman hukuman tindak pidana gratifikasi adalah pidana seumur hidup,
dan paling singkat empat tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta,
paling banyak Rp1 miliar. Dimasukkannya gratifikasi sebagai salah satu tindak
pidana korupsi mencerminkan bahwa politik hukum pidana dalam pemberantasan
korupsi sangat "secure"
dalam memberikan penilaian perilaku seorang penyelenggara negara. Dengan
pertimbangan bahwa penyelenggara negara seharusnya menjadi panutan dari
masyarakatnya bukan sebaliknya.
Nilai-nilai di balik ketentuan gratifikasi adalah integritas (integrity),
akuntabilitas (accountability), kejujuran (honesty) dan adil (fairness)
dalam tata kelola pemerintahan. Integritas yang dikehendaki oleh ketentuan
Pasal 12 B adalah bahwa seharusnya penerima dana memiliki iktikad baik,
melaporkan dan menyerahkan penerimaannya kepada KPK.
Nilai (values) dibalik ketentuan gratifikasi adalah bahwa setiap
penerimaan oleh penyelenggara negara atau abdi negara, dalam bentuk dan nilai
seberapa pun adalah tidak layak, tidak patut dan perbuatan tercela, selain
penerimaan gajinya. Karena gratifikasi tersebut merupakan "keuntungan yang
tidak patut/tercela" (undue advantage).
Pelaporan penerima gratifikasi kepada KPK harus tanpa paksaan atau faktor
eksternal, dan dalam batas waktu 30 hari. Jika pejabat/penyelenggara negara
menerima gratifikasi kemudian melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari, dan
kemudian ada bukti permulaan yang cukup.
Bahwa
dana yang diterima dan dilaporkan tersebut merupakan imbalan atas perbuatan
penerima gratifikasi selaku penyelenggara negara/pegawai negeri, yang
bertentangan dengan kewajiban dalam kedudukannya sebagai penyelenggara negara
atau pegawai negeri. Dan pemberian dana tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya, maka gratifikasi berubah, dan merupakan suap.
Karena,
pertama pelaporan gratifikasi kepada KPK tidak dilandasi oleh itikad baik.
Kedua, pemberian "gratifikasi" tersebut merupakan "kickback"
terhadap penerima gratifikasi. Niat jahat (mensrea)
pada penerima gratifikasi telah terbentuk ketika kemudian diketahui telah terdapat
"kickback" sebagai imbalan untuk keputusan pejabat/pegawai
negeri tersebut yang bertentangan peraturan perundang-undangan.
Pemberian dana oleh pihak lain dan penerimaan dana yang didahului oleh tindakan
pejabat/pegawai negeri yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku termasuk suap. Mengapa ancaman untuk gratifikasi lebih tinggi dari
suap? Hal ini disebabkan perbuatan gratifikasi merupakan pengkhianatan terhadap
integrasi, akuntabilitas, dan martabat seorang penyelenggara negara. Sedangkan
suap merupakan perbuatan atas dasar keserakahan semata-mata (greedy).
Dalam hukum pidana, maksud dan tujuan baik dari suatu perbuatan tidak cukup
menjadi pertimbangan hakim, tetapi juga cara-cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan baik tersebut, yaitu harus tidak melanggar hukum. Contoh, seorang
bendahara K/L (kementerian/lembaga) memindahkan dana dari pos anggaran untuk
biaya lelang kepada pos perjalanan dinas, dengan alasan mendesak diperlukan
dana untuk melakukan kunjungan dinas ke daerah atau pengeluaran dana untuk
bencana sosial yang diambil dari pos anggaran lain. Perbuatan tersebut termasuk
perbuatan melawan hukum-malaadministrasi namun tidak mutatis mutandis
mengandung unsur pidana.
Perbuatan malaadministrasi menjadi tindak pidana korupsi jika perbuatan
tersebut menghasilkan "keuntungan finansial" (kickback) bagi
bendahara yang bersangkutan atau bagi orang lain atau korporasi, yang diperoleh
dari rekanan-rekanan yang terlibat dalam penggunaan dana anggaran tersebut
sehingga mengakibatkan negara mengalami kerugian.
Dalam UU Pemberantasan Korupsi yang berlaku, sekalipun terdakwa tidak
memperoleh keuntungan, akan tetapi orang lain atau korporasi memperoleh
keuntungan dan perbuatan terdakwa dilakukan secara melawan hukum. Maka yang bersangkutan
tetap dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, apalagi telah terjadi
kerugian negara, dan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan
penuntutan.
oleh Romli Atmasasmita
disadur
dari Koran Sindo, Rabu, 13 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar